Saturday, October 11, 2025

Tidak Semua Orang Dapat Kesempatan Berbuat Baik

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Tidak Semua Orang Dapat Kesempatan Berbuat Baik

Hidup ini penuh dengan kesempatan. Ada yang datang sekali, ada yang berulang, ada pula yang lewat begitu saja tanpa kita sadari. 

Salah satu kesempatan terbesar yang bisa dimiliki manusia adalah kesempatan untuk berbuat baik. 

Namun, tidak semua orang mendapatkannya,dan tidak semua orang yang mendapat kesempatan itu mampu menangkapnya.

Untuk mendalami hal di atas, bertepatan dengan momentum peringatan kisah Natal yang akan kita sambut, mari kita mengingat kisah sederhana di malam kelahiran Yesus.

Maria dan Yusuf, pasangan muda yang sedang menantikan kelahiran anak sulung mereka, berjalan jauh dari Nazaret ke Betlehem. 

Perjalanan panjang, tubuh lelah, hati cemas. Mereka hanya butuh satu hal: tempat singgah.

Tapi pintu-pintu penginapan tertutup. Pemilik penginapan mungkin punya alasan logis, misalnya kamar penuh, tamu sudah banyak, atau mungkin mereka sekadar tidak mau repot. 

Namun, mari kita jujur: siapa yang tahu bahwa di depan pintu mereka berdiri seorang perempuan yang akan melahirkan Tuhan, Sang Juruselamat dunia?

Di situlah letak ironi. Pemilik penginapan itu mungkin tidak jahat, hanya sibuk atau terlalu praktis. Tapi ia melewatkan kesempatan emas, kesempatan yang tidak akan pernah datang dua kali. 

Ia bisa saja tercatat dalam sejarah sebagai orang yang menolong Maria dan Yusuf, tetapi namanya hilang ditelan waktu. Yang tersisa hanyalah catatan singkat: “tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.”

Bukankah hidup kita sering serupa? Kita tidak selalu diberi kesempatan besar untuk menolong ribuan orang, tetapi setiap hari ada peluang kecil untuk berbuat baik: menyapa dengan ramah, mendengar dengan sabar, memberi sedikit dari yang kita punya. 

Masalahnya, kita sering terlalu sibuk, terlalu lelah, atau terlalu “penuh” dengan urusan sendiri. Akibatnya, kesempatan itu lewat begitu saja.

Alkitab mengingatkan, “Selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang” (Galatia 6:10). Kata “selama masih ada kesempatan” itu penting. Artinya, kesempatan bisa habis. 

Tidak semua orang akan selalu punya waktu, tenaga, atau bahkan hidup panjang untuk menebar kebaikan.

Maka, jangan menunggu momen spektakuler. Jangan menunggu sampai kita kaya raya, terkenal, atau punya panggung besar. 

Kesempatan berbuat baik sering datang dalam bentuk sederhana, misalnya seorang tetangga yang butuh ditemani, seorang anak yang butuh didengar, atau seorang sahabat yang butuh dikuatkan.

Dan siapa tahu, di balik kebaikan kecil yang kita lakukan, Tuhan sedang menulis sejarah besar. 

Pemilik penginapan mungkin menyesal jika ia tahu siapa yang ia tolak malam itu. Jangan sampai kita pun menyesal karena melewatkan kesempatan yang Tuhan titipkan hari ini.

Jadi, kalau ada kesempatan berbuat baik, jangan ditunda. Jangan menunggu besok. Karena tidak semua orang mendapat kesempatan itu, dan tidak semua kesempatan datang dua kali.

Ibrani 13:2: Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.



Continue reading Tidak Semua Orang Dapat Kesempatan Berbuat Baik

Seorang Pemimpin Akan Melahirkan Pemimpin Baru

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Seorang Pemimpin Akan Melahirkan Pemimpin Baru

Di sebuah kampung kecil, listrik sering padam. Malam-malam jadi gelap gulita, hanya suara jangkrik yang setia menemani. Suatu hari, warga berkumpul di balai desa, bingung harus bagaimana.

Dari tengah kerumunan, seorang pemuda berdiri. Ia tidak membawa obor besar, tidak juga punya senter canggih. Ia hanya menyalakan sebatang lilin kecil. “Setidaknya kita bisa lihat wajah satu sama lain,” katanya sambil tersenyum.


Awalnya orang-orang menertawakan: “hahahahaaaa, hanya sebuah lilin sekecil itu, apa gunanya?” Tapi perlahan, satu per satu warga ikut menyalakan lilin mereka, menyalakan dari api kecil yang dibawa pemuda itu. Balai desa yang tadinya gelap berubah jadi terang, penuh cahaya hangat.

Malam itu, orang-orang sadar: pemimpin bukanlah orang yang punya cahaya paling besar, melainkan orang yang berani menyalakan api pertama. Dan yang lebih penting, ia tidak menyimpan api itu untuk dirinya sendiri, tapi membagikannya agar orang lain juga bisa menyala.

Sejak saat itu, kampung itu tidak lagi takut gelap. Karena mereka tahu, selalu ada lilin-lilin baru yang bisa dinyalakan.

Ya, benar, ….

  • Pemimpin hadir bukan untuk jadi “senter satu-satunya,” tapi untuk melahirkan cahaya baru di sekelilingnya.

 

Kadang, pemimpin itu tidak jatuh dari langit dengan jubah berkibar dan musik heroik di belakangnya. Biasanya, ia lahir dari tengah-tengah komunitas yang sedang… hhhmmmm, pusing tujuh keliling. Ada masalah, ada kebuntuan, ada rasa “aduh, bagaimana ini?”. Ya, di situlah, dan di situlah seorang pemimpin muncul.

Pemimpin hadir bukan untuk gaya-gayaan, apalagi sekadar foto di spanduk. Ia hadir untuk menyelesaikan masalah. Kalau tidak ada masalah, mungkin ia hanya jadi “ketua arisan” biasa. Tapi ketika badai datang, barulah terlihat siapa yang bisa berdiri tegak: “here I stand”, siapa yang bisa menenangkan, siapa yang bisa bilang: “Tenang, kita bisa atasi ini bersama.”

Ya, menariknya, pemimpin sejati tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia justru melahirkan pemimpin-pemimpin baru dari orang-orang yang ia pimpin. Ada dua faktor penting di sini:

  1. Panggilan spiritual. Ada orang-orang yang memang dipanggil untuk memimpin. Bukan karena mereka paling keras suaranya, tapi karena ada sesuatu di dalam diri mereka yang berkata, “Aku harus maju.”
  • Teladan hidup. Pemimpin yang baik itu seperti Wi-Fi: tidak selalu kelihatan, tapi pengaruhnya terasa. Kalau ia konsisten jadi role model, orang-orang di sekitarnya akan belajar, meniru, dan akhirnya ikut tumbuh menjadi pemimpin juga. Ketika pemimpin hidup sebagai contoh, orang lain pun berani menyalakan lilin mereka sendiri.

Jadi, pemimpin itu bukan sekadar “bos” yang duduk di kursi empuk. Ia lebih seperti lilin yang menyalakan lilin-lilin lain. Dan semakin banyak lilin yang menyala, semakin teranglah ruangan, bahkan kalau listrik PLN tiba-tiba padam.

 

Continue reading Seorang Pemimpin Akan Melahirkan Pemimpin Baru

Thursday, October 9, 2025

Mengapa Orang Tidak Berani Bertanya

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Bayangkan suasana kelas atau rapat. Seorang fasilitator baru saja menjelaskan materi yang cukup rumit. Ia lalu bertanya, “Ada yang mau bertanya?” Ruangan hening. Padahal, jelas ada beberapa wajah yang masih kebingungan. Mengapa mereka diam?

Diam bukan berarti paham. Diam sering kali adalah hasil dari ketakutan sosial dan tekanan psikologis. Banyak orang memilih aman dengan tidak bertanya, karena bertanya dianggap membuka kelemahan diri. Akibatnya, kesempatan belajar hilang, dan proses diskusi menjadi pasif.

Fenomena ini bukan hanya di ruang kelas. Dalam dunia kerja, rapat organisasi, bahkan pertemuan komunitas, pola yang sama muncul: orang lebih memilih diam daripada mengangkat tangan. Padahal, pertanyaan adalah pintu menuju kepada pengetahuan baru dan pemahaman yang lebih dalam.

 

Bukti & Alasan Utama

Berbagai penelitian dan pengamatan sosial menunjukkan beberapa penyebab utama:

  • Takut dianggap bodoh – Banyak orang khawatir pertanyaannya akan dinilai remeh atau menunjukkan ketidaktahuan.
  • Malu atau pemalu secara pribadi – Rasa minder membuat seseorang enggan berbicara di depan umum.
  • Takut dihakimi atau ditertawakan – Pengalaman buruk, misalnya pernah ditertawakan saat bertanya, bisa menimbulkan trauma jangka panjang.
  • Gengsi dan ego – Ada yang merasa harga dirinya jatuh jika harus bertanya, seolah-olah mengakui kelemahan.
  • Belum paham pokok bahasan – Kadang orang tidak tahu harus bertanya apa, karena gambaran besar materi saja belum jelas.
  • Budaya pendidikan yang pasif – Dalam konteks mahasiswa, kurikulum yang padat dan orientasi pada nilai membuat ruang bertanya semakin sempit.
  • Tak ingin merepotkan orang lain – Ada yang berpikir lebih baik mencari sendiri daripada bertanya.

Refleksi

Jika ditarik ke akar, rasa takut bertanya sering kali lahir dari budaya malu dan tekanan sosial. Padahal, bertanya justru tanda kehausan akan ilmu dan keberanian intelektual

Seperti kata pepatah, “Malu bertanya, sesat di jalan, tidak bertanya tidak jalan-jalan. Banyak bertanya banyak jalan-jalan. Banyak berjalan banyak yang dilihat, banyak  pengetahuannya.”

Untuk mengubahnya, perlu dibangun lingkungan yang aman, di mana pertanyaan dihargai sebagai bagian dari proses belajar. 

Fasilitator, guru, mentor, atau pemimpin bisa menormalisasi pertanyaan dengan memberi apresiasi, bukan penilaian negatif.



Continue reading Mengapa Orang Tidak Berani Bertanya

Sunday, October 5, 2025

TERPURUK BUKAN BERARTI TERBURUK

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Kadang hidup itu mirip kisah Yunus: sudah lari dari panggilan, tapi malah “check-in” gratis di perut ikan. Terpuruk? Jelas. Bau amis? Sudah Pasti.

Tapi apakah itu akhir cerita? Tidak. Justru dari tempat paling gelap dan sempit, doa Yunus naik ke hadapan Tuhan, dan ikan itu jadi “taksi laut” yang mengantarnya kembali ke jalur panggilan.


Lain lagi dengan cerita Yusuf: dijual saudara, difitnah istri majikan, dipenjara tanpa salah. Kalau ada lomba “nasib paling terpuruk,” mungkin dia juara. 

Mirip sudah jatuh ketiban tangga. Tapi Alkitab mencatat, justru dari titik terendah itulah Tuhan mengangkatnya jadi penguasa Mesir, menyelamatkan banyak bangsa.

Jadi, terpuruk bukan berarti terburuk. Itu hanya “bab suspense” dalam novel kehidupan yang Tuhan tulis. 

Kalau hidupmu sekarang terasa seperti jatuh di lumpur, ingat: lumpur bisa jadi bahan terbaik untuk membuat tembikar indah di tangan Sang Penjunan (Yeremia 18:6).

Mungkin hari ini kamu merasa seperti Petrus yang tenggelam karena kurang iman. 

Tapi jangan lupa, Yesus tetap mengulurkan tangan-Nya sambil berkata, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (Matius 14:31). Terpuruk bukan berarti tamat. Itu hanya momen latihan berenang rohani bersama Sang Guru.

Kalau jatuh itu manusiawi, bangkit itu surgawi.

Jadi jangan buru-buru menilai “terpuruk = terburuk.”

Bisa jadi itu hanya “promo spesial” Tuhan: Buy one crisis, get one miracle free.

Continue reading TERPURUK BUKAN BERARTI TERBURUK

KESUKSESAN ADALAH HASIL DARI PROSES BUKAN PROTES

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Di sebuah kampung di Rote, ada seorang anak muda bernama Pau. Ia terkenal cerewet. Bukan cerewet soal cerita lucu, tapi cerewet soal hidup. Setiap kali melihat orang lain berhasil, ia selalu berkata, “Enak sekali dia. Pasti ada jalan pintas. Kenapa saya tidak bisa begitu?”

Suatu hari, Pau duduk di bawah pohon tuak sambil menatap langit. Ia protes dalam hati, “Tuhan, kenapa hidup saya begini-begini saja? Kenapa orang lain bisa sukses, sementara saya masih begini?”


Seorang bapa desa lewat, membawa alat sadap tuak. Ia tersenyum melihat Pau yang sedang murung. “Anak muda,” katanya, “kau tahu kenapa air tuak bisa manis? Karena ada proses. Disadap pagi, ditampung siang, dijaga malam. Kalau kau hanya duduk di bawah pohon sambil protes, sampai ayam berkokok tiga kali pun, air tuak tidak akan turun sendiri ke mulutmu.”

Pau terdiam. Orang tua itu melanjutkan, “Alkitab bilang, ‘Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya’ (Galatia 6:7).

Kalau kau tidak menabur kerja keras dan kerja cerdas, jangan harap menuai kesuksesan. Tuhan memberkati usaha, bukan keluhan. Tuhan menyertai dalam proses bukan protes.”


Hari-hari berikutnya, Pau mulai belajar. Ia mulai membantu mamanya menenun tenun ikat. Awalnya benangnya kusut, motifnya miring, dan ia hampir saja protes lagi. Tapi mamanya berkata, “Nak, tenun ikat Rote tidak jadi dalam sehari. Benang demi benang, sabar demi sabar. Kalau kau mau hasil indah, jangan cepat menyerah.”

Ia juga ikut to’o-nya ke laut. Saat jala dilempar, ikan tidak langsung masuk. Kadang kosong, kadang hanya dapat rumput laut. Pau hampir putus asa. Tapi to’o-nya tertawa, “Kalau nelayan hanya protes karena laut sepi, siapa yang akan makan ikan? Proses itu bagian dari berkat.”

Perlahan, Pau mengerti. Kesuksesan bukanlah hadiah instan. Ia seperti perjalanan Yakub yang harus bekerja bertahun-tahun demi Rahel. Ia seperti Yesus yang memilih jalan salib, bukan jalan pintas. Tidak ada kemuliaan tanpa penderitaan. Tiada hasil tanpa proses.

Beberapa tahun kemudian, Pau dikenal sebagai pemuda yang rajin. Ia membuka usaha kecil, melatih anak-anak muda, dan menolong orang lain. Ketika ditanya rahasia suksesnya, ia hanya tersenyum dan berkata,

“Dulu saya suka protes. Sekarang saya belajar proses. Dan ternyata, proses itulah yang membuat saya bertumbuh, bukan hanya berhasil.”

Pesan untuk kita semua: Kesuksesan itu seperti pohon tuak di Rote. Ia tidak tumbuh semalam, tapi akarnya kuat, batangnya tegak, dan buahnya memberi kehidupan. Kalau kita mau berhasil, jangan hanya pandai protes. Mari jalani proses dengan iman dalam Kristus, kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan pengharapan.



Continue reading KESUKSESAN ADALAH HASIL DARI PROSES BUKAN PROTES

KERJA SAMA VS KERJA SALAH

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Premis cerita

Di sebuah desa kecil bernama Mari Kerja, dua tim diberi tugas membangun jembatan kayu menuju kebun bersama. Satu tim bekerja sama dengan doa, tawa, dan pembagian tugas yang jelas. 

Tim lain sibuk menunjukkan siapa yang paling terlihat bekerja, kumpul pujian, dan memotong sudut demi hasil instan. Kedua jembatan akhirnya selesai. Tapi jalan cerita belum tentu berakhir di atas air yang sama.

Tokoh singkat

  • Pak Andre: tukang kayu bijak yang sering omong Amsal sambil mengukur papan.
  • Bapak Ajak: pemimpin tim kerja sama, senyumannya membuat beban kerja terasa ringan.
  • Pose Berwarna: pemimpin tim kerja salah, suka berpose di depan kamera dan update status sambil menyuruh orang lain mengangkat kayu.
  • Tua Adat: pengamat jembatan, tahu kapan harus memberi tahu yang salah sekaligus berbagi kue dan nasihat.

KEJAR YANG KEKAL: Allah yang menjaga | kabar baik bagi yang tidak baik-baik

Narasi

Pagi itu sinar matahari menari di atas papan-papan kayu, seperti undangan untuk orang-orang yang suka kerja nyata. 

Tim Ajak berkumpul seperti orkestra kecil: ada yang mengukur kayu, yang lain menyiapkan paku, yang lain menahan papan sambil menyanyikan lagu kerja. Ketika satu paku bengkok, mereka tertawa bersama dan mengganti strategi. 

Doa singkat sebelum memukul paku membuat palu rasanya lebih bersahabat.

Di seberang lapangan, tim Pose tampil seperti panggung sandiwara. Pimpinannya memberi instruksi seperti sutradara drama: “Kamu angkat, kamu cat, kamu bilang terima kasih padaku nanti.” 

Orang-orang bekerja cepat, kubu Pose memotong sudut agar papan segera tampak rapi. Setiap kali Pose lewat, dia melambai dramatis seolah-olah sedang membuka pameran hasil karyanya sendiri.

Jembatan Ajak jadi dengan suara tepuk tangan saat papan terakhir disatukan. Mereka menguji dengan menyeberang bertiga-sekali, lalu saling menggandeng tangan sampai terlihat seperti barisan penari rakyat.

Jembatan Pose pun selesai; catnya mengkilap seperti panggung akhir musim. Tapi ketika angin menyelinap lewat, suara gemeretak kecil muncul. Paku yang dipasang terburu-buru mulai mengangguk-angguk, terlihat mulai terlepas.

Tua Adat datang menghitung paku seperti membaca doa harian. Ia berjalan ke jembatan Pose, mengetuk satu papan, dan berkata dengan tenang: “Bangun jembatan biar cepat itu hebat, tapi jangan lupa bangun hati biar kuat.” Pose tersipu, sementara Ajak mengundang tim Pose untuk kopi dan berbagi palu.

Kilasan teologis

Kerja sama mengingatkan tubuh Kristus: anggota-anggota berbeda karunia, satu tujuan, saling menopang. Kerja salah mengingatkan menara Babel: bangun tinggi tanpa mengangkat hati ke langit itu mudah roboh ketika yang penting hanya tampak di mata manusia. Menggarap sesuatu dengan hikmat jauh lebih elegan daripada sekadar memamerkan hasil sementara.

Pesan singkat

  • Kerja sama memberi hasil yang tahan lama karena dibangun atas kepercayaan, pembagian beban, dan kasih praktis.
  • Kerja salah bisa cepat dan mencolok, tetapi biasanya bernasib memalukan saat pengujian datang.
  • Jadilah seperti Ajak: bekerja dengan tangan cekatan, hati yang rendah, dan selera humor yang bisa menambal setiap papan bengkok.

Lewat jembatan-jembatan itu, orang-orang Mari Kerja belajar bahwa kerja yang diberkati adalah kerja yang mengangkat sesama, bukan hanya mengangkat diri sendiri.

 


Continue reading KERJA SAMA VS KERJA SALAH

Tuesday, September 30, 2025

Cintamu Membunuhku

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Cintamu Membunuhku

Ada sebuah kebakaran yang memberi kesan membara tetapi lembut dan pasti. 

Bukan menghasilkan kepulan asap dan sirene, melainkan kebakaran yang memakan ruang-ruang ego, menyapu retakan-retakan rasa nyaman palsu, dan meninggalkan satu hal yang benar-benar hangus: aku yang dulu.

Mazmur itu berbicara dengan suara yang gampang dikenali, suara yang bergetar ketika seseorang jatuh cinta bukan pada manusia, melainkan pada Rumah-Nya. “Cinta akan rumahmu menghanguskan aku.”


Api itu tidak untuk menghancurkan tanpa tujuan; api itu membersihkan, memurnikan, menyingkap siapa yang tersisa setelah semua kepasrahan dipanggang dan terpanggang.

Aku pernah membayangkan iman sebagai mantel hangat yang kukenakan di pagi dingin: nyaman, aman, pas di badan. 

Namun kasih Tuhan ternyata lebih mirip oven kaca raksasa yang setelah menyalakannya, membuatku sadar bahwa mantel itu penuh noda—noda ego, ambisi, panggilan palsu, pelayanan palsu penuh obsesi diri sendiri, mencari eksistensi diri palsu yang harus dilebur agar aku muat dalam pakaian baru: kehidupan yang hanya untuk Dia. 

Prosesnya? Menyakitkan, lucu, ironis, serupa orang yang tertawa saat sadar bajunya terbalik di depan cermin.

Kesengsaraan awalnya terasa intolerable: rasa malu karena kebiasaan lama tersingkap, kebiasaan untuk mengambil untung, kepentingan diri sendiri, untuk menuntut, untuk mempertahankan citra. 

Namun ada momen—aneh dan intim—ketika aku menangkap bahwa “mati” yang ditawarkan kasih-Nya bukanlah kehancuran total, melainkan pembebasan dari tirani diriku sendiri. 

Aku mulai mengerti bahwa hidup yang kupegang erat selama ini sebenarnya adalah tiruan: hidup yang dipoles untuk dilihat manusia, bukan untuk memuliakan Tuhan.


Cara Kasih Tuhan Membunuh Keegoanku

  • Pertama, kasih itu menatap langsung ke inti. Ia tidak sibuk dengan kosmetik rohani. Dia melucuti; ia mengajak jujur. Di situlah ego mulai goyah: palu kasih menumbuk satu demi satu alasan kita berkuasa pada diri sendiri.
  • Kedua, kasih itu menuntut pilihan. Ketika engkau dicintai sampai mati oleh Tuhan, engkau dihadapkan pada pertanyaan sederhana: siapa yang memimpin hidupmu? Kalau jawabannya masih “aku”, kasih itu akan bertindak seperti dokter tegas yang menganjurkan operasi.
  • Ketiga, prosesnya seringkali absurd. Ada saat-saat ketika kamu menangis di sudut karena merasa kecil, lalu tertawa di detik berikutnya karena menyadari betapa dramatisnya dirimu selama ini. Humor kecil itu menjadi obat dalam proses yang menembus tulang.

Ada kalanya aku merasa seperti tokoh di drama komedi romantis: diculik oleh cinta Ilahi, dibawa ke tempat tak dikenal, diberi pelajaran-tanpa-syarat tentang bagaimana melepaskan. 

Hanya bedanya, di akhir pertunjukan Tuhan tidak menuliskan nomor telepon baru untuk dihubungi, Ia menuliskan kehidupan baru untuk dijalani.

Surat Galatia menyuguhkan sebuah pernyataan yang tak kalah berani: “Aku telah disalibkan bersama Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

Pernyataan itu menjelaskan konkret apa yang mazmur rasakan secara emosional. 

Mazmur berteriak karena rindu Rumah-Nya; Galatia menyatakan bahwa rindu itu berbuah radikalitas hidup: “aku mati” supaya “Kristus hidup.” Lebih tepatnya: “Kristus mati supaya aku hidup”. Dan, Dia hidup selama-lamanya.

Di sini ada kesejajaran yang jelas: mazmur menunjukkan gejolak cinta yang “menghanguskan”, Galatia memberi teologi pada pengalaman itu, mati secara simbolis terhadap diri sendiri agar hidup bagi Kristus.

Ego kita tidak dihapus karena kecelakaan; ia dikubur sebagai konsekuensi logis dari hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Ketika aku merespons kasih itu, aku tidak berusaha lagi melakukan pertunjukan kepahlawanan rohani. 

Sebaliknya, ada kebebasan menakjubkan: kalau bukan aku yang memimpin, maka kesalahan dan kekonyolan yang kubuat tidak lagi menjadi pusat drama.

Tapi berhati-hatilah: ada godaan untuk menginventarisasi kebajikan baru: sebuah ego versi rohani yang berkata, “Lihat, aku telah mati bagi diriku.” 

Galatia memberi teguran halus: jika kita mulai memanfaatkan kematian diri itu sebagai alat untuk menaikkan citra diri, maka kita meniadakan kasih yang memanggil kita mati untuk hidup. Kasih yang sejati menghasilkan kerendahan hati, bukan trofi moral.




Humor dalam Api yang Menyala

Bayangkan momen ketika Tuhan membongkar “playlist” hidupmu. Lagu-lagu yang tadinya kau pasang untuk menegaskan siapa dirimu—lagu populer, lagu ambisi, bahkan lagu “aku-lah-pahlawan”—semua diputar ulang di hadapan-Nya. Dia menekan tombol next. Kau protes: “Tunggu, itu lagu kemenangan saya!” 

Tuhan hanya menatap sambil tersenyum lalu memutar lagu baru: “Hidup bagi Kristus.” Ternyata lagu baru itu mudah dinyanyikan; liriknya sederhana: “Bukan aku, tetapi Kristus.”

Humornya juga muncul dalam kebiasaan kita memikirkan ‘bagaimana’ mengorbankan diri. Kita merancang skenario heroik, tapi kenyataannya pengorbanan seringkali sepele: memberi kursi di transportasi umum, mengakui kesalahan kecil, melewatkan kesempatan mendapatkan pujian. 

Banyak dari momen-momen suci itu tampak keterlaluan biasa. Sebuah ironi: kematian besar sering terjadi lewat hal-hal yang paling kecil.

 

Penutup

Cintamu membunuhku bukanlah ancaman; itu adalah undangan paling lembut untuk berubah. Seperti mazmur yang terbakar oleh rindu akan rumah Tuhan, dan seperti Galatia yang menegaskan kematian diri untuk kehidupan Kristus, panggilan ini membawa kita dari sandbox ego kepada taman kehidupan yang lebih besar. 

Kematian ego bukan akhir; itu adalah kelahiran ulang yang membuat setiap nafas menjadi doa, setiap kegagalan menjadi bahan komedi yang menumbuhkan belas kasih, dan setiap keberhasilan menjadi kesempatan untuk menunjuk ke arah lain, ke Hadirat yang menghanguskan segala yang menghalangi kasih-Nya.

Kalau kau masih ingin mempertahankan sedikit ruang untuk dirimu sendiri, pahamlah: Tuhan mungkin akan mengirimkan kebakaran kecil lagi. Jangan khawatir, ada selimut keselamatan yang cukup besar untuk menahanmu saat kamu belajar menari di antara bara, dan ada juga humor ilahi yang membuatmu tersenyum ketika bajumu akhirnya benar-benar pas.

 

Continue reading Cintamu Membunuhku