oleh: grefer pollo
Film ini dibuka dengan panorama desa kecil yang damai. Kamera menyorot
rumah sederhana, di mana seorang bapak bernama Yosua sedang sibuk
mencari kunci rumah yang terselip.
Narasi lembut mengiringi: Yosua dikenal
sebagai sosok yang rajin berdoa, setia hadir di gereja, namun ada satu hal yang
membuatnya unik—ia sering lupa.
Kelupaannya bukan sumber marah, melainkan
sumber tawa. Adegan-adegan singkat memperlihatkan ia lupa janji dengan
tetangga, lupa sedang berpuasa lalu minum kopi di warung, dan semua berakhir
dengan senyum hangat orang-orang di sekitarnya.
Suatu Minggu, Yosua ditunjuk menjadi liturgis. Kamera menyorot wajahnya
yang penuh semangat saat membuka Alkitab di hadapan jemaat.
Dengan lantang ia
berkata: “Saudara-saudara, mari kita membaca dari Kitab Kejutan!”
Sejenak hening. Jemaat saling berpandangan, ada yang berbisik, “Mungkin
maksudnya Kejadian?” Wajah Yosua memerah, namun ia melanjutkan dengan percaya
diri: “Ya, Kitab Kejutan… sebab firman Tuhan memang penuh kejutan!”
Tawa pecah. Suasana yang biasanya kaku berubah hangat. Anak-anak yang
sering bosan tiba-tiba berseru riang: “Pak, apa lagi kejutan dari Tuhan?”
Sejak
hari itu, istilah Kitab Kejutan hidup di desa. Hal-hal kecil yang tak
terduga menjadi ayat baru yang membuat semua tersenyum.
Beberapa bulan kemudian, seorang pendeta tamu hadir dan berkhotbah:
“Hidup kita memang seperti Kitab Kejutan. Yesus membuat murid-Nya
terheran-heran: air jadi anggur, badai jadi tenang, salib jadi kemenangan.
Semua itu kejutan kasih Tuhan.”
Jemaat menoleh ke Yosua. Ia tersipu malu, namun hatinya bangga.
Kesalahan kecilnya telah menjadi inspirasi besar. Kamera menyorot wajahnya yang
penuh cahaya, lalu perlahan berganti ke senja di beranda rumahnya.
Di sana,
Yosua duduk sendiri, menatap foto istrinya, Marta, yang telah lama pergi.
Kesepian menjadi sahabat, doa menjadi pelipur.
Hingga suatu sore, seorang guru baru datang ke desa: Elira.
Sederhana, lembut, penuh cahaya. Ia kagum pada keluguan Yosua, yang justru
memancarkan ketulusan.
Malam doa bersama menjadi titik balik. Yosua kembali
salah ucap: “Mari kita membaca dari Kitab Ratapan… eh, maksud saya Kitab
Harapan.”
Jemaat tertawa, namun Yosua tiba-tiba menangis. Dengan suara bergetar ia
berkata: “Saudara-saudara… hidup memang penuh ratapan. Aku pernah kehilangan
orang yang paling kucintai.
Tapi Tuhan mengubah ratapanku menjadi harapan.
Mungkin itulah kejutan terbesar dari-Nya.”
Elira ikut menangis. Kamera menyorot mata mereka yang bertemu, penuh
luka namun juga penuh pengharapan. Sejak malam itu, Yosua dan Elira sering
berbincang.
Tentang anak-anak sekolah minggu, tentang doa, tentang luka yang
mereka simpan. Perlahan, cinta bersemi. Elira berbisik: “Pak Yosua, mungkin
Kitab Kejutan bukan hanya tentang hal-hal lucu. Mungkin Tuhan sedang menulis
kejutan baru dalam hidup Bapak.”
Montase memperlihatkan mereka melayani bersama, tertawa bersama, dan
jemaat yang semakin hangat. Hingga suatu hari, pendeta tamu kembali berkhotbah:
“Kasih Tuhan itu seperti Kitab Kejutan.
Ia tidak hanya memberi tawa, tetapi
juga menyembuhkan luka. Ia tidak hanya mengubah air jadi anggur, tetapi juga
kesepian jadi persekutuan, kehilangan jadi pengharapan, dan cinta yang hilang
jadi cinta yang baru.”
Jemaat menoleh lagi ke Yosua. Kali ini, Elira menggenggam tangannya. Air
mata jatuh, bukan karena sedih, melainkan karena damai. Yosua berbisik: “Tuhan,
kalau boleh, biarlah aku salah lagi… asal salahku membawa tawa, harapan, dan
cinta yang menyembuhkan.”
Film tampak seolah berakhir bahagia. Namun twist datang. Musim berganti,
badai tiba. Elira jatuh sakit. Kamera menyorot Yosua yang menemaninya setiap
hari, membacakan ayat-ayat dari Kitab Kejutan yang dulu mereka ciptakan
bersama.
Di hari-hari terakhirnya, Elira berkata pelan: “Pak Yosua… kalau aku
tak bisa sembuh, jangan biarkan luka ini jadi ratapan. Biarlah ia menjadi lagu,
seperti What a Friend We Have in Jesus—ditulis dari kehilangan, tapi
menyentuh dunia dengan pengharapan.”
Yosua menangis, namun ia mengangguk. Ia tahu, cinta sejati bukan tentang
memiliki, melainkan tentang tetap setia, meski harus melepaskan. Elira pun
berpulang.
Desa berduka, anak-anak menangis, jemaat terdiam. Kamera menyorot
wajah Yosua yang tetap berdiri di mimbar, dengan suara lebih pelan, lebih
dalam, lebih penuh kasih. Ia menulis sebuah lagu, bukan untuk panggung besar,
melainkan untuk hati yang hancur:
“Dalam kehilangan, aku tetap percaya. Dalam kesepian, aku tetap berseru.
Sebab Tuhan tak pernah pergi, Ia sahabat yang setia, bahkan ketika dunia tak
lagi sama.”
Lagu itu tak pernah diberi judul, namun anak-anak menyebutnya: Nyanyian
Elira.
Film ditutup dengan adegan gereja desa. Jemaat duduk hening,
mendengarkan Yosua. Kamera perlahan zoom out, cahaya matahari masuk lewat
jendela kaca berwarna. Narasi terakhir mengalun:
“Kitab Kejutan bukan sekadar istilah lucu. Ia menjadi simbol perjalanan
iman: bahwa kesalahan bisa menjadi pintu, tawa bisa menjadi obat, dan cinta
bisa lahir kembali dari luka.
Yosua, si bapak pelupa, kini dikenal sebagai
penjaga nyala kasih, yang tetap setia kepada Tuhan, meski harus berjalan
sendiri lagi.”
Fade out. Musik lembut mengalun.
Layar perlahan terbuka kembali. Langit pagi membentang di atas padang
rumput yang sunyi. Kabut tipis bergelayut di antara pohon-pohon kecil. Yosua
berjalan sendirian, mengenakan jubah abu-abu yang sederhana.
Langkahnya pelan,
namun mantap. Ia tampak lebih tua, lebih tenang, lebih ringan.
Suara narator mengalun lembut: “Setelah semua tawa dan tangis, Yosua
memilih berjalan lebih jauh. Ia ingin tahu, apakah Kitab Kejutan masih
menyimpan satu bab terakhir.”
Di tengah padang, Yosua berhenti. Ia menunduk, berdoa dalam diam. Lalu,
dari arah cahaya pagi, seorang Pria muncul. Berpakaian putih, wajah-Nya
bersinar lembut.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum dan mengulurkan
tangan.
Yosua menatap-Nya. Matanya membesar, lalu perlahan berkaca-kaca. Ia tahu
siapa yang berdiri di hadapannya. Ia tahu, ini bukan mimpi. Ini bukan khayalan.
Ini adalah pertemuan yang dijanjikan.
Yesus berjalan di sampingnya. Langkah mereka menyatu. Tak ada kata-kata,
hanya keheningan yang penuh makna.
Kamera mengikuti dari belakang, menyorot dua bayangan yang memanjang di
tanah. Bayangan seorang pelupa, dan bayangan Sang Sahabat Sejati.
Yosua akhirnya berbicara, suara pelan seperti angin pagi:
“Tuhan… kalau boleh, biarlah aku salah lagi. Asal salahku membuatku
lebih dekat kepada-Mu.”
Yesus menoleh, tersenyum. Dan Yosua tersenyum kembali, senyum yang tak
lagi menyimpan luka, melainkan damai yang tak bisa dijelaskan.
Kamera kembali ke gereja desa. Bangku-bangku kosong, namun cahaya
matahari tetap masuk dari jendela kaca berwarna. Di mimbar, Alkitab terbuka.
Halaman terakhir bertuliskan tangan: “Kitab Kejutan – Ditulis oleh Yosua,
dibaca bersama Tuhan.”
Narasi terakhir mengalun: “Kadang, kesalahan membawa kita ke pelukan
kasih. Kadang, tawa membuka pintu pengharapan. Dan kadang, cinta yang hilang
membawa kita berjalan bersama Sang Sahabat Sejati.”
Layar perlahan gelap. Musik lembut mengalun. Bait terakhir dari Nyanyian
Elira terdengar samar:
“Ia berjalan bersamaku, di padang yang sunyi, dan aku tahu, aku tak
sendiri.”
Fade out. Teks muncul: Untuk semua yang pernah salah, dan tetap
percaya.