Tuesday, December 2, 2025

Puisi: M-TAWA - MAHATAWA (Matahari Tertutup Awan)

 

ged pollo

oleh: grefer pollo



M-TAWA

MAHATAWA (Matahari Tertutup Awan)

 

Mungkin, tapi ya, mungkin kamu pernah alami hidup terasa abu-abu,

seperti cuaca hari ini yang lupa mau cerah atau hujan,

kamu berdiri menunggu kepastian,

padahal hatimu cuma butuh kejujuran sederhana.

 

MAHATAWA, ... Matahari tertutup awan,

tapi bukan berarti cahayanya hilang.

Ya, ...kadang terang seperti kamu, dia cuma lagi istirahat sebentar,

mengatur nafasnya buat muncul lebih hangat.

 

Mereka dan kita pun begitu,

kalau lagi lelah, patah, atau hilang arah,

bukan berarti gagal.

Gagal, sering jadi teman dari proses untuk berhasil

Mungkin apa yang kamu pandang gagal

adalah kesempatan untuk kumpulkan tenaga

buat bersinar lebih tinggi nanti.

 

Senyum pelan masih bisa jadi doa,

air mata masih bisa jadi penguat,

dan diam pun kadang jadi cara paling halus dan tulus

untuk bilang, “aku sedang berjuang.”

 

Jadi jangan buru-buru menilai diri redup,

kita bukan lampu kamar tidur

kita matahari yang kadang sembunyi

karena awan sedang lewat.

 

Saat waktunya tiba,

awan pergi sendiri tanpa kita memaksa.

Dan cahaya itu, cahayamu, cahaya Dia yang menciptamu?

Kembali. Kembali kepada esensinya.

Ke tempat yang memang sudah disiapkan sebelumnya:

oleh ged pollo

2 desember 25

allforJesus

 
diri kita.


oleh ged pollo, 2 desember 25, allforJesus




Continue reading Puisi: M-TAWA - MAHATAWA (Matahari Tertutup Awan)

Monday, December 1, 2025

Discretio Non Separatio

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Ungkapan Latin “discretio non separatio” berarti kurang lebih: pembedaan, bukan pemisahan.

Makna Filosofis

  • Discretio → kemampuan membedakan, memilah, menilai dengan bijak.
  • Non separatio → bukan berarti memutus atau memisahkan secara mutlak.

Jadi, prinsip ini menekankan bahwa dalam hidup (atau dalam teologi, filsafat, bahkan relasi sosial), kita perlu membedakan hal-hal dengan jelas tanpa harus memutuskan ikatan atau memisahkan diri secara ekstrem.

 

Contoh Praktis

  • Dalam hubungan sosial: kita bisa membedakan sifat baik dan buruk seseorang, tapi tidak berarti harus langsung memutus hubungan.
  • Dalam iman dan teologi: membedakan antara kebenaran dan kesalahan ajaran, tapi tetap menjaga kasih dan persatuan. Gereja menekankan pentingnya discernment: membedakan roh yang baik dan yang menyesatkan. Namun, pembedaan ini tidak berarti memisahkan diri dari dunia. Justru, kita tetap hadir di tengah dunia dengan sikap kritis dan penuh kasih.
  • Dalam kehidupan sehari-hari: seperti kopi susu. Kita bisa membedakan rasa pahit kopi dan manis susu, tapi keduanya tetap menyatu dalam satu gelas. Atau seperti musik: nada tinggi dan rendah berbeda, tapi bersama-sama menciptakan harmoni.

 

Secara elegan bisa dikatakan:

“Discretio non separatio” mengajarkan seni hidup yang dewasa: punya mata tajam untuk membedakan, tapi hati luas untuk tetap menyatukan.

 

Asal dan Makna

  • Discretio: berasal dari tradisi teologi dan filsafat Latin, berarti discernment atau kemampuan membedakan. Dalam konteks rohani, ini adalah seni memilah gerakan batin, membedakan mana yang berasal dari Allah dan mana yang tidak.
  • Non separatio: menegaskan bahwa pembedaan tidak identik dengan pemisahan. Kita bisa mengenali perbedaan, tetapi tetap menjaga kesatuan.

 

St. Ignatius Loyola dalam Latihan Rohani menggunakan istilah discreción dan discernimiento de espíritus untuk menggambarkan bagaimana jiwa perlu moderasi dan kebijaksanaan dalam memilih jalan.

 

Nilai Filosofis

  • Keseimbangan: menghindari ekstrem—tidak menelan semua tanpa kritik, tapi juga tidak menolak semua dengan kaku.
  • Kebijaksanaan: pembedaan adalah seni hidup dewasa, di mana kita belajar menerima kompleksitas tanpa terjebak dikotomi.
  • Kesatuan dalam perbedaan: prinsip ini sejalan dengan gagasan unity in diversity: perbedaan bukan ancaman, melainkan warna yang memperkaya.

 

Discretio non separatio mengajarkan bahwa hidup bukan soal hitam-putih. Kita perlu mata tajam untuk membedakan, tapi hati luas untuk tetap menyatukan. Pembedaan tanpa pemisahan adalah seni menjaga harmoni di tengah perbedaan.

 

Discretio dalam Relasi

Dalam relasi, ini adalah kesadaran bahwa setiap orang punya sifat baik dan buruk, kelebihan dan kekurangan. Kasih yang dewasa tidak menutup mata terhadap kelemahan. Ia mampu berkata: “Aku tahu kamu punya sisi yang bikin jengkel, tapi aku juga tahu ada sisi indah yang membuatmu berharga.” Filosof Martin Buber dalam konsep I-Thou menekankan bahwa relasi sejati lahir ketika kita melihat orang lain bukan sebagai objek, melainkan sebagai pribadi. Itu membutuhkan pembedaan yang jernih, bukan ilusi.

 

Non Separatio dalam Kasih

  • Non separatio berarti tidak memutuskan ikatan. Kasih sejati tidak berhenti hanya karena menemukan kelemahan.
  • Dalam filsafat relasi, kasih adalah komitmen yang melampaui perbedaan. Kita bisa membedakan sifat, tetapi kasih tetap menyatukan.
  • Seperti kata St. Paulus: “Kasih itu sabar, kasih itu murah hati… kasih tidak berkesudahan” (1 Kor 13). Pembedaan ada, tapi kasih tidak putus.

 

Analogi Elegan

  • Relasi itu seperti simfoni musik: ada nada tinggi, ada nada rendah. Discretio membuat kita sadar perbedaan nada, tapi non separatio menjaga agar musik tetap harmonis.
  • Kasih itu seperti pelangi: tiap warna berbeda, tapi tidak bisa dipisahkan. Kalau satu warna hilang, pelangi kehilangan keindahannya.

 

Prinsip discretio non separatio mengajarkan seni relasi yang matang:

  • Membedakan tanpa menghakimi (discretio).
  • Mengasihi tanpa memutuskan (non separatio).

Kasih sejati bukan buta terhadap kelemahan, melainkan tetap bertahan meski kelemahan itu nyata. Relasi yang sehat adalah relasi yang mampu membedakan, namun tidak pernah berhenti mengikat dengan kasih.


 


Continue reading Discretio Non Separatio

Sunday, November 30, 2025

,

Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #2)

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.

Namanya Ananta dan Dayita. Mereka menikah bukan karena cocok hobi, bukan karena sama-sama suka kopi, tapi karena sama-sama percaya bahwa Tuhan mempertemukan mereka bukan untuk bersenang-senang atau mengejar ambisi duniawi, tapi untuk bertumbuh, ya , bertumbuh.

“Pernikahan itu sekolah pengampunan,” kata Ananta suatu pagi sambil menyeduh ramuan jahe hangat yang terlalu manis karena Dayita lupa takarannya.

Dayita tertawa. “Kalau begitu, kamu sudah lulus belum?”

Ananta mengangkat alis. “Baru semester dua. Tapi sudah banyak remedial.”

Mereka tahu, cinta bukan sekadar rasa manis di awal, tapi bekal di tengah perjalanan. Cinta yang sejati tidak membunuhmu di tengah jalan, tapi menyiapkan roti dan air saat kamu lelah. 

Karena, cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan. Seperti Tuhan yang memberi manna di padang gurun, bukan karena umat-Nya sempurna, tapi karena kasih setia-Nya.

Pernikahan mereka bukan tanpa tantangan. Bukan tanpa air mata. Bukan tanpa marah, dan kecewa. Mereka bertemu setiap hari, 24 jam, dengan orang yang sama. Tidak bisa kabur. 

Tidak bisa ganti channel. Dan komunikasi mereka sudah melewati lima tingkatan: dari basa-basi, bicara soal orang lain, sampai bicara tentang luka terdalam dan mimpi yang belum berani diucapkan.

“Kalau suami setia pada istrinya,” kata Ananta sambil membaca buku filsafat, “katanya dia bisa jadi filsuf.”

Dayita menyahut, “Kalau istri setia pada suaminya, dia bisa jadi... tukang sabar.”

“Hahahaaaaaa,….”, Ananta menyambung, “Ada yang berkata: Suaminya work, istrinya shop”.

Dayita merespon dengan mengangkat alis sambil senyum kecil sembari sedikit tertawa.

Mereka tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada kesadaran: dua menjadi satu bukan berarti hilang identitas, tapi belajar berjalan bersama. 

Seperti tulang rusuk yang tidak di kepala untuk memimpin, tidak di kaki untuk diinjak, tapi di samping untuk berjalan bersama dan melindungi hati.

Mereka sadar, kasih bukan apa yang mereka simpan tetapi apa yang mereka berikan.

Ananta sering merenung tentang Ishak dan Ribka. Mereka tidak pacaran, tidak tunangan, bahkan tidak kenal. Tapi mereka dijodohkan oleh hamba yang takut Tuhan. 

Dan, tetap setia sampai akhir. Ishak mendoakan istrinya yang mandul. Mereka punya anak kembar. Mereka dibesarkan dengan latar belakang yang berbeda, tapi tetap satu pernikahan.

“Pernikahan bukan soal cocok,” kata Ananta, “tapi soal janji.”

Dayita mengangguk. “Dan soal siapa yang pegang perjanjian.”

Masalah datang dan pergi. Kadang keadaan tidak berubah. Tapi mereka belajar bahwa Tuhan tidak selalu mengubah situasi. 

Justru, lebih sering Dia mengubah orangnya. Dan saat mereka berubah, mereka bisa mengelola keadaan.

Mereka belajar bahwa kasih dan pengampunan bukan soal mood, tapi pilihan. Bahwa menang-kalah dalam konflik rumah tangga hanya menghasilkan dua pihak yang kalah. 

Tapi restorasi menghasilkan dua hati yang lebih kuat.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu banyak “Simon dari Kirene”. Siapa itu? Mereka adalah orang-orang yang menolong mereka memikul salib. 

Dan, “Orang Samaria yang murah hati”, yaitu dia yang mengobati luka mereka dengan minyak dan anggur.

Mereka belajar filosofi karet gelang: untuk bisa merangkul lebih banyak, harus lebih elastis. Harus rela dibentuk. Harus rela berubah.

Dan di malam-malam panjang, saat kata-kata sudah habis (meski Dayita masih punya 13 ribu kata tersisa), mereka duduk diam. Mendengar. Karena dasar komunikasi bukan bicara, tapi mendengar. Dan dasar relasi bukan kontrol, tapi kepercayaan.

Pernikahan mereka bukan sempurna. Tapi mereka tahu, Alkitab tidak mencatat keluarga yang sempurna. Hanya orang-orang yang tetap berjalan bersama Tuhan meski jalannya tidak mudah.

Dan di akhir cerita, mereka tahu: cinta mempertemukan mereka. Tapi janji yang mereka buat di hadapan Tuhanlah yang menjaga mereka tetap satu. Dan, mereka terus belajar dan percaya bahwa “cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.”







Continue reading Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #2)

Saturday, November 29, 2025

Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #1)

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Suatu saat di lima belas Oktober dua ribu dua puluh lima, saya mendapatkan sebuah quote sederhana penuh makna: “Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan”.

Tergerak dari itu, saya ingin menuliskannya dalam sebuah narasi inspiratif berikut.

Namanya Malai. Bukan malaikat, meski mamanya sering bilang, “Kamu itu malaikat yang lupa cara terbang.” Entah pujian atau sindiran, Malai menerimanya dengan senyum dan sepiring jagung bose.

Suatu hari, Malai memutuskan untuk pergi merantau. Bukan karena ia bosan, tapi karena dia merasa panggilan hidupnya ada di luar kampung halaman. Dia ingin belajar, bekerja, dan—kalau Tuhan berkenan—menemukan jodoh yang tidak hanya elok parasnya tapi juga bisa masak jagung bose dan buat ikan lawar.

Sebelum berangkat, mamanya menyiapkan bekal. Bukan cuma makanan, tapi juga nasihat yang dibungkus dengan kasih seorang mama dan sedikit ancaman.

“Jangan lupa berdoa. Jangan lupa makan. Jangan lupa pulang.”

Malai tertawa. “Mama, saya bukan pergi perang.”

Mamanya menatap dia. “Malai, hidup itu berat, keras, rumit, dan kadang lebih rumit dari perang. Tapi, ingat ini: Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan, dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.”

Malai terdiam. Kalimat itu terdengar seperti kutipan dari kitab suci, atau minimal dari status Facebook yang viral.

Di perjalanan, Malai menghadapi banyak hal: kesepian, tantangan kerja, godaan untuk menyerah. Tapi setiap kali dia merasa lelah, dia teringat bekal cinta yang mamanya berikan. Bukan hanya makanan, tapi juga doa, pelukan, dan kata-kata yang menguatkan: Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan, dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.”.

Dia teringat kisah Abraham yang berjalan tanpa tahu ke mana, tapi percaya pada janji Tuhan. Dia teringat Yesus yang berjalan menuju salib, bukan karena Ia tidak bisa menghindar, tapi karena cinta-Nya lebih besar dari rasa sakit.

Malai belajar bahwa cinta sejati tidak menuntut kenyamanan, tapi menuntun dalam kesetiaan. Cinta tidak membunuh di tengah jalan, tapi menyiapkan bekal di perjalanan, dan menopang sampai tujuan.

Suatu malam, saat hujan turun dan Malai duduk sendirian di kamar kos, dia membuka kotak kecil yang mamanya selipkan di tas. Di dalamnya ada surat tangan, sepotong roti kering, dan satu ayat yang ditulis dengan spidol biru:

“Aku menyertai engkau ke mana pun engkau pergi.” — Yosua 1:9

Malai tersenyum. Dia tahu, dia tidak sendiri. Bekal cinta itu nyata. Dan dia akan terus berjalan, karena cinta sudah menyiapkan jalannya.



Continue reading Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #1)

Mengapa Natal Disambut dengan Sukacita?

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Karena Natal bukan sekadar perayaan, tapi penggenapan janji. Sukacita Natal bukan hanya soal dekorasi, liburan, atau lagu-lagu merdu, meski semua itu indah dan menyentuh. 

Sukacita Natal berakar dalam harapan yang lama dinantikan, dalam janji yang akhirnya datang, dalam terang yang menembus gelap.

Secara tradisi, Natal terasa istimewa karena berdekatan dengan momen-momen penuh makna:

  • Seperti ulang tahun, Natal adalah hari kelahiran bukan hanya kelahiran seorang bayi, tapi kelahiran harapan baru bagi dunia.
  • Menjelang akhir tahun, kita cenderung merenung. Natal hadir sebagai pelipur, pengingat bahwa di tengah segala pencapaian dan kegagalan, ada kasih yang tetap setia.
  • Liburan memberi ruang untuk berkumpul, bersyukur, dan berbagi. Natal mengisi ruang itu dengan makna yang lebih dalam: Allah hadir di tengah manusia.

Namun sukacita Natal bukan hanya karena tradisi. Ia berakar dalam sejarah dan nubuatan. Pada Natal pertama, dunia sedang gelap:

  • Bangsa Israel dijajah oleh Roma.
  • Hati mereka menanti Mesias, seperti embun menanti pagi.
  • Para nabi telah berseru, dan janji itu tertulis sejak awal: Proto-Evangelium—Kejadian 3:15.

Saat Adam jatuh dalam dosa, Tuhan berkata, “Pada hari engkau makan, engkau akan mati” (Kej 2:17). Tapi Adam tidak langsung mati secara fisik. 

Sebaliknya, Tuhan menjanjikan keturunan. Adam percaya, dan menamai istrinya Hawa: ibu segala yang hidup. Sebuah tindakan iman di tengah kejatuhan.

Janji itu bukan janji biasa. Tuhan berfirman akan ada permusuhan berdarah. 

Keturunan perempuan akan menghancurkan kepala ular. Tapi tumit-Nya akan dihancurkan. Sebuah gambaran tentang salib: luka yang membawa kemenangan.

Iblis tahu itu. Ia berusaha agar Yesus tidak sampai ke salib. Ia tawarkan roti, popularitas, dan kemewahan (Matius 4). Ia bisikkan jalan pintas. 

Bahkan lewat Petrus, ia coba membelokkan rencana Allah. Tapi Yesus berkata, “Enyahlah Iblis”—karena salib bukan kegagalan, melainkan kemenangan.

Di Getsemani, Yesus bisa saja minta bala tentara malaikat. Tapi Ia memilih cawan penderitaan, agar kehendak Bapa tergenapi. Karena hanya lewat salib, kepala ular dihancurkan. 

Hanya lewat salib, maut dikalahkan. Hanya lewat salib, kita hidup.

Itulah sebabnya Natal disambut dengan sukacita. Karena Natal bukan akhir, tapi awal dari penggenapan. 

Natal adalah Allah yang turun tangan. Natal adalah janji yang menjadi daging. Natal adalah terang yang tidak bisa dikalahkan oleh gelap.



 


Continue reading Mengapa Natal Disambut dengan Sukacita?
,

Keserupaan Bukan Kesurupan

 

ged pollo

oleh: grefer pollo



Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, bukan sekadar mirip, tetapi mengandung jejak kemuliaan-Nya dalam akal, hati, dan kehendak. Kita bukan salinan, melainkan cerminan. 

Ditebus bukan hanya untuk diselamatkan, tetapi untuk dipulihkan dalam keserupaan yang sejati. 

Dipanggil bukan sekadar untuk berbuat baik, tetapi untuk menjadi serupa dengan Sang Baik itu sendiri.

Namun obsesi bisa menipu. Ambisi bisa menyamar. Ketika keinginan menjadi seperti Allah tidak lagi berakar pada kasih dan relasi, tapi pada kuasa dan kendali, maka keserupaan berubah menjadi kesurupan. Kita kehilangan arah, tersesat dalam ilusi menjadi tuhan atas hidup sendiri.

Itulah yang terjadi di taman Eden. Dalam Kejadian 3, manusia tergoda untuk menjadi “seperti Allah,” padahal sejak awal mereka sudah segambar dan serupa dengan-Nya. Mereka mengejar sesuatu yang sebenarnya sudah mereka miliki, namun dengan cara yang salah, dan hati yang salah.

Lalu, dalam kasih yang tak terduga, Firman itu menjadi manusia (Yohanes 1:14). Bukan untuk menyaingi manusia, tetapi untuk menyertai mereka. 

Bukan untuk menunjukkan superioritas, tetapi untuk memulihkan relasi. Yesus datang bukan agar kita menjadi Allah, tetapi agar kita kembali menjadi manusia yang serupa dengan-Nya.

Keserupaan bukan tentang menjadi lebih tinggi, tetapi lebih dalam. Bukan tentang menguasai, tetapi mengasihi. Bukan tentang kesurupan ambisi, tetapi kesatuan dalam kasih.


Continue reading Keserupaan Bukan Kesurupan
,

Masa Adventus dan Natal

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Konsep Masa Adventus dan Natal

 

1. Minggu Advent 1 (Liturgi Model 1): Markus 13: 24 - 37)

Tema: Menanti Dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri

Tokoh: Abraham

Narasi Puitis – Menanti Dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri

(Visual: langit malam bertabur bintang, siluet Abraham menatap ke atas. Musik lembut penuh harapan.)

Narator: “Abraham… seorang bapa iman. Ia menanti janji Allah tentang keturunan, meski usia menua dan harapan manusia seakan sirna. Namun ia tetap percaya, sebab ia tahu janji Tuhan tidak pernah gagal.

Di bawah langit yang penuh bintang, Abraham menyerahkan diri. Ia tidak berpegang pada kekuatannya sendiri, melainkan pada firman yang hidup. Dan bintang-bintang itu menjadi tanda pengharapan… bahwa dari keturunannya akan lahir sebuah bangsa, dan dari bangsa itu akan datang Sang Mesias, Juruselamat dunia.

Menanti bukanlah sekadar menunggu. Menanti adalah berjalan dalam iman, meski langkah terasa berat. Menanti adalah menyerahkan diri, meski jawaban belum terlihat. Abraham menanti dengan pengharapan, dan janji Allah digenapi.

Demikian pula kita hari ini. Markus 13 mengingatkan: langit dan bumi akan berlalu, tetapi firman Tuhan tidak akan berlalu. Kita dipanggil untuk berjaga, menanti kedatangan Kristus yang kedua kali.

Seperti Abraham, mari kita menanti dengan iman. Seperti Abraham, mari kita menyerahkan diri sepenuhnya. Karena pengharapan kita bukan pada dunia yang fana, melainkan pada Yesus, Sang Mesias, yang telah datang… dan akan datang kembali.”

(Visual akhir: cahaya terang muncul, siluet orang-orang berdoa bersama, teks di layar: “Menanti Dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri.” Musik bergema penuh sukacita.)

 

Lagu Pembuka: ...

 

2. Minggu Advent 2 (Liturgi Model II): Maleakhi 3 : 1 - 5

Tema: Memberi Diri Untuk Dimurnikan Allah

Daud Seorang raja yang besar, namun juga manusia yang jatuh dalam dosa. Ia tidak menolak teguran, melainkan membuka hati dan berkata: “Ciptakanlah hati yang tahir dalam diriku, ya Allah” (Mazmur 51:12). Daud adalah contoh nyata seseorang yang rela dimurnikan oleh Allah.

Narasi Puitis – Memberi Diri Untuk Dimurnikan Allah

(Visual: Daud berlutut dengan harpa di sampingnya, cahaya redup, musik lembut penuh penyesalan.)

Narator: “Daud… seorang raja yang besar, seorang pahlawan yang dikasihi Allah. Namun ia juga manusia yang jatuh dalam dosa. Ketika teguran datang, ia tidak menutup hati. Dengan air mata, ia berseru: ‘Ciptakanlah hati yang tahir dalam diriku, ya Allah.’

Seperti emas yang dimurnikan dalam api, demikianlah Daud menyerahkan dirinya. Ia rela dibakar oleh teguran, dikikis oleh kasih, agar hatinya kembali murni di hadapan Tuhan.

Maleakhi berkata: Tuhan datang sebagai api tukang emas, Ia menyucikan umat-Nya agar layak bagi-Nya. Demikianlah Daud menjadi teladan bahwa memberi diri untuk dimurnikan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda penyerahan.

Dimurnikan berarti membiarkan Allah menghapus noda, membakar kesombongan, dan menyingkapkan hati yang hancur. Dan dari hati yang hancur, lahirlah pujian yang murni.

Hari ini, kita pun dipanggil seperti Daud. Untuk tidak lari dari teguran, tetapi menyerahkan diri. Untuk tidak takut pada api pemurnian, karena di balik api ada kemuliaan.

Dan puncak dari segala pemurnian itu adalah Kristus sendiri. Ia datang bukan hanya sebagai penguji hati, tetapi sebagai Juruselamat yang menebus dosa kita. Di kayu salib, Ia menanggung api penghakiman agar kita dimurnikan oleh kasih.

Mari memberi diri… agar Allah memurnikan kita. Karena hanya hati yang dimurnikan di dalam Kristus dapat memantulkan cahaya kasih-Nya bagi dunia.”

(Visual akhir: cahaya terang memancar, salib bersinar di latar, siluet orang berdoa. Teks di layar: “Dimurnikan Dalam Kristus.” Musik berakhir dengan nada penuh sukacita.)

 

Lagu pembuka: ...

 

3. Minggu Advent 3 (Liturgi Model III): Lukas 1: 26 - 38

Tema: Menyambut Yesus dengan Iman dan Ketaatan

Maria, ibu Yesus Ia menerima kabar dari malaikat Gabriel bahwa ia akan mengandung dan melahirkan Sang Mesias. Meski penuh ketidakpastian, Maria menjawab dengan iman dan ketaatan: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38). Maria adalah teladan iman yang sederhana namun teguh, dan ketaatan yang penuh penyerahan diri.

Narasi Puitis untuk Video

(Visual: cahaya lembut turun, Maria berlutut dengan wajah penuh ketenangan. Musik lembut, penuh harapan.)

Narator: “Di sebuah kota kecil bernama Nazaret, seorang perawan sederhana menerima kabar yang mengubah dunia. Malaikat datang membawa pesan: ia akan mengandung dan melahirkan Sang Juruselamat.

Maria terdiam… hatinya berguncang. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Namun di tengah pertanyaan, ia memilih percaya. Di tengah ketidakpastian, ia memilih taat. Dengan suara lembut, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.’

Iman bukanlah sekadar mengerti, melainkan berani menyerahkan diri. Ketaatan bukanlah sekadar patuh, melainkan percaya bahwa janji Allah selalu indah pada waktunya. Maria menyambut Yesus dengan iman dan ketaatan, dan melalui dirinya, dunia menerima Sang Mesias.

Hari ini, kita pun dipanggil untuk menyambut Yesus. Bukan dengan keraguan, melainkan dengan iman. Bukan dengan penolakan, melainkan dengan ketaatan.

Karena pada akhirnya, pusat pengharapan kita bukanlah Maria, bukanlah malaikat, melainkan Kristus sendiri. Yesus yang datang ke dunia, mati bagi kita, dan bangkit untuk memberi hidup yang kekal.

Mari menyambut Yesus dengan iman dan ketaatan… sebab hanya di dalam Dia, janji Allah digenapi, dan keselamatan nyata bagi dunia.”

(Visual akhir: cahaya terang memancar dari salib, orang-orang berdoa bersama. Teks di layar: “Menyambut Yesus dengan Iman dan Ketaatan.” Musik berakhir dengan nada penuh sukacita.)

 : ...

Lagu pembuka

 

4. Minggu Advent 4 (Liturgi Model 4): Yesaya 2 : 1 - 5

Tema: Berjalan dalam Terang Damai Tuhan

Tokoh: Yesaya sebagai nabi yang melihat penglihatan tentang bangsa-bangsa berjalan menuju gunung Tuhan, mencari terang dan damai.

Narasi Puitis untuk Video

(Visual: gunung yang disinari matahari pagi, orang-orang berjalan bersama menuju puncak. Musik lembut penuh harapan.)

Narator: “Yesaya melihat sebuah penglihatan… bangsa-bangsa datang berbondong-bondong menuju gunung Tuhan. Mereka meninggalkan jalan gelap, dan berjalan dalam terang damai-Nya.

Di sana, pedang ditempa menjadi mata bajak, tombak menjadi pisau pemangkas. Tidak ada lagi peperangan, tidak ada lagi kebencian. Hanya damai yang mengalir dari hadirat Allah.

Berjalan dalam terang damai Tuhan berarti memilih jalan-Nya, bukan jalan kita sendiri. Berarti menyerahkan langkah, hati, dan pikiran untuk dipimpin oleh firman-Nya.

Seperti Yesaya, kita dipanggil untuk mengajak dunia: ‘Mari, hai kaum keturunan Yakub, berjalanlah dalam terang Tuhan.’

Namun terang itu mencapai puncaknya dalam Kristus. Dialah Terang sejati yang datang ke dunia, yang menghapus kegelapan, dan membawa damai yang melampaui segala akal. Di kayu salib, Ia meruntuhkan tembok permusuhan, dan dalam kebangkitan-Nya, Ia memberi damai yang kekal.

Mari berjalan dalam terang damai Tuhan… sebab hanya di dalam Yesus Kristus, nubuat itu digenapi, dan damai sejati menjadi nyata bagi dunia.”

(Visual akhir: cahaya terang memancar dari salib, orang-orang berdoa bersama. Teks di layar: “Berjalan dalam Terang Damai Tuhan.” Musik berakhir dengan nada penuh sukacita.)

 

Lagu pembuka :

 



Continue reading Masa Adventus dan Natal