Monday, May 12, 2025

“Di Rumah yang Kudus Tapi Luka”

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Gereja seharusnya tempat di mana langit dan bumi bertemu, di mana jiwa-jiwa yang lelah datang untuk bernaung dan bertumbuh. Gereja adalah tempat berkumpulnya orang-orang baik dan orang-orang jahat. 

Bukan karena gereja menyukai kejahatan, tetapi karena Injil Kristus itu datang bukan untuk yang sehat, melainkan untuk yang sakit. Maka, di dalam gereja, kita temukan pemabuk yang bertobat, pemarah yang belajar bersabar, orang munafik yang mulai jujur, dan yang tersesat mencoba pulang. Seharusnya seperti itu.

Namun ada masanya, dan mungkin ini masanya, di mana gereja mulai kehilangan pusatnya. Ia masih terlihat hidup, aktif, sibuk, bahkan militan melayani. 

Tapi ada sesuatu yang diam-diam membusuk di dalam. Kejahatan yang lebih halus, yang dibungkus kerajinan, disiplin, dan nama pelayanan. Kejahatan yang tidak terlihat, tapi terasa: ketika gereja mulai melayani di luar kebenaran.

Bagaimana rupa kejahatan itu?

Pertama, ketika gereja tidak mau mengampuni mereka yang bersalah, ia lupa dirinya sendiri dibasuh oleh darah pengampunan. Pengampunan bukanlah opsi, tetapi jantung Injil. 

Namun kini, kita mulai memilih siapa yang pantas dimaafkan, dan siapa yang layak ditendang keluar. Seolah-olah kasih hanya untuk mereka yang rapi, bukan untuk mereka yang jatuh. Gereja menjadi ruang penghakiman, bukan ruang pemulihan.

Pengampunan adalah inti dari Injil. Tanpa pengampunan, salib kehilangan maknanya. Namun saat gereja mulai menolak mengampuni, ia sedang mengingkari kasih yang menerimanya sejak awal. 

Gereja menjadi pengadilan, bukan rumah pemulihan. Hukum kasih digantikan oleh daftar dosa. Gereja bukan lagi tempat untuk kembali, melainkan tempat yang ditakuti oleh mereka yang jatuh.

Kedua, ketika kebenaran dibangun di atas perbuatan baik manusia, kita menciptakan agama baru: moralitas tanpa Mesias. Kita menggantikan karya salib dengan daftar tugas. Kita puji mereka yang tampil suci, tapi diam-diam menyingkirkan yang gagal. Lalu kita bertanya: mengapa banyak yang takut kembali ke gereja setelah jatuh?

Kita sering menilai siapa yang layak menjadi pemimpin atau disanjung berdasarkan kebaikan atau performanya. Namun Injil tidak pernah dibangun di atas moralitas manusia, melainkan atas karya Kristus. Ketika kita menggeser dasar ini, kita sedang menciptakan agama baru—agama yang tampak suci, tapi kosong dari anugerah.

Ketiga, Kristus bukan lagi kepala, hanya tempelan di liturgi, di lagu, dan di pengakuan iman. Tapi keputusan-keputusan strategis gereja dibuat tanpa doa, tanpa firman, tanpa arah dari Sang Kepala. Kristus jadi seperti logo lama di perusahaan yang sudah berubah pemilik. Nama-Nya masih dipakai, tapi tak lagi dihormati.

Banyak gereja masih menyebut nama Yesus, menyanyikan lagu untuk-Nya, bahkan mengajarkan tentang-Nya. Namun dalam praktiknya, keputusan, arah, dan gaya hidup tidak lagi dipimpin oleh-Nya. Kristus hanya menjadi lambang, bukan Pemimpin. Ia disebut, tapi tidak ditaati.

Keempat, Kristus bukan satu-satunya, hanya nomor satu. Gereja bicara soal Yesus, tapi juga mencampurnya dengan motivasi dunia: sukses, pencapaian, popularitas, kekuasaan. Yesus dijadikan alat untuk mencapai impian, bukan Tuhan yang layak ditaati meski semua impian hancur. Kita mulai percaya Yesus adalah jalan terbaik, bukan satu-satunya jalan pertobatan. Satu-satunya jalan pemulihan. Satu-satunya jalan ke sorga kepada Bapa.

Ada pergeseran halus namun mematikan: Yesus tetap diajarkan, tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya jalan. Kita mulai mencampurkan ajaran Kristus dengan nilai-nilai dunia: kesuksesan, kepopuleran, kekayaan. Kristus menjadi sarana mencapai impian, bukan pusat dari hidup. “He is number one,” kita bilang, padahal Ia bukan lagi yang satu-satunya.

Kelima, pelayanan dibangun di atas transaksi, bukan relasi. “Saya melayani, maka saya dihargai.” “Saya memberi, maka saya ditinggikan.” Hubungan jadi seperti bisnis: siapa yang paling produktif, dia yang paling layak diberi tempat. Tidak ada lagi ruang untuk orang yang hancur, yang hanya bisa menangis, yang tidak bisa ‘memberi apa-apa’. Padahal Kristus sendiri berkata, “Yang kamu lakukan untuk yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku.”

Hubungan dalam gereja pun berubah. Dari yang seharusnya keluarga, menjadi kontrak tak tertulis: siapa yang bisa memberi lebih, dia yang dihargai lebih. Pelayanan menjadi seperti pasar, bukan ladang pengabdian. Orang-orang yang tidak bisa memberi kontribusi “nyata” dianggap tidak penting, padahal merekalah yang paling dikasihi Kristus.

Di saat-saat seperti inilah, gereja perlu bertobat. Bukan dengan program baru. Bukan dengan seminar atau kampanye gembar-gembor. Tapi dengan hati yang remuk, yang berkata: “Tuhan, kami telah salah. Kami telah menggantikan Engkau dengan bayangan-Mu.” Gereja yang sejati tidak takut mengakui lukanya, karena hanya yang mengakui sakitnya yang bisa sembuh.

Tuhan tidak mencari gereja yang sempurna. Tapi Ia mencari domba yang sesat. Dia membawa gereja-Nya kembali kepada-Nya. Yang menolak membangun di luar kebenaran, betapapun “suksesnya” itu terlihat. Yang berani berkata: “Lebih baik kecil tapi setia, daripada besar tapi melenceng.”

Mungkin hari ini adalah waktu yang tepat untuk berdiam sejenak dan bertanya: apakah gereja ini masih tempat di mana Kristus benar-benar hadir, atau hanya tempat di mana Nama-Nya masih disebut tetapi Wajah-Nya sudah lama pergi?

Tidak butuh acara besar untuk bertobat. Gereja hanya perlu hati yang hancur yang mau mengakui bahwa kita telah menjauh dari pusat: Kristus. Pelayanan tidak akan pernah menyelamatkan jika tidak dibangun di atas kebenaran. Dan kebenaran itu bukan sistem, bukan reputasi, bukan keberhasilan—melainkan Pribadi: Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja.

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya:
Apakah gereja kita masih rumah bagi yang tersesat?
Apakah Kristus masih satu-satunya pusat?
Apakah kasih dan anugerah masih menjadi budaya kita?
Atau gereja telah menjadi mesin pelayanan tanpa jiwa?

Jika jawabannya menohok, mungkin inilah saatnya kita kembali. Kembali kepada Salib. Kembali kepada Kristus.


6 comments:

  1. Shalom kk. Terima kasih untuk refleksi yg memberkati. TYM

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Terima kasih. Tuhan Yesus berkati. Shalom

      Delete
  2. Sungguh menelanjangi moralitas formal yang selama ini dipelihara dalam denyut pelayanan gereja-gereja jaman now.... Pusing pala beib...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih. Kiranya Roh Kudus membaharui gereja-Nya yang adalah Tubuh Kristus

      Delete
  3. Amin. Terimakasih untuk pesan refleksi yang mendalam. Tuhan menolong gereja untuk berpulih

    ReplyDelete