Sunday, March 16, 2025

Re-thinking dan developmental mindset

 

ged pollo

oleh: grefer pollo



Re-thinking dan developmental mindset adalah dua konsep yang sangat erat kaitannya dengan cara manusia berpikir, belajar, dan bertumbuh. Keduanya sangat relevan jika diterapkan di berbagai konteks termasuk dalam medan layan kita.

Kombinasi kedua pendekatan ini bisa menjadi fondasi penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung anak-anak untuk berkembang secara optimal, baik secara fisik, kognitif, emosional, sosial, spiritual.

 

Apa itu Re-thinking?

Re-thinking adalah kemampuan untuk meninjau ulang cara berpikir kita, mempertanyakan asumsi-asumsi yang kita pegang, dan membuka diri terhadap kemungkinan perspektif baru.

Dalam proses ini, seseorang belajar untuk tidak terpaku pada satu cara pandang saja, melainkan terus menerus mengkaji ulang apakah cara berpikir atau pendekatan yang digunakan masih relevan atau perlu diubah.

Konsep re-thinking sebagai pendekatan sistematis pertama kali dipopulerkan oleh Adam Grant, seorang profesor psikologi organisasi di Wharton School, University of Pennsylvania.

Ia memperkenalkan ide rethinking secara komprehensif dalam bukunya yang berjudul "Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know" yang terbit tahun 2021.

Adam Grant mengembangkan ide re-thinking bukan hanya sebagai kebiasaan berpikir ulang, tetapi sebagai kompetensi kognitif dan emosional yang esensial di era informasi yang cepat berubah.

Dalam Think Again, Grant menjelaskan bahwa kemampuan untuk mempertanyakan asumsi sendiri, meninggalkan keyakinan lama, dan menerima ide baru lebih penting daripada sekadar kecerdasan atau pengetahuan.

Dia menyebut rethinking sebagai: “The humility to doubt what we know and the curiosity to discover what we don’t.”

 

Dalam pendekatannya, Grant juga mendorong orang untuk mengadopsi mentalitas ilmuwan, yaitu:

  1. Selalu bersedia mencari data baru.
  2. Menganggap keyakinan sebagai hipotesis yang bisa diuji, direvisi, bahkan ditinggalkan.
  3. Fokus pada proses belajar, bukan hanya hasil akhirnya.

 

Walaupun Adam Grant yang pertama kali mengemas istilah re-thinking sebagai gerakan modern, akar filosofisnya sebenarnya sudah lama ada:

  • Socrates dengan metode Socratic questioning mengajarkan pentingnya mempertanyakan keyakinan sendiri.
  • John Dewey, filsuf dan pendidik, juga menekankan pentingnya reflective thinking dalam proses belajar.
  • Dalam psikologi, metakognisi—berpikir tentang cara kita berpikir—menjadi dasar bagi praktik re-thinking modern.

 

Mengapa Re-thinking Penting?

Adam Grant percaya bahwa kemampuan untuk berpikir ulang lebih penting di dunia modern daripada pengetahuan statis.

Kita hidup di zaman di mana informasi cepat berubah, dan apa yang benar kemarin bisa jadi salah hari ini. Oleh karena itu, re-thinking adalah keterampilan bertahan hidup abad ke-21.

 

 

Apa itu Developmental Mindset?

Developmental mindset adalah pola pikir yang percaya bahwa kemampuan, kecerdasan, dan kepribadian seseorang dapat berkembang melalui proses belajar, pengalaman, dan usaha terus-menerus.

Ini adalah konsep yang mirip dengan growth mindset dari Carol Dweck, tapi dengan cakupan yang lebih luas—tidak hanya soal kecerdasan, tetapi juga menyentuh aspek perkembangan moral, sosial, dan emosional.

Anak-anak (dan juga orang dewasa) dengan developmental mindset meyakini bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar, bukan akhir dari segalanya. Mereka tidak takut untuk mencoba hal-hal baru, karena memahami bahwa kemampuan mereka tidak tetap, melainkan bisa bertumbuh.

 

Konsep developmental mindset sebagai kerangka berpikir tentang perkembangan manusia (baik dari sisi kognitif, emosional, sosial, maupun moral) banyak diangkat dan dibahas dalam teori perkembangan manusia (human development theory) dan psikologi perkembangan.

Asal-usul Konsep Developmental Mindset

  1. Pengaruh Teori Growth Mindset

Banyak orang menyamakan atau mengaitkan developmental mindset dengan growth mindset, karena keduanya berbicara tentang kemampuan berkembang dari waktu ke waktu.

    • Carol Dweck, seorang profesor psikologi di Stanford University, memperkenalkan konsep growth mindset di awal 2000-an, lewat riset yang dimulai sejak 1980-an. Growth mindset adalah keyakinan bahwa kecerdasan dan kemampuan seseorang tidak bersifat tetap, melainkan bisa dikembangkan melalui usaha, strategi, dan masukan dari orang lain.
  1. Perkembangan Teori Adult Development

Di ranah psikologi perkembangan dewasa, istilah developmental mindset sering muncul dalam konteks bagaimana orang dewasa melihat dirinya sebagai individu yang terus bertumbuh.

    • Robert Kegan, seorang psikolog perkembangan dari Harvard University, dikenal atas teorinya tentang Constructive Developmental Theory. Ia membahas bahwa manusia terus mengalami perkembangan kognitif, emosional, dan moral sepanjang hidupnya. Dalam pendekatan Kegan, developmental mindset adalah tentang kesadaran bahwa kita selalu bisa tumbuh ke tahap pemahaman yang lebih kompleks.
  1. Educational Leadership dan Developmental Mindset

Dalam dunia pendidikan dan kepemimpinan, istilah developmental mindset mulai digunakan lebih luas oleh para pendidik, pelatih, dan konsultan pengembangan organisasi. Mereka menggunakannya untuk menggambarkan sikap mental yang fokus pada proses pertumbuhan berkelanjutan—baik dalam belajar, hubungan sosial, maupun karier.
Salah satu contoh penggunaannya ada dalam pendekatan Transformational Leadership dan Coaching for Development, di mana pemimpin atau pelatih mendorong individu untuk melihat diri mereka sebagai "proyek yang terus berkembang".

 

Apa Itu Developmental Mindset Secara Inti?

Secara esensial, developmental mindset adalah:

a.   Pola pikir yang percaya bahwa setiap aspek dalam diri manusia—kognitif, emosional, sosial, spiritual—bisa berkembang sepanjang hidup.

b.   Ini mencakup kemauan untuk belajar dari pengalaman, menerima perubahan sebagai bagian alami dari pertumbuhan, dan tidak terpaku pada versi lama diri sendiri atau orang lain.

 

Siapa yang Menggunakan Istilah Ini Saat Ini?

Sekarang, developmental mindset sering digunakan di:

  • Pendidikan Anak dan Dewasa (Education for Human Development)
  • Coaching dan Mentoring (Leadership Development)
  • Psikologi Positif
  • Organisasi dan HRD (Human Development in the Workplace)

 

 

Kombinasi Re-thinking dan Developmental Mindset di Pusat Pengembangan Anak

Bayangkan sebuah pusat pengembangan anak yang menerapkan kedua prinsip ini secara utuh.

Tempat ini tidak sekadar menjadi ruang bermain atau belajar biasa, melainkan laboratorium hidup di mana anak-anak dilatih untuk berpikir ulang (re-think) tentang cara mereka memecahkan masalah, mengelola emosi, atau memahami perbedaan dengan orang lain.

Pada saat yang sama, mereka juga ditanamkan keyakinan bahwa mereka mampu berkembang (developmental mindset), bahwa kegagalan adalah bahan bakar untuk menjadi lebih baik, bukan hambatan.

 

Lingkungan yang Adaptif dan Fleksibel

Pendekatan re-thinking membantu mentor, orang tua partisipan, dan staf di pusat pengembangan anak untuk tidak kaku dalam metode mentoring.

Mereka terus mengevaluasi apa yang berhasil dan apa yang tidak. Misalnya, jika metode mengajarkan empati melalui cerita ternyata kurang efektif, maka mereka siap mengevaluasi dan mencari pendekatan lain seperti permainan peran atau simulasi sosial.

Dengan developmental mindset, baik mentor maupun mentee sadar bahwa setiap orang berada dalam perjalanan belajar. Tidak ada metode yang final. Proses penyesuaian metode mentoring menjadi lebih luwes karena tidak ada rasa takut untuk mengubah pendekatan demi hasil yang lebih baik.

 

Mendorong Anak untuk Bertanya dan Mengeksplorasi

Partisipan di pusat pengembangan anak yang mengadopsi re-thinking akan didorong untuk bertanya, mempertanyakan, bahkan meragukan apa yang mereka lihat dan dengar—bukan sekadar menerima informasi mentah-mentah.

Mereka belajar untuk menyusun pemikiran kritis sejak dini, misalnya dengan bertanya, "Mengapa begitu? Apakah ada cara lain untuk melakukannya?"

Dipadukan dengan developmental mindset, partisipan tidak hanya belajar bertanya, tetapi juga memahami bahwa kemampuan mereka untuk memahami jawaban akan meningkat seiring waktu.

Mereka tidak merasa minder jika belum bisa menjawab pertanyaan sulit, karena mereka percaya bahwa mereka sedang berada dalam proses tumbuh.

 

Menumbuhkan Resiliensi dan Ketangguhan

Gagal dalam suatu aktivitas di pusat pengembangan anak bukan dianggap masalah besar.

Dengan developmental mindset, partisipan belajar bahwa gagal adalah bagian alami dari proses berkembang.

Sementara itu, re-thinking mengajarkan mereka untuk melihat kegagalan dari sudut pandang yang berbeda—bukan sebagai kekalahan, tapi sebagai umpan balik.

Misalnya, jika seorang mentee gagal menyelesaikan tantangan yang diberikan mentor, mentor dapat mendorongnya untuk bertanya, "Apa yang bisa aku lakukan berbeda lain kali?" atau "Apa yang belum aku coba?" Ini membantu mentee melatih fleksibilitas berpikir dan keuletan mental.

 

Menghargai Perbedaan dan Inklusi

Pusat pengembangan anak yang menerapkan re-thinking akan selalu membuka ruang untuk perspektif yang beragam. Partisipan belajar untuk tidak cepat menghakimi orang lain yang berbeda latar belakang atau pendapat.

Dengan developmental mindset, mereka belajar bahwa kemampuan memahami orang lain adalah sesuatu yang bisa terus dikembangkan.

Mereka tidak merasa canggung jika belum sepenuhnya memahami sudut pandang teman yang berbeda, karena mereka tahu empati itu butuh proses belajar juga.

 

Ruang Tumbuh Anak yang Holistik

Kombinasi re-thinking dan developmental mindset menciptakan budaya belajar yang dinamis, baik bagi mentee maupun bagi mentornya.

Di pusat pengembangan anak, ini berarti:

o   Partisipan belajar berpikir kritis, berpikir ulang, dan membuka diri terhadap perspektif baru.

o   Partisipan dibiasakan untuk melihat potensi mereka sebagai sesuatu yang terus berkembang, bukan tetap.

o   Mentor tidak berhenti belajar dan siap menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan perkembangan setiap anak.

o   Lingkungan menjadi ruang aman untuk bertanya, mencoba, gagal, dan tumbuh bersama.

Jika diterapkan secara konsisten, pusat pengembangan anak yang berbasis re-thinking dan developmental mindset akan melahirkan generasi masa depan yang tangguh, adaptif, dan berpikiran terbuka—mereka tidak hanya siap menghadapi perubahan, tapi juga menjadi agen perubahan itu sendiri.






Related Posts:

0 comments:

Post a Comment