tujuan utama dari belajar bukan supaya pintar tetapi, untuk mengenal Penciptanya dan mengasihinya dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan serta mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri.
Sebelum
Allah buat sesuatu Dia sudah punya tujuan.
Penjunan
sudah punya tujuan atas tanah liat itu baru dia buat sesuatu.
Bukan sudah jadi bejana baru dia pikir mau bikin apa atau biarkan bejana itu
mencari tujuan sendiri. (Roma 9:20-21)
Karena itu susah atau senang, apapun keadaannya tetap naikkan syukur karena
rancangan dan jalan Allah bukan kita (Yesaya 55:6).
Sukses atau gagal dalam pandangan kita
belum tentu itu dalam pandangan Allah. Sangat mungkin yang kita sebut gagal itu
sukses dalam pandangan Allah (band dengan penyaliban Yesus. Banyak orang
katakan Yesus gagal. Tapi dalam pandangan Allah Yesus katakan tetelestai)
Fokus
hidup
Saat Yesus ada dalam dunia, Israel sedang
dijajah. Menderita secara mental, fisik, politik, keamanan, sosial, budaya,
hukum, kesehatan, dsb. Tetapi fokus kerja dan pelayanan Tuhan Yesus adalah
berita Injil (Matius 4: pencobaan di gurun dan 6: kekuatiran).
Semua hal lain adalah sekunder, tertier.
Bukan premier. Itu tidak ada artinya atau tambahan semata.
Maknanya: berita Injil yang berdampak pada
hidup kekal. (Yohanes 17:3)
Renungkan
hal yang sudah dilakukan dalam melihat dan menilai apa yang kelihatan.
Dosa karena "mata terbuka dalam
kejadian 3:5. Kata mata "terbuka": pâqach (pronunciation: paw-kakh').
Definition: A primitive root; to open (the {senses} especially the eyes);
figuratively to be observant: - open.
b: KEEN, PERCEPTIVE//observant of
the mistakes of others//Good reporters are keenly observant of everything around them.
2: careful in observing rites, laws,
or customs : MINDFUL//pious and religiously observant families— Sidney Hook//always observant of
the amenities.
Kejatuhan dalam hal ini membuat manusia cenderung menilai dan membanding-bandingkan
dan menyalahkan orang lain. Dari membanding-bandingkan menjadi kuatir dan tidak
bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan.
Dari sini kita akan terbantu untuk memahami perkataan Iblis kepada Hawa:
Kejadian 3:5 (TB) tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu
memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu
tentang yang baik dan yang jahat."
Mata yang terbuka (observant) mengaktifkan kuasa maut.
Kejadian
2 katakan bahwa sebelum manusia jatuh dalam dosa kematian sudah ada.
Allah ingatkan Adam jangan makan buah
pohon pengetahuan baik dan jahat. Jika berbuat dosa, Adam akan aktifkan kuasa
kematian (Roma 6:23 upah dosa ialah maut).
Ada 3
jenis kematian yang diaktifkan: roh, jasmani, kematian kedua. Jadi, Yesus,
firman Allah yang menjadi daging datang hidup tanpa dosa untuk kalahkan kuasa
maut. Jadi siapa yang percaya kepada Dia maka maut tidak berkuasa lagi atas
hidupnya. Mungkin dia akan alami kematian jasmani (sebab dalam surat Tesalonika
ada orang yang tetap hidup sampai Yesus kembali), tapi kematian kedua dia tidak
akan alami lagi. Puji Tuhan Yesus
Kitab
Pengkhotbah adalah kitab pertobatan.
Pengkhotbah
3: semua ada waktunya. Ada waktu untuk bertobat.
Akhir kitab pengkhotbah adalah pertobatan Salomo penulisnya. Di awal cerita
(taman Eden) seolah kamu punya free choose. Tetapi di akhir cerita, di garis
akhir hidup kamu tidak punya free choose.
Dunia
ini sudah jatuh dalam dosa dan penuh kejahatan.
Kejahatan
ada di mana-mana. Sangat mungkin kita menjadi pelaku kejahatan. Jika kita tidak
siap dilukai dan tidak siap merangkul yang terluka dan bersalah (bukan
kesalahannya) maka kita akan punya banyak masalah yang sangat sulit
diselesaikan dalam dunia ini
Beban
penderitaan melahirkan di taman Eden: susah payahmu waktu melahirkan akan
ditambahkan.
Itu nubuat
ttg gereja. Perempuan simbol gereja Tuhan. Susah payah untuk beritakan Injil
dan mendapat petobat baru. Tapi Kristus sudah tanggung susah payah itu (Yesaya
53)
Matius
7:21-23 mereka itu tidak mengenal Allah secara intim (Yada: band dengan Kejadian
4:1). Mereka hanya mengenal ala kadar atau bukan dalam keintiman (seperti suami
kenal istri dan sebaliknya).
Kata Yunani oida dapat menggambarkan jenis pengetahuan apa pun, namun kata ini
sedikit condong ke arah pengetahuan tentang fakta. Hal ini berkaitan dengan
kata “melihat”, dan sering kali menggambarkan jenis pengetahuan yang dihasilkan
dari pengamatan. Anda telah melihat kenyataan dan mengetahui kebenarannya.
Dalam beberapa kasus, Anda mengetahui kebenarannya karena Tuhan telah
mengungkapkannya.
Band dengan Yohanes 15:5. Tinggal dalam Yesus. Alami keintiman. Ginosko
Sebaliknya, kata ginōskō sering kali menggambarkan jenis
pengetahuan yang terlibat dalam membangun hubungan intim dengan seseorang.
Orang lain mungkin dapat deskripsikan istri seseorang tapi tidak dapat mengenal
secara eksistensial suami itu kepada istrinya. Dia dapat menceritakan sedetil-detilnya
dan dipenuhi oleh emosional, psikis, spiritual tentang istrinya.
Cara membangun ginosko melalui anugerah Allah dan berjalan bersama Allah
Kasih
karunia Kristus
Dalam
Yohanes 18:10 (TB) Lalu Simon Petrus, yang membawa pedang, menghunus
pedang itu, menetakkannya kepada hamba Imam Besar dan memutuskan telinga
kanannya. Nama hamba itu Malkhus.
Yesus menyembuhkan telinga itu. Mengapa?
Petrus sudah melakukan 1 kesalahan fatal yang bisa bawa dia ke perkara hukum,
mencelakakan dia, dan berdosa kepada Allah. Hal itu dapat menghambat
pemberitaan Injil setelah kebangkitan Yesus.
Yesus sembuhkan telinga hamba itu sehingga saat Petrus mungkin dihakimi tidak
ada buktinya.
Jika Petrus menggunakan pedang akan mati oleh pedang. Jika Petrus melawan hukum
akan binasa oleh hukum itu.
Pesan teologis: itu yang Yesus lakukan dengan pengorbanan-Nya. Saat kita dibawa
ke penghakiman Allah, kita dinyatakan benar karena darah Yesus Kristus. Ada
bukti darah perjanjian damai yang sudah dicurahkan. Puji Tuhan Yesus
Belajar itu penting.
Alasan dan tujuan belajar
Dampak belajar
Tapi: 1 hal yang sangat penting, jauh lebih penting adalah belajar dari siapa,
belajar dari apa, baca dari apadan dari
mana
Kasih
adalah senjata yang paling ampuh.
Karena
kasih tidak akan pernah gagal. Kasih dapat membuat musuh menjadi sahabat kita
Re-thinking
dan developmental mindset adalah dua konsep yang sangat erat kaitannya dengan
cara manusia berpikir, belajar, dan bertumbuh. Keduanya sangat relevan jika
diterapkan di berbagai konteks termasuk dalam medan layan kita.
Kombinasi
kedua pendekatan ini bisa menjadi fondasi penting dalam menciptakan lingkungan
yang mendukung anak-anak untuk berkembang secara optimal, baik secara fisik, kognitif,
emosional, sosial, spiritual.
Apa
itu Re-thinking?
Re-thinking adalah kemampuan untuk meninjau ulang cara berpikir
kita, mempertanyakan asumsi-asumsi yang kita pegang, dan membuka diri terhadap
kemungkinan perspektif baru.
Dalam
proses ini, seseorang belajar untuk tidak terpaku pada satu cara pandang saja,
melainkan terus menerus mengkaji ulang apakah cara berpikir atau pendekatan
yang digunakan masih relevan atau perlu diubah.
Konsep
re-thinking sebagai pendekatan sistematis pertama kali dipopulerkan oleh Adam
Grant, seorang profesor psikologi organisasi di Wharton School, University of
Pennsylvania.
Ia
memperkenalkan ide rethinking secara komprehensif dalam bukunya yang
berjudul "Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know" yang
terbit tahun 2021.
Adam
Grant mengembangkan ide re-thinking bukan hanya sebagai kebiasaan
berpikir ulang, tetapi sebagai kompetensi kognitif dan emosional yang esensial
di era informasi yang cepat berubah.
Dalam
Think Again, Grant menjelaskan bahwa kemampuan untuk mempertanyakan
asumsi sendiri, meninggalkan keyakinan lama, dan menerima ide baru lebih
penting daripada sekadar kecerdasan atau pengetahuan.
Dia
menyebut rethinking sebagai: “The humility to doubt what we know and the
curiosity to discover what we don’t.”
Dalam
pendekatannya, Grant juga mendorong orang untuk mengadopsi mentalitas ilmuwan,
yaitu:
Selalu
bersedia mencari data baru.
Menganggap
keyakinan sebagai hipotesis yang bisa diuji, direvisi, bahkan
ditinggalkan.
Fokus pada
proses belajar, bukan hanya hasil akhirnya.
Walaupun
Adam Grant yang pertama kali mengemas istilah re-thinking sebagai
gerakan modern, akar filosofisnya sebenarnya sudah lama ada:
Socrates
dengan metode Socratic questioning mengajarkan pentingnya mempertanyakan
keyakinan sendiri.
John Dewey,
filsuf dan pendidik, juga menekankan pentingnya reflective thinking dalam
proses belajar.
Dalam
psikologi, metakognisi—berpikir tentang cara kita berpikir—menjadi dasar
bagi praktik re-thinking modern.
Mengapa
Re-thinking Penting?
Adam
Grant percaya bahwa kemampuan untuk berpikir ulang lebih penting di dunia
modern daripada pengetahuan statis.
Kita
hidup di zaman di mana informasi cepat berubah, dan apa yang benar kemarin bisa
jadi salah hari ini. Oleh karena itu, re-thinking adalah keterampilan
bertahan hidup abad ke-21.
Apa
itu Developmental Mindset?
Developmental
mindset adalah pola pikir yang
percaya bahwa kemampuan, kecerdasan, dan kepribadian seseorang dapat berkembang
melalui proses belajar, pengalaman, dan usaha terus-menerus.
Ini
adalah konsep yang mirip dengan growth mindset dari Carol Dweck, tapi
dengan cakupan yang lebih luas—tidak hanya soal kecerdasan, tetapi juga
menyentuh aspek perkembangan moral, sosial, dan emosional.
Anak-anak
(dan juga orang dewasa) dengan developmental mindset meyakini bahwa
kegagalan adalah bagian dari proses belajar, bukan akhir dari segalanya. Mereka
tidak takut untuk mencoba hal-hal baru, karena memahami bahwa kemampuan mereka
tidak tetap, melainkan bisa bertumbuh.
Konsep
developmental mindset sebagai kerangka berpikir tentang perkembangan
manusia (baik dari sisi kognitif, emosional, sosial, maupun moral) banyak
diangkat dan dibahas dalam teori perkembangan manusia (human development
theory) dan psikologi perkembangan.
Asal-usul
Konsep Developmental Mindset
Pengaruh
Teori Growth Mindset
Banyak orang menyamakan atau mengaitkan developmental
mindset dengan growth mindset, karena keduanya berbicara tentang kemampuan
berkembang dari waktu ke waktu.
Carol
Dweck, seorang profesor psikologi di Stanford University, memperkenalkan
konsep growth mindset di awal 2000-an, lewat riset yang dimulai
sejak 1980-an. Growth mindset adalah keyakinan bahwa kecerdasan
dan kemampuan seseorang tidak bersifat tetap, melainkan bisa dikembangkan
melalui usaha, strategi, dan masukan dari orang lain.
Perkembangan
Teori Adult Development
Di ranah psikologi perkembangan dewasa, istilah developmental
mindset sering muncul dalam konteks bagaimana orang dewasa melihat dirinya
sebagai individu yang terus bertumbuh.
Robert
Kegan, seorang psikolog perkembangan dari Harvard University, dikenal
atas teorinya tentang Constructive Developmental Theory. Ia membahas
bahwa manusia terus mengalami perkembangan kognitif, emosional, dan moral
sepanjang hidupnya. Dalam pendekatan Kegan, developmental mindset
adalah tentang kesadaran bahwa kita selalu bisa tumbuh ke tahap pemahaman
yang lebih kompleks.
Educational
Leadership dan Developmental Mindset
Dalam dunia pendidikan dan kepemimpinan, istilah developmental
mindset mulai digunakan lebih luas oleh para pendidik, pelatih, dan
konsultan pengembangan organisasi. Mereka menggunakannya untuk menggambarkan sikap
mental yang fokus pada proses pertumbuhan berkelanjutan—baik dalam belajar,
hubungan sosial, maupun karier.
Salah satu contoh penggunaannya ada dalam pendekatan Transformational
Leadership dan Coaching for Development, di mana pemimpin atau pelatih
mendorong individu untuk melihat diri mereka sebagai "proyek yang terus
berkembang".
Apa
Itu Developmental Mindset Secara Inti?
Secara
esensial, developmental mindset adalah:
a.Pola pikir yang percaya bahwa setiap aspek dalam diri
manusia—kognitif, emosional, sosial, spiritual—bisa berkembang sepanjang hidup.
b.Ini mencakup kemauan untuk belajar dari pengalaman, menerima
perubahan sebagai bagian alami dari pertumbuhan, dan tidak terpaku pada versi
lama diri sendiri atau orang lain.
Siapa
yang Menggunakan Istilah Ini Saat Ini?
Sekarang,
developmental mindset sering digunakan di:
Pendidikan
Anak dan Dewasa (Education for Human Development)
Coaching
dan Mentoring (Leadership Development)
Psikologi
Positif
Organisasi
dan HRD (Human Development in the Workplace)
Kombinasi Re-thinking dan Developmental
Mindset di Pusat Pengembangan Anak
Bayangkan
sebuah pusat pengembangan anak yang menerapkan kedua prinsip ini secara utuh.
Tempat
ini tidak sekadar menjadi ruang bermain atau belajar biasa, melainkan laboratorium
hidup di mana anak-anak dilatih untuk berpikir ulang (re-think) tentang
cara mereka memecahkan masalah, mengelola emosi, atau memahami perbedaan dengan
orang lain.
Pada
saat yang sama, mereka juga ditanamkan keyakinan bahwa mereka mampu berkembang
(developmental mindset), bahwa kegagalan adalah bahan bakar untuk
menjadi lebih baik, bukan hambatan.
Lingkungan yang Adaptif dan Fleksibel
Pendekatan
re-thinking membantu mentor, orang tua partisipan, dan staf di pusat
pengembangan anak untuk tidak kaku dalam metode mentoring.
Mereka
terus mengevaluasi apa yang berhasil dan apa yang tidak. Misalnya, jika metode
mengajarkan empati melalui cerita ternyata kurang efektif, maka mereka siap
mengevaluasi dan mencari pendekatan lain seperti permainan peran atau simulasi
sosial.
Dengan
developmental mindset, baik mentor maupun mentee sadar bahwa setiap
orang berada dalam perjalanan belajar. Tidak ada metode yang final. Proses
penyesuaian metode mentoring menjadi lebih luwes karena tidak ada rasa takut
untuk mengubah pendekatan demi hasil yang lebih baik.
Mendorong Anak untuk Bertanya dan Mengeksplorasi
Partisipan
di pusat pengembangan anak yang mengadopsi re-thinking akan didorong
untuk bertanya, mempertanyakan, bahkan meragukan apa yang mereka lihat dan
dengar—bukan sekadar menerima informasi mentah-mentah.
Mereka
belajar untuk menyusun pemikiran kritis sejak dini, misalnya dengan bertanya,
"Mengapa begitu? Apakah ada cara lain untuk melakukannya?"
Dipadukan
dengan developmental mindset, partisipan tidak hanya belajar bertanya,
tetapi juga memahami bahwa kemampuan mereka untuk memahami jawaban akan
meningkat seiring waktu.
Mereka
tidak merasa minder jika belum bisa menjawab pertanyaan sulit, karena mereka
percaya bahwa mereka sedang berada dalam proses tumbuh.
Menumbuhkan Resiliensi dan Ketangguhan
Gagal
dalam suatu aktivitas di pusat pengembangan anak bukan dianggap masalah besar.
Dengan
developmental mindset, partisipan belajar bahwa gagal adalah bagian
alami dari proses berkembang.
Sementara
itu, re-thinking mengajarkan mereka untuk melihat kegagalan dari sudut
pandang yang berbeda—bukan sebagai kekalahan, tapi sebagai umpan balik.
Misalnya,
jika seorang mentee gagal menyelesaikan tantangan yang diberikan mentor, mentor
dapat mendorongnya untuk bertanya, "Apa yang bisa aku lakukan berbeda lain
kali?" atau "Apa yang belum aku coba?" Ini membantu mentee melatih
fleksibilitas berpikir dan keuletan mental.
Menghargai Perbedaan dan Inklusi
Pusat
pengembangan anak yang menerapkan re-thinking akan selalu membuka ruang
untuk perspektif yang beragam. Partisipan belajar untuk tidak cepat menghakimi
orang lain yang berbeda latar belakang atau pendapat.
Dengan
developmental mindset, mereka belajar bahwa kemampuan memahami orang
lain adalah sesuatu yang bisa terus dikembangkan.
Mereka
tidak merasa canggung jika belum sepenuhnya memahami sudut pandang teman yang
berbeda, karena mereka tahu empati itu butuh proses belajar juga.
Ruang Tumbuh Anak yang Holistik
Kombinasi
re-thinking dan developmental mindset menciptakan budaya belajar
yang dinamis, baik bagi mentee maupun bagi mentornya.
Di
pusat pengembangan anak, ini berarti:
oPartisipan
belajar berpikir kritis, berpikir ulang, dan membuka diri terhadap perspektif
baru.
oPartisipan
dibiasakan untuk melihat potensi mereka sebagai sesuatu yang terus berkembang,
bukan tetap.
oMentor tidak
berhenti belajar dan siap menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi
kebutuhan perkembangan setiap anak.
oLingkungan
menjadi ruang aman untuk bertanya, mencoba, gagal, dan tumbuh bersama.
Jika
diterapkan secara konsisten, pusat pengembangan anak yang berbasis re-thinking
dan developmental mindset akan melahirkan generasi masa depan yang
tangguh, adaptif, dan berpikiran terbuka—mereka tidak hanya siap menghadapi
perubahan, tapi juga menjadi agen perubahan itu sendiri.
Perayaan 100
tahun, atau sering disebut sebagai perayaan "centennial," memiliki
makna simbolis dan historis yang mendalam dalam banyak budaya. Apa itu
centennial?
Centennial itu berasal dari dua kata Latin: "centum"
yang berarti seratus, dan "annus" yang berarti tahun.
Jadi, centennial secara harfiah berarti peringatan atau perayaan 100
tahun.
Dalam konteks umum, centennial bisa merujuk pada:
Perayaan
100 tahun sejak sebuah peristiwa atau berdirinya sebuah
lembaga. ➜ Contoh: "The church is celebrating its centennial
anniversary." (Gereja itu merayakan ulang tahun ke-100-nya.)
Sesuatu
yang berusia 100 tahun. ➜ Contoh: "This building is a centennial landmark."
(Bangunan ini adalah penanda sejarah berusia 100 tahun.)
Istilah Terkait:
Bicentennial➜ 200 tahun
Tricentennial➜ 300 tahun
Millennial➜ 1000 tahun
Kalau dalam acara gereja, istilah Centennial Celebration kadang
dipakai juga untuk menunjukkan Perayaan 100 Tahun.
Di sisi lain, istilah yang lebih umum digunakan untuk peringatan 100
tahun gereja adalah "Yubileum 100 Tahun" atau "Yubileum
Seabad". Dalam konteks gereja, kadang juga disebut "Perayaan
Seratus Tahun", "HUT ke-100", atau "Jubileum
1 Abad". Untuk nuansa yang lebih formal atau liturgis, biasanya
dipakai istilah "Syukur 1 Abad" atau "Pesta Emas
Seratus Tahun".
Dalam Alkitab sendiri, tidak ada istilah khusus yang secara eksplisit
merujuk pada "100 tahun" sebagai sebuah peringatan atau perayaan,
seperti yang dikenal sekarang dengan istilah "yubileum" atau
"jubileum 100 tahun." Namun, ada beberapa konsep dan angka yang bisa
dikaitkan secara makna atau simbolis:
Angka 100 dalam Alkitab sering kali melambangkan kesempurnaan, kelimpahan,
atau kepenuhan waktu. Misalnya:
Abraham
berusia 100 tahun saat Ishak lahir (Kejadian 21:5), melambangkan
penggenapan janji Allah setelah penantian panjang.
Dalam
perumpamaan Yesus, ada hasil panen seratus kali lipat (Matius
13:8), yang menggambarkan kelimpahan dan berkat.
Yobel
(Jubilee). Dalam Imamat 25, ada konsep Tahun Yobel,
yang dirayakan setiap 50 tahun sebagai waktu kebebasan, pembebasan tanah,
dan penghapusan hutang. Tahun Yobel ini adalah waktu sukacita besar,
pembaruan, dan pemulihan.
Kadang dalam gereja modern, istilah Yobel atau Jubileum
diadopsi untuk merayakan tonggak waktu penting seperti 25 tahun, 50 tahun, 75
tahun, atau 100 tahun.
Jadi, secara alkitabiah, konsep yang mendekati peringatan 100
tahun mungkin dihubungkan dengan makna "Yobel", meskipun
secara teknis Yobel itu tiap 50 tahun. Kalau mau membuat istilah rohani atau
tema, biasanya gereja mengadaptasi semangat "Yobel" untuk
menggambarkan syukur, pemulihan, dan berkat setelah 100 tahun perjalanan
pelayanan.
Alasan
sejarah mengapa orang merayakan 100 tahun
Secara umum,
perayaan ini sering kali dianggap sebagai tonggak penting dalam sejarah suatu
bangsa, organisasi, atau individu, karena 100 tahun dianggap sebagai suatu
periode waktu yang sangat panjang dan menandai perubahan yang signifikan.
Alasan sejarah
mengapa orang merayakan 100 tahun berkaitan dengan beberapa faktor:
Siklus
Waktu dan Generasi: Dalam banyak kebudayaan, satu abad dianggap sebagai
satu siklus penuh dalam sejarah atau kehidupan generasi. Dalam konteks ini, 100
tahun mencakup setidaknya satu generasi manusia, sehingga perayaan ini menjadi
cara untuk mengenang dan menghormati perubahan, perkembangan, dan pencapaian
yang telah terjadi selama waktu tersebut.
Pencapaian
dan Progres:
Perayaan 100 tahun sering kali digunakan untuk merayakan pencapaian besar, baik
itu negara yang merdeka, berdirinya sebuah perusahaan, atau kelahiran
organisasi penting. Mengingat bagaimana banyak hal dapat berubah dalam satu
abad, merayakan peristiwa ini mengakui transformasi besar dalam politik,
ekonomi, teknologi, atau budaya.
Peringatan
Sejarah:
Dalam konteks negara atau peristiwa sejarah, perayaan 100 tahun juga dapat
berfungsi sebagai refleksi sejarah, mengingatkan orang tentang pentingnya
peristiwa atau keputusan yang membentuk masa depan. Misalnya, negara-negara
atau kota-kota mungkin merayakan 100 tahun sejak kemerdekaan atau pendirian
mereka, memperingati perjalanan mereka sebagai bangsa atau komunitas.
Simbolisme: Angka
100 secara simbolis mewakili kesempurnaan dan pencapaian puncak dalam banyak
tradisi. Oleh karena itu, merayakan 100 tahun memberikan kesan pentingnya
perjalanan tersebut. Ini juga menciptakan kesempatan untuk melanjutkan tradisi
dan memberikan penghargaan terhadap generasi yang telah menyumbang pada
perkembangan tersebut.
Secara
keseluruhan, perayaan 100 tahun lebih dari sekadar angka—ia adalah kesempatan
untuk menghargai dan merayakan warisan yang telah dibangun selama satu abad,
sambil merenung tentang perjalanan yang telah dilalui dan langkah-langkah yang
akan diambil di masa depan.
100
tahun Jemaat Koinonia Kupang
"KOINONIA
BAHAGIA": Melangkah Bersama Dia
Sebuah momentum
besar bagi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Jemaat Koinonia Kupang (JKK) akan
terjadi pada 7 November 2025: Peringatan 100 tahun gereja.
Secara geografis,
JKK berada di jalan persimpangan 3 (depan dan belakang gedung gereja). Secara makna
psikologis, dalam hidup ini kita selalu di perhadapkan dengan keputusan dan
pilihan “simpang tiga”. Kita membutuhkan
intervensi ilahi di dalam Kristus melalui karya Roh Kudus untuk membuat pilihan
tepat dan bijak: “Koinonia Melangkah Bersama Dia”
Kata
"Dia" menunjuk kepada Tuhan Yesus Sang Dasar dan Kepala Gereja
(secara vertikal). Juga "Dia" bisa menunjuk kepada sesama saudara
seiman (horisontal). Seperti simbol salib.
Gereja Koinonia
dimulai sebagai satu persekutuan yang melangkah bersama saudara seiman dalam
Tuhan Yesus dan melangkah bersama Tuhan Yesus sampai Bahagia dalam Perjamuan di
Kerajaan-Nya kelak.