Re-thinking
dan developmental mindset adalah dua konsep yang sangat erat kaitannya dengan
cara manusia berpikir, belajar, dan bertumbuh. Keduanya sangat relevan jika
diterapkan di berbagai konteks termasuk dalam medan layan kita.
Kombinasi
kedua pendekatan ini bisa menjadi fondasi penting dalam menciptakan lingkungan
yang mendukung anak-anak untuk berkembang secara optimal, baik secara fisik, kognitif,
emosional, sosial, spiritual.
Apa
itu Re-thinking?
Re-thinking adalah kemampuan untuk meninjau ulang cara berpikir
kita, mempertanyakan asumsi-asumsi yang kita pegang, dan membuka diri terhadap
kemungkinan perspektif baru.
Dalam
proses ini, seseorang belajar untuk tidak terpaku pada satu cara pandang saja,
melainkan terus menerus mengkaji ulang apakah cara berpikir atau pendekatan
yang digunakan masih relevan atau perlu diubah.
Konsep
re-thinking sebagai pendekatan sistematis pertama kali dipopulerkan oleh Adam
Grant, seorang profesor psikologi organisasi di Wharton School, University of
Pennsylvania.
Ia
memperkenalkan ide rethinking secara komprehensif dalam bukunya yang
berjudul "Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know" yang
terbit tahun 2021.
Adam
Grant mengembangkan ide re-thinking bukan hanya sebagai kebiasaan
berpikir ulang, tetapi sebagai kompetensi kognitif dan emosional yang esensial
di era informasi yang cepat berubah.
Dalam
Think Again, Grant menjelaskan bahwa kemampuan untuk mempertanyakan
asumsi sendiri, meninggalkan keyakinan lama, dan menerima ide baru lebih
penting daripada sekadar kecerdasan atau pengetahuan.
Dia
menyebut rethinking sebagai: “The humility to doubt what we know and the
curiosity to discover what we don’t.”
Dalam
pendekatannya, Grant juga mendorong orang untuk mengadopsi mentalitas ilmuwan,
yaitu:
- Selalu
bersedia mencari data baru.
- Menganggap
keyakinan sebagai hipotesis yang bisa diuji, direvisi, bahkan
ditinggalkan.
- Fokus pada
proses belajar, bukan hanya hasil akhirnya.
Walaupun
Adam Grant yang pertama kali mengemas istilah re-thinking sebagai
gerakan modern, akar filosofisnya sebenarnya sudah lama ada:
- Socrates
dengan metode Socratic questioning mengajarkan pentingnya mempertanyakan
keyakinan sendiri.
- John Dewey,
filsuf dan pendidik, juga menekankan pentingnya reflective thinking dalam
proses belajar.
- Dalam
psikologi, metakognisi—berpikir tentang cara kita berpikir—menjadi dasar
bagi praktik re-thinking modern.
Mengapa
Re-thinking Penting?
Adam
Grant percaya bahwa kemampuan untuk berpikir ulang lebih penting di dunia
modern daripada pengetahuan statis.
Kita
hidup di zaman di mana informasi cepat berubah, dan apa yang benar kemarin bisa
jadi salah hari ini. Oleh karena itu, re-thinking adalah keterampilan
bertahan hidup abad ke-21.
Apa
itu Developmental Mindset?
Developmental
mindset adalah pola pikir yang
percaya bahwa kemampuan, kecerdasan, dan kepribadian seseorang dapat berkembang
melalui proses belajar, pengalaman, dan usaha terus-menerus.
Ini
adalah konsep yang mirip dengan growth mindset dari Carol Dweck, tapi
dengan cakupan yang lebih luas—tidak hanya soal kecerdasan, tetapi juga
menyentuh aspek perkembangan moral, sosial, dan emosional.
Anak-anak
(dan juga orang dewasa) dengan developmental mindset meyakini bahwa
kegagalan adalah bagian dari proses belajar, bukan akhir dari segalanya. Mereka
tidak takut untuk mencoba hal-hal baru, karena memahami bahwa kemampuan mereka
tidak tetap, melainkan bisa bertumbuh.
Konsep
developmental mindset sebagai kerangka berpikir tentang perkembangan
manusia (baik dari sisi kognitif, emosional, sosial, maupun moral) banyak
diangkat dan dibahas dalam teori perkembangan manusia (human development
theory) dan psikologi perkembangan.
Asal-usul
Konsep Developmental Mindset
- Pengaruh
Teori Growth Mindset
Banyak orang menyamakan atau mengaitkan developmental
mindset dengan growth mindset, karena keduanya berbicara tentang kemampuan
berkembang dari waktu ke waktu.
- Carol
Dweck, seorang profesor psikologi di Stanford University, memperkenalkan
konsep growth mindset di awal 2000-an, lewat riset yang dimulai
sejak 1980-an. Growth mindset adalah keyakinan bahwa kecerdasan
dan kemampuan seseorang tidak bersifat tetap, melainkan bisa dikembangkan
melalui usaha, strategi, dan masukan dari orang lain.
- Perkembangan
Teori Adult Development
Di ranah psikologi perkembangan dewasa, istilah developmental
mindset sering muncul dalam konteks bagaimana orang dewasa melihat dirinya
sebagai individu yang terus bertumbuh.
- Robert
Kegan, seorang psikolog perkembangan dari Harvard University, dikenal
atas teorinya tentang Constructive Developmental Theory. Ia membahas
bahwa manusia terus mengalami perkembangan kognitif, emosional, dan moral
sepanjang hidupnya. Dalam pendekatan Kegan, developmental mindset
adalah tentang kesadaran bahwa kita selalu bisa tumbuh ke tahap pemahaman
yang lebih kompleks.
- Educational
Leadership dan Developmental Mindset
Dalam dunia pendidikan dan kepemimpinan, istilah developmental
mindset mulai digunakan lebih luas oleh para pendidik, pelatih, dan
konsultan pengembangan organisasi. Mereka menggunakannya untuk menggambarkan sikap
mental yang fokus pada proses pertumbuhan berkelanjutan—baik dalam belajar,
hubungan sosial, maupun karier.
Salah satu contoh penggunaannya ada dalam pendekatan Transformational
Leadership dan Coaching for Development, di mana pemimpin atau pelatih
mendorong individu untuk melihat diri mereka sebagai "proyek yang terus
berkembang".
Apa
Itu Developmental Mindset Secara Inti?
Secara
esensial, developmental mindset adalah:
a. Pola pikir yang percaya bahwa setiap aspek dalam diri
manusia—kognitif, emosional, sosial, spiritual—bisa berkembang sepanjang hidup.
b. Ini mencakup kemauan untuk belajar dari pengalaman, menerima
perubahan sebagai bagian alami dari pertumbuhan, dan tidak terpaku pada versi
lama diri sendiri atau orang lain.
Siapa
yang Menggunakan Istilah Ini Saat Ini?
Sekarang,
developmental mindset sering digunakan di:
- Pendidikan
Anak dan Dewasa (Education for Human Development)
- Coaching
dan Mentoring (Leadership Development)
- Psikologi
Positif
- Organisasi
dan HRD (Human Development in the Workplace)
Kombinasi Re-thinking dan Developmental
Mindset di Pusat Pengembangan Anak
Bayangkan
sebuah pusat pengembangan anak yang menerapkan kedua prinsip ini secara utuh.
Tempat
ini tidak sekadar menjadi ruang bermain atau belajar biasa, melainkan laboratorium
hidup di mana anak-anak dilatih untuk berpikir ulang (re-think) tentang
cara mereka memecahkan masalah, mengelola emosi, atau memahami perbedaan dengan
orang lain.
Pada
saat yang sama, mereka juga ditanamkan keyakinan bahwa mereka mampu berkembang
(developmental mindset), bahwa kegagalan adalah bahan bakar untuk
menjadi lebih baik, bukan hambatan.
Lingkungan yang Adaptif dan Fleksibel
Pendekatan
re-thinking membantu mentor, orang tua partisipan, dan staf di pusat
pengembangan anak untuk tidak kaku dalam metode mentoring.
Mereka
terus mengevaluasi apa yang berhasil dan apa yang tidak. Misalnya, jika metode
mengajarkan empati melalui cerita ternyata kurang efektif, maka mereka siap
mengevaluasi dan mencari pendekatan lain seperti permainan peran atau simulasi
sosial.
Dengan
developmental mindset, baik mentor maupun mentee sadar bahwa setiap
orang berada dalam perjalanan belajar. Tidak ada metode yang final. Proses
penyesuaian metode mentoring menjadi lebih luwes karena tidak ada rasa takut
untuk mengubah pendekatan demi hasil yang lebih baik.
Mendorong Anak untuk Bertanya dan Mengeksplorasi
Partisipan
di pusat pengembangan anak yang mengadopsi re-thinking akan didorong
untuk bertanya, mempertanyakan, bahkan meragukan apa yang mereka lihat dan
dengar—bukan sekadar menerima informasi mentah-mentah.
Mereka
belajar untuk menyusun pemikiran kritis sejak dini, misalnya dengan bertanya,
"Mengapa begitu? Apakah ada cara lain untuk melakukannya?"
Dipadukan
dengan developmental mindset, partisipan tidak hanya belajar bertanya,
tetapi juga memahami bahwa kemampuan mereka untuk memahami jawaban akan
meningkat seiring waktu.
Mereka
tidak merasa minder jika belum bisa menjawab pertanyaan sulit, karena mereka
percaya bahwa mereka sedang berada dalam proses tumbuh.
Menumbuhkan Resiliensi dan Ketangguhan
Gagal
dalam suatu aktivitas di pusat pengembangan anak bukan dianggap masalah besar.
Dengan
developmental mindset, partisipan belajar bahwa gagal adalah bagian
alami dari proses berkembang.
Sementara
itu, re-thinking mengajarkan mereka untuk melihat kegagalan dari sudut
pandang yang berbeda—bukan sebagai kekalahan, tapi sebagai umpan balik.
Misalnya,
jika seorang mentee gagal menyelesaikan tantangan yang diberikan mentor, mentor
dapat mendorongnya untuk bertanya, "Apa yang bisa aku lakukan berbeda lain
kali?" atau "Apa yang belum aku coba?" Ini membantu mentee melatih
fleksibilitas berpikir dan keuletan mental.
Menghargai Perbedaan dan Inklusi
Pusat
pengembangan anak yang menerapkan re-thinking akan selalu membuka ruang
untuk perspektif yang beragam. Partisipan belajar untuk tidak cepat menghakimi
orang lain yang berbeda latar belakang atau pendapat.
Dengan
developmental mindset, mereka belajar bahwa kemampuan memahami orang
lain adalah sesuatu yang bisa terus dikembangkan.
Mereka
tidak merasa canggung jika belum sepenuhnya memahami sudut pandang teman yang
berbeda, karena mereka tahu empati itu butuh proses belajar juga.
Ruang Tumbuh Anak yang Holistik
Kombinasi
re-thinking dan developmental mindset menciptakan budaya belajar
yang dinamis, baik bagi mentee maupun bagi mentornya.
Di
pusat pengembangan anak, ini berarti:
o
Partisipan
belajar berpikir kritis, berpikir ulang, dan membuka diri terhadap perspektif
baru.
o
Partisipan
dibiasakan untuk melihat potensi mereka sebagai sesuatu yang terus berkembang,
bukan tetap.
o
Mentor tidak
berhenti belajar dan siap menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi
kebutuhan perkembangan setiap anak.
o
Lingkungan
menjadi ruang aman untuk bertanya, mencoba, gagal, dan tumbuh bersama.
Jika
diterapkan secara konsisten, pusat pengembangan anak yang berbasis re-thinking
dan developmental mindset akan melahirkan generasi masa depan yang
tangguh, adaptif, dan berpikiran terbuka—mereka tidak hanya siap menghadapi
perubahan, tapi juga menjadi agen perubahan itu sendiri.
0 comments:
Post a Comment