Thursday, December 18, 2025

Jika Kamu Bisa Dibeli, Maka Sesungguhnya Kamu Tidak Mahal

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Nilai sejati manusia tidak pernah ditentukan oleh angka rupiah, gaji bulanan, atau posisi yang bisa ditawar-menawar.


Nilai sejati adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan nominal, karena ia berakar pada integritas, iman, dan kesetiaan pada kebenaran.

Alkitab menegaskan: “Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas; karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia” (1 Korintus 7:23).

Ayat ini mengingatkan bahwa harga kita sudah ditentukan oleh Kristus di kayu salib. Harga yang tidak bisa diganti dengan rupiah, jabatan, atau pujian.

Jika kita rela menjual diri demi keuntungan sesaat, sesungguhnya kita sedang menurunkan nilai yang sudah ditetapkan Allah sendiri.

Mahal berarti bernilai, berarti tidak mudah ditukar. Orang yang benar-benar bernilai tidak akan rela melepas jati dirinya hanya demi kenyamanan sesaat.

Ia tahu bahwa kehilangan integritas lebih berbahaya daripada kehilangan kesempatan emas. Sebaliknya, mereka yang tampak berkilau di permukaan, tetapi rela menggadaikan prinsip demi keuntungan, hanyalah perhiasan imitasi: indah di mata, tetapi rapuh saat diuji api kehidupan.

Sejarah manusia penuh dengan kisah orang yang “dibeli.”

Esau menjual hak kesulungannya demi sepiring makanan (Kejadian 25:33). Ia murah, karena ia menukar warisan rohani dengan kenyamanan sesaat.

Yudas menjual Yesus dengan tiga puluh keping perak (Matius 26:15). Ia murah, karena ia menukar Sang Juruselamat dengan keuntungan kecil.

Keduanya menunjukkan bahwa ketika seseorang bisa dibeli, ia sesungguhnya tidak semahal yang ia kira.

Namun, ada pula kisah orang yang tidak bisa dibeli.

Daniel menolak makanan raja demi menjaga kesucian hidupnya (Daniel 1:8). Ia mahal, karena ia tidak bisa dibeli oleh kenikmatan istana.

Yesus menolak tawaran iblis yang menjanjikan seluruh kerajaan dunia (Matius 4:8–10). Ia mahal, karena Ia tidak bisa dibeli oleh kekuasaan.

Nilai sejati selalu diuji oleh kesetiaan, dan kesetiaan adalah tanda bahwa seseorang tidak bisa ditawar.

Dalam dunia modern, “dibeli” tidak selalu berarti uang.

Seorang pelajar rela menyebarkan gosip demi mendapatkan hadiah smartphone dari sponsor acara. Ia tidak dibayar dengan uang, tetapi ia telah menjual kejujurannya demi benda yang akan usang dalam dua tahun.

Seorang pegawai rela memanipulasi laporan kerja demi traktiran makan siang dari atasannya. Ia tidak menerima gaji tambahan, tetapi ia telah menukar integritasnya dengan sepiring kenyamanan.

Seorang influencer rela berpura-pura bahagia, menyembunyikan luka batin, demi likes dan pujian. Ia tidak dibeli dengan uang, tetapi ia telah menjual keaslian dirinya demi sorotan sesaat.

Seorang mahasiswa rela menyalin tugas orang lain demi nilai bagus dan pujian dosen. Ia tidak dibeli secara literal, tetapi ia telah menukar proses pembelajaran dengan citra palsu.

Beberapa pelajar demi mendapatkan HP terbaru, mereka menjual dirinya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa “dibeli” bisa berarti menukar integritas dengan hal-hal kecil. Dan ketika seseorang rela menjual dirinya demi HP, makanan, atau pujian, sesungguhnya ia sedang mengakui bahwa dirinya tidak semahal yang ia kira.

Kristus membeli kita dan membuat kita tidak terbeli oleh dunia. Ia menanamkan nilai kekal yang tidak bisa digadaikan. Dunia boleh menawarkan HP, makanan, atau pujian, tetapi kita tahu: harga kita sudah lunas, dan nilainya tidak bisa ditawar.

Nilai sejati manusia bukanlah angka yang bisa ditulis di buku kas, bukan pula gelar yang bisa dicetak di kartu nama. Nilai sejati adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar, karena ia berakar pada integritas, iman, dan kesetiaan pada kebenaran.

  • Mahal berarti tak tergantikan. Sesuatu atau seseorang disebut “mahal” karena keberadaannya tidak bisa digantikan oleh apa pun.
  • Murah berarti rapuh. Sesuatu yang murah biasanya tidak memiliki fondasi kuat; ia berkilau sebentar, tetapi cepat hancur ketika diuji.
  • Nilai sejati diuji oleh kesetiaan. Seperti emas yang dimurnikan dalam api, demikian pula karakter manusia diuji dalam godaan.

Apakah harga dirimu ditentukan oleh orang, atau oleh Allah yang telah menebusmu?

Jika oleh manusia, maka engkau akan selalu bisa dibeli. Tetapi jika oleh Allah, maka engkau sudah “mahal” dengan harga darah Kristus. Tak ternilai, tak tergantikan, dan tak bisa ditawar.

Berhati-hatilah dan bijaksanalah:

  • Jabatan dapat membuat kita menggadaikan prinsip.
  • Pujian dapat membuat kita kehilangan kejujuran.
  • Kenyamanan dapat membuat kita melupakan panggilan.

 

Kristus Membeli Kita (1 Korintus 6:20) dan Membuat Kita Tidak Terbeli oleh Dunia

Kristus tidak sekadar menyelamatkan kita. Ia membeli kita dengan harga yang tak terbayar oleh dunia: darah-Nya sendiri. Dalam penebusan itu, kita tidak lagi menjadi milik dunia, melainkan milik Dia yang kudus, yang tidak bisa ditawar.

Ketika Kristus membeli kita, Ia menetapkan nilai kita bukan berdasarkan prestasi, jabatan, atau pujian manusia, melainkan berdasarkan kasih dan pengorbanan-Nya. Maka, siapa pun yang telah ditebus oleh Kristus tidak lagi bisa dibeli oleh dunia.

  • Dunia bisa menawarkan uang, tetapi kita telah menerima kasih yang lebih kaya.
  • Dunia bisa menjanjikan kekuasaan, tetapi kita telah menerima kerajaan yang kekal.
  • Dunia bisa memikat dengan kenyamanan, tetapi kita telah dipanggil untuk kesetiaan.

Kristus membeli kita bukan untuk dijadikan barang koleksi, melainkan untuk dijadikan anak-anak terang.

Ia tidak menukar kita dengan kemuliaan sesaat, melainkan menanamkan nilai kekal yang tidak bisa digadaikan.

Jika kita masih bisa dibeli oleh dunia, dengan pujian, jabatan, atau rasa aman palsu maka kita belum sungguh-sungguh memahami harga penebusan itu. Kita belum menyadari bahwa kita sudah mahal, sudah dimiliki, dan sudah dimeteraikan.

Maka, pertanyaannya bukan lagi “berapa harga kita,” tetapi “siapa yang telah membayar kita.”

Dan jawabannya adalah: Kristus. Karena itu, kita tidak terbeli oleh dunia. Kita tidak tergoda oleh kilau palsu. Kita tidak tergantikan oleh tawaran fana.

Kita adalah milik Kristus. Dan milik Kristus tidak dijual kembali.


1 Korintus 6:20: Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!


Kita adalah milik Kristus. Dan milik Kristus tidak dijual kembali.






Continue reading Jika Kamu Bisa Dibeli, Maka Sesungguhnya Kamu Tidak Mahal

Monday, December 15, 2025

Migdal Eder - Tempat Khusus Bagi Domba Kurban Pilihan

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Angin pagi menyapu padang di sekitar Betlehem, mengibaskan jubah para gembala yang berjaga di sekitar Migdal Eder. 

Menara batu itu berdiri sunyi, mengawasi kawanan domba yang merumput dengan tenang. Di dalamnya, hanya domba-domba tanpa cacat yang boleh dikandangkan karena dipersiapkan untuk korban suci di Bait Allah.

Elam, gembala muda yang baru ditugaskan, memandangi seekor domba kecil yang pincang, bulunya kusut, matanya redup. Ia tahu domba itu tak layak. 

Tapi ia juga tahu bahwa domba itu milik pamannya, Malakh, yang diam-diam menyelundupkan domba cacat ke dalam kandang kudus demi keuntungan pribadi.

“Elam,” bisik Malakh suatu malam, “tak ada yang akan tahu. Domba itu akan bercampur. Kita dapat bagian dari korban, dan tak seorang pun akan curiga.”

Elam ragu. Ia telah belajar bahwa setiap domba di Migdal Eder harus sempurna karena mereka melambangkan pengharapan Israel, korban yang akan menebus dosa. 

Tapi tekanan keluarga dan rasa takut membuatnya bungkam.

Hingga suatu pagi, seorang tua datang. Jubahnya putih, matanya tajam, dan langkahnya ringan meski usia tampak menekuk punggungnya. Ia memeriksa kandang, satu per satu. 

Ketika ia tiba di domba pincang itu, ia berhenti.

“Siapa yang membawa ini?” tanyanya, suaranya tenang tapi tegas.

Malakh melangkah maju, senyum tipis di wajahnya. “Mungkin tersesat, tuan. Kami akan keluarkan.”

Tapi orang tua itu menatap Elam. “Kamu tahu kebenarannya.”

Elam menunduk. Di dalam dadanya, suara yang selama ini ia bungkam mulai berseru. Ia mengangkat wajahnya dan berkata, “Domba itu dibawa dengan sengaja. Ia cacat. Ia tidak layak.”

Keheningan menyelimuti padang. Malakh memucat. Orang tua itu mengangguk pelan.

“Domba yang cacat tak bisa menggantikan yang kudus. Tapi pengakuanmu, Elam, adalah korban yang lebih berharga.”

Malakh disingkirkan dari tugasnya. Elam, meski gemetar, diberi tanggung jawab menjaga domba-domba kudus. 

Dan pada malam Natal, ketika langit terbuka dan para malaikat bernyanyi, Elam berdiri di bawah Migdal Eder, menyaksikan kelahiran Anak Domba Allah yang sempurna, tanpa cacat, dan lahir di antara domba-domba yang ia jaga.

Ia menangis. Bukan karena takut, tapi karena tahu: pengorbanan sejati bukan hanya tentang domba, tapi tentang keberanian menjaga kekudusan di tengah godaan.

 

Apa itu Migdal Eder?

Migdal Eder adalah menara kawanan domba di Betlehem yang secara simbolis menghubungkan nubuat Natal dengan pengorbanan Anak Domba Allah.

Tempat ini diyakini sebagai lokasi khusus di mana domba-domba yang kelak dipersembahkan di Bait Allah dipelihara, sehingga kelahiran Yesus di kawasan itu menjadi tanda yang indah: Sang Mesias lahir di tengah kawanan domba, untuk menjadi korban penebusan bagi dunia.

Bayangkan sebuah menara sederhana di padang sekitar Betlehem, disebut Migdal Eder —“Menara Kawanan Domba”. 

Di sanalah para gembala menjaga domba-domba yang dipilih khusus untuk korban di Bait Allah Yerusalem. Tempat ini bukan sekadar kandang biasa, melainkan ruang kudus yang menyiapkan persembahan bagi Tuhan.

Ketika malaikat menyampaikan kabar kelahiran Kristus kepada para gembala, tidak jauh dari menara ini, pesan itu menjadi simbol surgawi: Anak Domba Allah lahir di tengah kawanan domba, di lokasi yang sejak dahulu menyiapkan korban suci. 

Natal bukan hanya perayaan kelahiran, tetapi juga pengumuman awal tentang pengorbanan Yesus di kayu salib. Sebuah kisah yang sudah digambarkan sejak Migdal Eder berdiri.

 

Mikha 5

Kitab Mikha pasal 5 menubuatkan: “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel...” (Mikha 5:2).

  • Betlehem Efrata adalah lokasi Migdal Eder.
  • Nubuat ini menegaskan bahwa dari tempat kawanan domba itu akan lahir Sang Raja, yang sekaligus menjadi Anak Domba Allah.
  • Sejarah mencatat bahwa Migdal Eder digunakan pada abad pertama sebagai tempat pengurungan domba korban. Dengan demikian, Mikha 5 bukan hanya nubuat tentang kelahiran, tetapi juga tentang fungsi pengorbanan yang kelak digenapi Yesus.

 

Sejarah dan Makna

  • Asal-usul: Migdal Eder disebut pertama kali dalam Kejadian 35:21, ketika Yakub mendirikan kemahnya setelah Rahel wafat.
  • Fungsi di zaman Bait Allah: Menara ini menjadi tempat pengawasan domba korban, sekitar 1,6 km dari Yerusalem.
  • Makna Natal: Yesus lahir di kawasan yang sama, menegaskan bahwa Ia adalah korban sejati, bukan lagi domba yang dipersembahkan berulang kali.
  • Makna Injil: Natal dan Paskah saling terhubung: kelahiran di Migdal Eder menunjuk pada salib, di mana Anak Domba Allah menyerahkan diri-Nya.

 

Natal di Migdal Eder

Ini adalah kisah yang lembut: gembala sederhana, domba-domba yang tenang, dan langit yang terbuka dengan nyanyian malaikat. Di tengah kesederhanaan itu, lahirlah Sang Mesias. 

Seakan Allah berbisik, “Lihatlah, Anak Domba-Ku ada di sini.” Bandingkan dengan perkataan Yohanes Pembaptis dalam Yohanes 1:36: "Lihatlah Anak domba Allah!. 

Migdal Eder mengingatkan kita bahwa keselamatan lahir di tempat yang sederhana, namun dengan tujuan yang agung: Yesus datang bukan hanya untuk lahir, tetapi untuk mati dan bangkit, agar dunia memiliki hidup yang kekal.

Migdal Eder adalah jembatan antara nubuat Mikha 5, kelahiran Yesus di Betlehem, dan pengorbanan-Nya sebagai Anak Domba Allah.

Natal bukan sekadar perayaan kelahiran, melainkan awal dari karya penebusan yang sudah dirancang sejak menara kawanan domba itu berdiri.


Adventus dan Migdal Eder

Adventus adalah masa penantian, persiapan, dan pengharapan akan kedatangan Kristus. Migdal Eder, “Menara Kawanan Domba”, menjadi simbol yang sangat kuat dalam konteks ini:

  • Penantian Mesias: Sama seperti gembala di Migdal Eder menunggu domba yang siap untuk korban, umat Tuhan dalam Advent menanti Sang Mesias yang akan menjadi korban sejati.
  • Kelahiran dan Pengorbanan: Natal bukan hanya tentang bayi di palungan, tetapi tentang Anak Domba Allah yang lahir untuk diserahkan. Advent mengingatkan kita bahwa kelahiran Yesus di Betlehem sudah mengarah pada salib.
  • Nubuat Mikha 5: Mikha menubuatkan bahwa dari Betlehem akan lahir seorang Raja. Advent adalah masa kita menunggu penggenapan nubuat itu, sama seperti Israel menanti di bawah bayang-bayang Migdal Eder.

 

Catatan Lain Mengenai Migdal Eder dan Hari Natal

Banyak kritikan sering diarahlan kepada peristiwa hadirnya para gembala di Padang Efrata di hari Natal: mungkinkah ada kawanan domba yang digembalakan di padang pada waktu malam di musim dingin?
Peneguhan oleh catatan-catan sejarah gereja kuno maupun literatur rabbinik Yahudi memaksudkan bahwa “padang gembala” itu ternyata bukan padang gembala biasa.

Sejarawan Eusebius dari Kaisaria (265-340) mengatakan bahwa tempat itu berkaitan dengan מִגְדַּל־עֵ֗דֶר ”Migdal Eder” (Menara Kawanan Domba), yang terletak seribu kaki dari Betlehem. 

Di sinilah tempat para gembala menerima berita kelahiran Yesus.

Dalam Kej. 35:16-22 dikisahkan tentang kematian Rahel pada waktu melahirkan Benyamin, yang kemudian dikuburkan di jalan ke Efrata, yaitu di Betlehem. 

Dari situ Yakub menuju Miqdal Eder dan memasang kemahnya di situ, sebagai tempat Raja Mesiah akan menyatakan diri-Nya pada hari-hari akhir.

Jadi, domba-domba dalam Lukas 2:8 bukan binatang gembalaan biasa, tetapi domba-domba ini dipersiapkan sebagai kurban untuk Bait Suci, yang dijaga oleh gembala-gembala yang khusus menurut peraturan para rabbi, seperti tercatat dalam Talmud.

Menurut Talmud, ada 2 jenis binatang yang digembalakan: (1) אלו הן בייתות “elu hen bayītot, yaitu ternak piaraan khusus yang dikeluarkan mulai pagi hari untuk merumput di padang yang terletak di batas kota dan kembali ke kota pada malam hari; (2) אלו הן מדבריות “Elu hen midbariyot”, yaitu ternak yang digembalakan di padang. 

Jenis ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu (a) ternak yang digembalakan di padang pada waktu Paskah, merumput di padang siang dan malam, dan dimasukkan lagi ke kandang waktu hujan pertama, dan (b) ternak yang keluar merumput di padang dan tidak masuk ke area yang ditentukan, baik pada musim panas maupun pada musim dingin.

Catatan Lukas 2:8 merujuk kepada domba-domba khusus untuk upacara korban yang digembalakan di padang tertutup, dan domba-domba tersebut dilepaskan di sana, baik pada musim panas maupun musim hujan.

Faktanya, Bait Suci selalu mempunyai persediaan domba-domba sepanjang tahun, karena tidak ada upacara Yahudi yang tanpa kurban binatang. Dalam lingkaran tahun liturgis Yahudi, perayaan yang jatuh pada 25 Kislev hingga 2 Tevet (Desember/Januari) adalah Perayaan Hanukkah (Penahbisan Bait Suci).

Selain itu, kita juga harus melihat geografis Israel secara keseluruhan. Hanya di wilayah Israel utara biasanya salju turun dari gunung Hermon setiap musim dingin. 

Sedangkan Bethelem Efrata, tempat Malaikat itu bertemu dengan para gembala, bukan wilayah turunnya salju. Wilayah Israel selatan terdiri dari gurun, karena itu bulan Desember suhu Bethelehem hanya berkisar 57-42 derajat Fahrenheit, atau sekitar 13,8 sampai 5,5 derajat Celcius. 

Pada suhu tertentu yang disebut titik beku, yaitu 0° Celsius, 32° Fahrenheit, barulah salju bisa turun. Karena itu, tidak ada salju di Betlehem, kecuali pada saat-saat tertentu turun salju tipis kiriman dari wilayah utara.


Sumber: MIGDAL EDER, NATAL DAN MITOS BETLEHEM BERSALJU - SarapanPagi Biblika Ministry

 



Continue reading Migdal Eder - Tempat Khusus Bagi Domba Kurban Pilihan

Sunday, December 14, 2025

,

Sebuah Naskah Film: "1 Kesalahan Yang Ingin Diulang"

ged pollo

oleh: grefer pollo


Film ini dibuka dengan panorama desa kecil yang damai. Kamera menyorot rumah sederhana, di mana seorang bapak bernama Yosua sedang sibuk mencari kunci rumah yang terselip. 

Narasi lembut mengiringi: Yosua dikenal sebagai sosok yang rajin berdoa, setia hadir di gereja, namun ada satu hal yang membuatnya unik—ia sering lupa. 

Kelupaannya bukan sumber marah, melainkan sumber tawa. Adegan-adegan singkat memperlihatkan ia lupa janji dengan tetangga, lupa sedang berpuasa lalu minum kopi di warung, dan semua berakhir dengan senyum hangat orang-orang di sekitarnya.

Suatu Minggu, Yosua ditunjuk menjadi liturgis. Kamera menyorot wajahnya yang penuh semangat saat membuka Alkitab di hadapan jemaat. 

Dengan lantang ia berkata: “Saudara-saudara, mari kita membaca dari Kitab Kejutan!”

Sejenak hening. Jemaat saling berpandangan, ada yang berbisik, “Mungkin maksudnya Kejadian?” Wajah Yosua memerah, namun ia melanjutkan dengan percaya diri: “Ya, Kitab Kejutan… sebab firman Tuhan memang penuh kejutan!”

Tawa pecah. Suasana yang biasanya kaku berubah hangat. Anak-anak yang sering bosan tiba-tiba berseru riang: “Pak, apa lagi kejutan dari Tuhan?” 

Sejak hari itu, istilah Kitab Kejutan hidup di desa. Hal-hal kecil yang tak terduga menjadi ayat baru yang membuat semua tersenyum.

Beberapa bulan kemudian, seorang pendeta tamu hadir dan berkhotbah: “Hidup kita memang seperti Kitab Kejutan. Yesus membuat murid-Nya terheran-heran: air jadi anggur, badai jadi tenang, salib jadi kemenangan. Semua itu kejutan kasih Tuhan.”

Jemaat menoleh ke Yosua. Ia tersipu malu, namun hatinya bangga. Kesalahan kecilnya telah menjadi inspirasi besar. Kamera menyorot wajahnya yang penuh cahaya, lalu perlahan berganti ke senja di beranda rumahnya. 

Di sana, Yosua duduk sendiri, menatap foto istrinya, Marta, yang telah lama pergi. Kesepian menjadi sahabat, doa menjadi pelipur.

Hingga suatu sore, seorang guru baru datang ke desa: Elira. Sederhana, lembut, penuh cahaya. Ia kagum pada keluguan Yosua, yang justru memancarkan ketulusan. 

Malam doa bersama menjadi titik balik. Yosua kembali salah ucap: “Mari kita membaca dari Kitab Ratapan… eh, maksud saya Kitab Harapan.”

Jemaat tertawa, namun Yosua tiba-tiba menangis. Dengan suara bergetar ia berkata: “Saudara-saudara… hidup memang penuh ratapan. Aku pernah kehilangan orang yang paling kucintai. 

Tapi Tuhan mengubah ratapanku menjadi harapan. Mungkin itulah kejutan terbesar dari-Nya.”

Elira ikut menangis. Kamera menyorot mata mereka yang bertemu, penuh luka namun juga penuh pengharapan. Sejak malam itu, Yosua dan Elira sering berbincang. 

Tentang anak-anak sekolah minggu, tentang doa, tentang luka yang mereka simpan. Perlahan, cinta bersemi. Elira berbisik: “Pak Yosua, mungkin Kitab Kejutan bukan hanya tentang hal-hal lucu. Mungkin Tuhan sedang menulis kejutan baru dalam hidup Bapak.”

Montase memperlihatkan mereka melayani bersama, tertawa bersama, dan jemaat yang semakin hangat. Hingga suatu hari, pendeta tamu kembali berkhotbah: “Kasih Tuhan itu seperti Kitab Kejutan. 

Ia tidak hanya memberi tawa, tetapi juga menyembuhkan luka. Ia tidak hanya mengubah air jadi anggur, tetapi juga kesepian jadi persekutuan, kehilangan jadi pengharapan, dan cinta yang hilang jadi cinta yang baru.”

Jemaat menoleh lagi ke Yosua. Kali ini, Elira menggenggam tangannya. Air mata jatuh, bukan karena sedih, melainkan karena damai. Yosua berbisik: “Tuhan, kalau boleh, biarlah aku salah lagi… asal salahku membawa tawa, harapan, dan cinta yang menyembuhkan.”

Film tampak seolah berakhir bahagia. Namun twist datang. Musim berganti, badai tiba. Elira jatuh sakit. Kamera menyorot Yosua yang menemaninya setiap hari, membacakan ayat-ayat dari Kitab Kejutan yang dulu mereka ciptakan bersama. 

Di hari-hari terakhirnya, Elira berkata pelan: “Pak Yosua… kalau aku tak bisa sembuh, jangan biarkan luka ini jadi ratapan. Biarlah ia menjadi lagu, seperti What a Friend We Have in Jesus—ditulis dari kehilangan, tapi menyentuh dunia dengan pengharapan.”

Yosua menangis, namun ia mengangguk. Ia tahu, cinta sejati bukan tentang memiliki, melainkan tentang tetap setia, meski harus melepaskan. Elira pun berpulang. 

Desa berduka, anak-anak menangis, jemaat terdiam. Kamera menyorot wajah Yosua yang tetap berdiri di mimbar, dengan suara lebih pelan, lebih dalam, lebih penuh kasih. Ia menulis sebuah lagu, bukan untuk panggung besar, melainkan untuk hati yang hancur:

“Dalam kehilangan, aku tetap percaya. Dalam kesepian, aku tetap berseru. Sebab Tuhan tak pernah pergi, Ia sahabat yang setia, bahkan ketika dunia tak lagi sama.”

Lagu itu tak pernah diberi judul, namun anak-anak menyebutnya: Nyanyian Elira.

Film ditutup dengan adegan gereja desa. Jemaat duduk hening, mendengarkan Yosua. Kamera perlahan zoom out, cahaya matahari masuk lewat jendela kaca berwarna. Narasi terakhir mengalun:

“Kitab Kejutan bukan sekadar istilah lucu. Ia menjadi simbol perjalanan iman: bahwa kesalahan bisa menjadi pintu, tawa bisa menjadi obat, dan cinta bisa lahir kembali dari luka. 

Yosua, si bapak pelupa, kini dikenal sebagai penjaga nyala kasih, yang tetap setia kepada Tuhan, meski harus berjalan sendiri lagi.”

Fade out. Musik lembut mengalun.

Layar perlahan terbuka kembali. Langit pagi membentang di atas padang rumput yang sunyi. Kabut tipis bergelayut di antara pohon-pohon kecil. Yosua berjalan sendirian, mengenakan jubah abu-abu yang sederhana. 

Langkahnya pelan, namun mantap. Ia tampak lebih tua, lebih tenang, lebih ringan.

Suara narator mengalun lembut: “Setelah semua tawa dan tangis, Yosua memilih berjalan lebih jauh. Ia ingin tahu, apakah Kitab Kejutan masih menyimpan satu bab terakhir.”

Di tengah padang, Yosua berhenti. Ia menunduk, berdoa dalam diam. Lalu, dari arah cahaya pagi, seorang Pria muncul. Berpakaian putih, wajah-Nya bersinar lembut. 

Ia tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum dan mengulurkan tangan.

Yosua menatap-Nya. Matanya membesar, lalu perlahan berkaca-kaca. Ia tahu siapa yang berdiri di hadapannya. Ia tahu, ini bukan mimpi. Ini bukan khayalan. Ini adalah pertemuan yang dijanjikan.

Yesus berjalan di sampingnya. Langkah mereka menyatu. Tak ada kata-kata, hanya keheningan yang penuh makna.

Kamera mengikuti dari belakang, menyorot dua bayangan yang memanjang di tanah. Bayangan seorang pelupa, dan bayangan Sang Sahabat Sejati.

Yosua akhirnya berbicara, suara pelan seperti angin pagi:

“Tuhan… kalau boleh, biarlah aku salah lagi. Asal salahku membuatku lebih dekat kepada-Mu.”

Yesus menoleh, tersenyum. Dan Yosua tersenyum kembali, senyum yang tak lagi menyimpan luka, melainkan damai yang tak bisa dijelaskan.

Kamera kembali ke gereja desa. Bangku-bangku kosong, namun cahaya matahari tetap masuk dari jendela kaca berwarna. Di mimbar, Alkitab terbuka. Halaman terakhir bertuliskan tangan: “Kitab Kejutan – Ditulis oleh Yosua, dibaca bersama Tuhan.”

Narasi terakhir mengalun: “Kadang, kesalahan membawa kita ke pelukan kasih. Kadang, tawa membuka pintu pengharapan. Dan kadang, cinta yang hilang membawa kita berjalan bersama Sang Sahabat Sejati.”

Layar perlahan gelap. Musik lembut mengalun. Bait terakhir dari Nyanyian Elira terdengar samar:

“Ia berjalan bersamaku, di padang yang sunyi, dan aku tahu, aku tak sendiri.”

Fade out. Teks muncul: Untuk semua yang pernah salah, dan tetap percaya.

 

Continue reading Sebuah Naskah Film: "1 Kesalahan Yang Ingin Diulang"

Friday, December 12, 2025

SORGA Tak Mungkin Tak Ada "R"

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Hujan turun deras. Sebuah rumah tua berdiri dengan dinding retak dan atap bocor. Di dalamnya, seorang anak duduk termenung, menatap genangan air yang merembes dari langit-langit.

“Yah,” katanya lirih, “kenapa rumah ini selalu rusak? Rasanya… bukan rumah.”

Sang ayah tersenyum lembut. “Nak, rumah bukan sekadar dinding dan atap. Rumah adalah tempat hati pulang.”

Tiba-tiba seorang tetangga masuk membawa kabar mengejutkan. “Hei, kalian dengar? Rumah ini akan dirobohkan! Katanya tidak layak huni.”

Anak itu terperangah. “Jadi… kita akan kehilangan rumah?”

Ayah berdiri, menatap ke atas seakan menembus langit. “Nak, dengar baik-baik. Rumah ini memang bisa roboh. Tapi ada rumah lain. Rumah yang tidak bisa retak, tidak bisa bocor, tidak bisa dirobohkan.”

“Rumah lain? Di mana?” tanya sang anak dengan mata penuh penasaran.

Ayah mengucapkan janji Yesus: “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” (Yohanes 14:2-3)

Kisah ini bukanlah kehilangan rumah, melainkan menemukan rumah sejati. Rumah di bumi bisa rusak, tapi rumah di sorga adalah janji yang kekal.”

Anak itu menatap ayahnya, perlahan tersenyum. “Jadi… meski rumah ini roboh, kita tidak kehilangan rumah?”

Ayah mengangguk. “Benar. Kita hanya sedang dalam perjalanan pulang. Rumah sejati menanti kita di sorga.”


Di Sorga Ada "R"

“Sorga tidak mungkin tanpa ‘R’. Dan ‘R’ itu adalah rumah. Rumah yang disiapkan Kristus, tempat kita tidak lagi menjadi tamu, melainkan anak-anak yang pulang. Rumah di sorga adalah kepastian kasih. Dan di sanalah, bersama Kristus, kita akan benar-benar pulang.”

 

Sorga tidak mungkin tanpa "R". Dan "R" itu adalah rumah.

Rumah bukan sekadar bangunan dengan dinding dan atap. Rumah adalah tempat hati berlabuh, tempat jiwa menemukan damai, tempat kasih bertumbuh tanpa batas.

Di bumi, kita sering merindukan rumah, tempat kembali setelah lelah, tempat aman setelah perjalanan panjang.

Tetapi Yesus mengingatkan kita bahwa kerinduan itu bukan hanya tentang rumah di dunia. Ada rumah yang lebih indah, lebih kekal, lebih penuh kasih: rumah di sorga.

Janji Yesus di atas, terlihat sederhana namun dalam: sorga adalah rumah, bukan sekadar kerajaan jauh yang asing. Sorga adalah tempat di mana kita tidak lagi menjadi tamu, melainkan anak-anak yang pulang. Rumah yang disiapkan bukanlah sekadar ruang, melainkan kehangatan kehadiran Kristus sendiri.

Bayangkan: setiap langkah hidup kita di dunia adalah perjalanan menuju rumah itu. Kadang jalan terasa panjang, kadang penuh batu, kadang kita tersesat. Tetapi di ujungnya, ada pintu yang terbuka, ada pelukan yang menanti, ada suara lembut yang berkata, “Selamat datang di rumah.”

Sorga tidak mungkin tanpa "R". Karena tanpa rumah, sorga hanyalah ruang kosong. Tetapi dengan rumah, sorga menjadi janji yang hidup. Janji bahwa kita tidak akan pernah lagi merasa asing, tidak akan pernah lagi kehilangan arah.

Rumah di sorga adalah kepastian kasih. Dan di sanalah, bersama Kristus, kita akan benar-benar pulang.



Continue reading SORGA Tak Mungkin Tak Ada "R"

Thursday, December 11, 2025

Legacy: “Warisan yang Tak Bisa Dijilat”

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Dalam setiap strategi perang, kemenangan bukan hanya ditentukan oleh pedang dan panji, atau tulisan, tetapi oleh kebijaksanaan membaca medan dan hati manusia.

Seorang pemimpin yang ingin membangun legacy tidak cukup menaklukkan musuh di luar, ia harus waspada terhadap bisikan di dalam lingkarannya.

Orang dekat bisa menjadi sahabat sejati, namun juga bisa menjadi bayangan yang menusuk dari belakang.

Penjilat akan menaburkan pujian manis, tetapi di baliknya menyimpan racun yang perlahan melemahkan kewaspadaan.

Maka, seni kepemimpinan adalah menimbang kata dengan hati jernih, menilai tindakan lebih dari suara, dan menjaga jarak secukupnya agar kepercayaan tidak berubah menjadi kelemahan.

Legacy sejati lahir bukan dari kemenangan sesaat, melainkan dari keteguhan karakter: keberanian yang tidak goyah, integritas yang tidak bisa dibeli, dan kebijaksanaan yang mampu membedakan antara teman sejati dan sekadar pengikut bayangan.

Dalam setiap strategi perang, seorang pemimpin tidak hanya berhadapan dengan musuh di luar tembok, tetapi juga dengan bayangan di dalam lingkarannya. 

Pujian manis bisa menjadi racun, dan kedekatan bisa berubah menjadi tikaman. Legacy sejati tidak dibangun di atas suara yang menyanjung, melainkan pada fondasi karakter yang tahan uji.

Di titik inilah firman menembus lebih tajam daripada pedang: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Amsal 17:17).

Ayat ini bukan sekadar kata indah, melainkan garis pemisah yang jelas. Sahabat sejati hadir bukan hanya ketika kemenangan dirayakan, tetapi berdiri teguh saat kesulitan menekan. 

Mereka tidak menjilat demi keuntungan, melainkan menanggung beban bersama.

Maka, seorang pemimpin yang bijak akan mengenali siapa yang sekadar bayangan dan siapa yang benar-benar saudara.

Legacy yang kokoh lahir dari keberanian melawan musuh, tetapi juga dari kebijaksanaan memilih sahabat yang menaruh kasih setiap waktu.



Continue reading Legacy: “Warisan yang Tak Bisa Dijilat”

Wednesday, December 10, 2025

Orang Benar di Tempat yang Salah

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Orang Benar di Tempat yang Salah

Ada kalanya hidup menempatkan kita di ruang yang terasa asing, bahkan salah. 

Lingkungan penuh kompromi, kebohongan, atau keserakahan bisa membuat hati orang benar terasa terhimpit. Namun justru di situlah terang paling dibutuhkan.

Alkitab memberi contoh nyata melalui kisah Lot di Sodom. Ia disebut “orang benar” yang menderita melihat cara hidup orang-orang yang tidak mengenal hukum (2 Petrus 2:7). 

Meski tinggal di kota yang terkenal dengan dosa, Tuhan tetap menyelamatkannya karena kesetiaannya dan juga Allah mengingat akan Abraham. 

Kisah ini menegaskan bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh tempat, melainkan oleh sikap hati.

Seperti lilin yang paling bersinar justru ketika ruangan gelap, demikianlah hidup orang benar. 

Amsal 12:15 mengingatkan bahwa orang bijak mendengarkan nasihat, bukan sekadar mengikuti arus. Roma 12:3 menasihati agar kita berpikir dengan rendah hati sesuai ukuran iman. 

Dan, Mazmur 37:29 meneguhkan: “Orang benar akan mewarisi tanah dan tinggal di situ untuk selama-lamanya.”

Lihatlah realitas kehidupan, banyak dari  anak muda Kristen di dunia merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan norma sekuler di sekolah atau pekerjaan. 

Tekanan sosial ini nyata, sama seperti Lot yang harus hidup di tengah masyarakat yang berbeda nilai.

Meski demikian, tidak selalu keberadaan kita di “tempat yang salah” berarti sebuah kesalahan pribadi. 

Alkitab menunjukkan bahwa sering kali Tuhan justru menempatkan orang benar di tengah situasi yang tampak keliru untuk menggenapi rencana-Nya.

Yusuf di Mesir (Kejadian 50:20): Yusuf dijual ke tempat yang tampak “salah”, yaitu perbudakan di Mesir. Namun ia berkata kepada saudara-saudaranya: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakan untuk kebaikan, supaya dilakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”

Daniel di Babel (Daniel 1:8): Meski berada di negeri asing dengan budaya yang bertentangan, Daniel tetap teguh. Justru di situ ia menjadi saksi kebenaran dan alat Tuhan untuk mempengaruhi raja.

Dari sini kita paham bahwa adalah keliru jika kita terbiasa membenarkan keadaan untuk membenarkan perbuatan kita yang salah. Ada orang yang sering berkata: saya buat begini karena keadaan. Saya jadi begini karena keadaan sekitar saya.

 

Berada di tempat yang salah bisa menjadi:

  • Ujian iman: Apakah kita tetap teguh memegang kebenaran meski lingkungan menekan?
  • Kesempatan bersaksi: Justru di tengah kegelapan, terang lebih terlihat.
  • Bagian dari rencana Tuhan: Tuhan sering memakai situasi yang tampak keliru untuk membuka jalan yang lebih besar.

Kadang kita merasa “salah tempat”. Di pekerjaan yang penuh trik dan intrik, di komunitas yang tidak sejalan, atau bahkan di keluarga yang sulit. 

Namun jangan buru-buru menyimpulkan itu kesalahan. Bisa jadi Tuhan sedang menyiapkan kita untuk sesuatu yang lebih besar.

Seperti jalan yang berliku, rencana Tuhan tidak selalu mudah dipahami. Tetapi setiap langkah, bahkan yang tampak salah, bisa menjadi bagian dari rancangan indah-Nya.

Berada di tempat yang salah tidak otomatis berarti kita salah. Jika hati tetap berpaut pada Tuhan, maka tempat itu bisa menjadi panggung bagi rencana-Nya. 

Lot, Yusuf, dan Daniel membuktikan bahwa orang benar bisa dipakai Tuhan di tengah situasi yang tampak keliru.

Jadi, jangan takut bila merasa berada di “jalan yang salah.” Bisa jadi itu justru jalan Tuhan untuk membawa kita ke tujuan yang lebih besar.

Menjadi orang benar di tempat yang salah bukanlah kutukan, melainkan kesempatan. Kita tidak dipanggil untuk melarikan diri dari dunia, melainkan untuk menghadirkan aroma Kristus di tengah dunia yang sering salah arah. 

Dengan sikap rendah hati, teladan hidup, dan kasih yang nyata, orang benar bisa mengubah suasana di sekitarnya.

Kesetiaan pada kebenaran adalah panggilan, bukan sekadar pilihan. Maka bila kita merasa berada di “tempat yang salah,” jangan putus asa. 

Justru di situlah Tuhan menempatkan kita untuk menjadi saksi, inspirasi, dan pengingat bahwa kebenaran tetap berharga.

Dan, bisa jadi, Tuhan taruh kita di tempat demikian juga untuk melatih otot-otot jiwa dan roh kita agar lebih siap di tempatkan Tuhan di tempat yang lain dan berinteraksi serta berelasi dengan orang lain.


Continue reading Orang Benar di Tempat yang Salah

Ibadah Membentuk Misionaris; Misi Mewujudkan Buah Ibadah

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Ibadah Membentuk Misionaris; Misi Mewujudkan Buah Ibadah


Injil adalah Kabar Baik. Gereja dipanggil untuk hidup sebagai wujud nyata dari kabar itu di tengah kehidupan sehari‑hari, panggilan itu menuntun kita keluar dari sekadar ritual menjadi komunitas yang mengabarkan kabar baik. 

Dari sekadar menjalankan ritual yang terpisah dari dunia.

Panggilan ini mengajak kita keluar (ekklesia = keluar dari gelap menuju terang) dari bangku ibadah ke jalanan, dari kata‑kata menjadi tindakan. Supaya kabar baik benar‑benar “baik” dan sampai ke orang lain.

Injil adalah kabar baik yang memanggil kita kepada pertobatan, pengharapan, dan tindakan kasih. 

Kabar baik itu melekat pada misi bukan sebagai label semata, tetapi sebagai dorongan yang menggerakkan gereja untuk menjangkau, melayani, dan memperjuangkan keadilan bagi semua orang. 

Oleh karena itu, misi harus dipahami secara holistik: mengajar dan membaptis, ya, tetapi juga merawat yang sakit, membela yang tertindas, dan membangun komunitas yang mencerminkan Kerajaan Allah.

Identitas gereja dibangun dari beberapa hal yang saling melengkapi: ibadah yang membentuk batin, persekutuan yang menguatkan, pelayanan yang menyentuh, dan misi yang mengutus. 

Ibadah bukan tanda kegagalan misi; justru ia sumber tenaga dan sekolah bagi misi, tempat iman dipupuk dan hati dipersiapkan untuk melangkah.

Terlepas dari pengertian itu, Alkitab mengajarkan bahwa seluruh hidup dan aspek kehidupan kita adalah ibadah di hadapan Allah (Roma 12:1-2, Kolose 3:23).

Injil memanggil pada pertobatan, pengharapan, dan tindakan kasih. 

Misi bukan sekadar label atau slogan, melainkan dorongan yang membuat gereja menjangkau, merawat yang sakit, membela yang tertindas, dan membangun komunitas yang mencerminkan Kerajaan Allah. 

Jadi misi itu holistik: mengajar dan membaptis, sekaligus merawat, membela, dan membangun.

Injil mendorong misi. Pesan Yesus tentang pengutusan (misi) untuk menjadikan semua bangsa murid‑Nya memang pusat panggilan, tetapi panggilan itu selalu terikat pada nilai kasih, kerendahan hati, dan pelayanan. 

Gereja yang sehat memadukan ibadah yang mendalam dengan misi yang nyata. Ibadah membentuk, misi menampakkan buah.

Menjadi gereja berarti hidup dalam keseimbangan antara berdiam di hadirat Allah dan diutus ke dunia, sehingga Kabar Baik tidak hanya didengar, tetapi juga dilihat, disentuh, dan dialami oleh semua orang.



Continue reading Ibadah Membentuk Misionaris; Misi Mewujudkan Buah Ibadah