Wednesday, November 5, 2025

Yesus Datang untuk Memberikan Kehidupan

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Injil Yohanes memberi penegasan: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh. 11:25). 

Inilah sebenarnya tujuan kedatangan Kristus: bukan datang untuk menjadikan yang sakit sembuh, yang lemah kuat, yang miskin kaya, yang susah senang, atau apapun yang bisa disebutkan. Jikapun itu terjadi, maka itulah bonusnya. Tapi Yesus Kristus datang untuk memberikan kehidupan (spiritual life) kepada mereka yang sudah mati. Membangkitkan manusia dari kematian rohani menuju hidup kekal.

Kisah dalam Alkitab menunjukkan banyak orang Yahudi yang tidak menerima Yesus sebagai Mesias. Yesus disebut sebagai “penyesat Israel” yang menyalahi hukum Taurat. 

Pandangan ini menegaskan bahwa bagi komunitas Yahudi non-Kristen, Yesus gagal memenuhi ekspektasi Mesias politik yang membebaskan bangsa dari penjajahan Romawi. 

Namun justru di situlah letak perbedaannya: Yesus tidak datang untuk sekadar memberi kemenangan politik atau kesejahteraan materi, melainkan untuk memberi kehidupan baru yang melampaui batas duniawi.


Para Bapa Gereja menegaskan hal yang sama:

Irenaeus (abad ke-2) dalam Adversus Haereses menulis bahwa Kristus datang untuk “membuat manusia hidup kembali, karena manusia telah mati oleh dosa.” 

Origenes (abad ke-3) menekankan bahwa mukjizat penyembuhan hanyalah tanda, bukan tujuan akhir. Tujuan sejati adalah pemulihan jiwa manusia kepada Allah. 

Agustinus (abad ke-4–5) bahkan berkata: “Yesus menyembuhkan tubuh, tetapi yang lebih besar adalah Ia membangkitkan jiwa dari kematian dosa.”

Rasul Paulus menulis, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu… tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh kasih-Nya yang besar, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus” (Ef. 2:1, 4–5). Inilah inti Injil: manusia mati secara rohani, dan hanya Kristus yang dapat memberi hidup baru.

Refleksi bagi kita hari ini: Banyak orang masih mencari Yesus untuk alasan pragmatis: kesembuhan, kelancaran rezeki, atau kebahagiaan instan. 

Semua itu bisa terjadi, tetapi bukan inti Injil. Jika kita hanya mencari Yesus untuk “bonus” duniawi, kita kehilangan tujuan utama: hidup kekal dalam persekutuan dengan Allah.

Yesus datang untuk memberi spiritual life: hidup yang sejati, yang tidak bisa diberikan oleh dunia. Mukjizat jasmani hanyalah tanda yang menunjuk pada realitas lebih besar: kebangkitan jiwa dari kematian dosa.

Tanda hanyalah sesuatu yang diberikan untuk mengarahkan kepada inti pesannya, tujuan sebenarnya. Ketika sampai kepada tujuan maka tanda tidak berguna lagi.

Bayangkanlah kamu sedang mencari sebuah penginapan. Kamu berjalan dan menemukan sebuah tanda penginapan di jalan. Kamu mengikuti arah petunjuknya dan sampai di sebuah penginapan. Ketika tiba di penginapan maka kamu tidak membutuhkan tanda itu lagi.

Yesus Kristus bukan sekadar penyembuh, penghibur, atau pembuat kaya. 

Ia adalah Sumber Kehidupan

“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10).

Continue reading Yesus Datang untuk Memberikan Kehidupan

Friday, October 31, 2025

Strategi Pengambilan Keputusan: Rasio, Rasa, Insting

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Setiap keadaan kita adalah hasil dari keputusan yang sudah pernah kita ambil.

Keputusan terbaik lahir ketika rasio (akal), rasa (perasaan/empati), dan insting (intuisi/roh) bekerja bersama. Bekerja bersama bukan bersaing.

Bayangkan tiga pilar yang menopang jembatan: satu mengukur kekuatan, satu merasakan getaran, satu membaca arah arus di bawah. Hilangkan satu pilar maka jembatan goyah. Tetapi, gabungkan ketiganya dan jembatan membawa orang melintasi sungai dengan aman, Ya, kadang dengan sedikit gaya.

 

Mengapa ketiganya penting

  • Rasio atau akal atau logika memberikan data, nalar, dan struktur. Mereka adalah mata yang memperhitungkan risiko dan konsekuensi.
  • Rasa atau emosi menimbang nilai, relasi, dan dampak pada hati orang lain. Itu adalah telinga yang mendengar gema komunitas.
  • Insting atau naluri atau firasat atau perasaan batin memberi kilasan cepat tentang apa yang “benar” sebelum seluruh bukti terkumpul. Dia semacam GPS spiritual yang kadang melebihi peta.

Keseimbangan ketiganya menutup blind spot: rasio mencegah nafsu, rasa mencegah dinginnya kalkulasi tanpa hati, insting mendorong langkah ketika bukti belum lengkap.


Model berikut memberi panduan praktis tiga langkah di atas:

  1. Kumpulkan Fakta dengan Rasio
    • Buat daftar singkat: fakta utama, opsi, konsekuensi logis.
    • Waktu: 5–10 menit.
    • Hasil: ringkasan objektif yang bisa diuji.
  2. Uji dengan Rasa
    • Tanyakan: siapa yang terdampak? Bagaimana perasaan hati ketika membayangkan hasilnya?
    • Teknik cepat: bayangkan keputusan diumumkan di meja makan keluarga; catat reaksi batin.
    • Hasil: penilaian etis dan relasional.
  3. Minta Petunjuk Insting
    • Diam 1–2 menit, sangat baik jika didukung dalam doa; catat sensasi pertama yang muncul.
    • Jika insting bertentangan dengan rasio total, beri tanda “retensi” untuk evaluasi lebih lanjut.
    • Hasil: arah intuitif yang bisa dikonfirmasi oleh langkah kecil.

 

Cara menghitung bobot keputusan sederhana

Gunakan skala 0–10 pada tiap pilar, lalu hitung skor gabungan.

  • Langkah: Beri nilai untuk Rasio, Rasa, Insting masing-masing.
  • Rumus: Skor Akhir = (0.45 × Rasio) + (0.35 × Rasa) + (0.20 × Insting).
    • Alasan bobot: rasio sedikit lebih tinggi untuk mengurangi bias; rasa kuat untuk etika; insting dipakai sebagai pemicu, bukan sebagai satu-satunya dasar.
  • Interpretasi:
    • ≥ 7.5 → lanjut dengan rencana; siapkan komunikasi.
    • 5.0–7.4 → lanjut bertahap; uji pilot kecil.
    • < 5.0 → tinjau ulang; minta masukan lain atau jeda.

Contoh singkat: Rasio 8, Rasa 6, Insting 7 → Skor = (0.45×8)+(0.35×6)+(0.20×7)=3.6+2.1+1.4=7.1 → lanjut bertahap.


Ciri-ciri keputusan sehat menurut model ini

  • Ada bukti yang masuk akal.
  • Rasa kemanusiaan terjaga; tidak mengorbankan orang demi efisiensi.
  • Insting diberi ruang validasi: jika kuat tetapi bertentangan, diuji ulang, bukan diabaikan.
  • Keputusan disampaikan dengan jelas dan penuh empati.

 

Salomo adalah pribadi yang meminta dan memiliki hikmat (pertimbangan rasio) dari Tuhan tetapi dia juga bergantung pada pimpinan Tuhan (insting rohani) ketika memutuskan perkara rakyatnya.

Keputusan yang bijak bukan hanya soal kepala dingin atau naluri berapi-api saja. Ia adalah tarian berirama antara alasan, hati, dan bisikan dalam yang seringkali berasal dari Roh. Seimbang bukan berarti rata; seimbang berarti memberi setiap suara haknya, lalu berjalan bersama — kadang sambil tertawa karena kita tahu, secara ilmiah dan rohani, kita memilih dengan utuh.


Continue reading Strategi Pengambilan Keputusan: Rasio, Rasa, Insting

Wednesday, October 29, 2025

INTERDEPENDENCY KEHIDUPAN

ged pollo

oleh: ged pollo


 

Kehidupan seperti memiliki sistemnya sendiri. Dia berjalan sebagai jaringan saling tergantung di mana tiap unsur memberi makna pada keseluruhan. Bukan tiap bagian berjalan sendiri-sendiri dan tak peduli pada yang lain.

Pandangan ini bukan lensa parsial melainkan wawasan bijak yang melihat keseluruhan hubungan: rohani, sosial, dan alamiah sebagai satu tarikan nafas bersama.

Alkitab sering menampilkan ciptaan sebagai komunitas yang saling terkait. Manusia dipanggil memelihara tanah, sesama dipanggil untuk hidup dalam kasih, dan umat diberi tanggung jawab terhadap ciptaan secara menyeluruh.

Tradisi teologi kontemporer membaca teks suci sambil membuka ruang dialog dengan penemuan ilmiah sehingga muncul pemahaman yang menyelaraskan iman dan pengetahuan tentang keterhubungan ciptaan.

 

  • Ekologi dan biologi menunjukkan interdependensi di semua skala. Jaring makanan, siklus nutrien, dan simbiosis mikroba pada tubuh manusia adalah contoh empiris bahwa fungsi sistem bergantung pada interaksi antar-komponen.
  • Ilmu lingkungan dan ekoteologi mengkaji hubungan manusia, alam, dan nilai-nilai spiritual sebagai satu kesatuan yang saling memengaruhi; studi-studi ini menegaskan bahwa kerusakan pada satu bagian sistem membawa konsekuensi luas bagi bagian lain.

 

Pandangan Parsial Terhadap Kehidupan Menyesatkan

  • Pandangan parsial memecah realitas jadi potongan-potongan yang tampak efisien untuk analisis singkat tetapi gagal mengantisipasi efek timbal balik. Dalam praktik kebijakan, ekonomi, atau etika lingkungan, mengabaikan keterkaitan menyebabkan solusi yang rapuh dan sering memperparah masalah.
  • Orang bijak melihat sebab-akibat berlapis dan memilih tindakan yang mempertimbangkan dampak ekosistemik, sosial, dan spiritual agar hasilnya tahan lama dan adil.

Dengan demikian pandangan dan cara hidup individualistis tidak cocok dalam kehidupan nyata dan realitas hidup manusia dan alam.

 

Implikasi Praktis

  • Etika perawatan: bertindak bukan hanya demi keuntungan sesaat tetapi demi kesejahteraan sistem yang lebih besar.
  • Keputusan kebijakan: menyusun kebijakan yang mengukur dampak jangka panjang dan keterkaitan antar-sektor.
  • Kehidupan sehari-hari: memelihara hubungan, memilih konsumsi yang bertanggung jawab, dan merawat lingkungan sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.

 

Melihat hidup sebagai interdependency adalah undangan untuk menjadi bijaksana dalam kehidupan dan melampaui kepentingan parsial, merawat jaringan hubungan yang memberi dan menerima, serta bertindak dengan dasar bukti dan iman demi kelangsungan bersama. Dan, tujuan mulia yakni kemuliaan hanya bagi Tuhan.



Continue reading INTERDEPENDENCY KEHIDUPAN

Friday, October 24, 2025

Masalah Manusia BUKAN TIDAK TAHU tetapi TIDAK MAU TAHU

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


“Bangsa-Ku binasa karena tidak berpengetahuan,” demikian firman dalam Hosea 4:6. Namun sesungguhnya, bukan karena pengetahuan itu tidak ada, melainkan karena manusia menolak untuk mengindahkannya. 

Cahaya telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang. Inilah akar persoalan: bukan kekurangan informasi, melainkan keengganan untuk menerima kebenaran.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihatnya begitu jelas. Seorang perokok tahu bahwa rokok merusak paru-paru, bahkan bungkus rokok sendiri telah menjeritkan peringatan. Namun ia tetap menyalakan sebatang demi sebatang, seakan-akan tulisan itu ditujukan kepada orang lain. 

Seorang pengendara motor tahu bahwa helm menyelamatkan nyawa, tetapi ia memilih melepasnya demi kenyamanan sesaat. 

Seorang pelajar tahu bahwa menunda belajar akan membuatnya gagal, tetapi ia tetap menunda hingga malam terakhir. Seorang pekerja tahu bahwa sesuatu harus segera dikerjakan tetapi sengaja memilih untuk menunda mengerjakan. Pengetahuan ada, tetapi kehendak menolak tunduk. Tahu tetapi tidak mau tahu.

Riset modern mendukung hal ini. Dalam psikologi dikenal istilah “willful ignorance” atau ketidaktahuan yang disengaja. Sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal American Psychological Association (2023) memberi pengertian ketidaktahuan yang disengaja itu sebagai willful ignorance

Mereka yang berada di tahap ini secara sadar memilih untuk mengabaikan sebuah informasi penting.

Mengapa demikian?

Riset itu mengatakan ketidaktahuan yang disengaja muncul dalam situasi di mana kepentingan pengambil keputusan mungkin bertentangan dengan kepentingan orang lain. 

Dengan kata lain, mereka ingin ‘cari aman’ dan memilih untuk tidak berseteru dengan pihak lain.

Alasan lain adalah karena mereka ingin memiliki citra diri sebagai orang yang altruistik (sifat atau perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan pribadi. Orang yang altruistik rela membantu, berkorban, atau mendahulukan kepentingan orang lain demi kebaikan bersama), meskipun mereka tahu ada kemungkinan dampak negatif terhadap orang lain.


Studi menunjukkan bahwa manusia sering menghindari informasi yang berpotensi menuntut perubahan perilaku. Misalnya, penelitian di bidang kesehatan menemukan bahwa banyak orang enggan melakukan tes medis karena takut mengetahui hasil yang buruk. Mereka lebih memilih ketenangan semu daripada kebenaran yang menuntut tindakan.

Data empiris juga berbicara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa lebih dari 7 juta kematian per tahun disebabkan oleh rokok, meski informasi bahaya rokok sudah tersebar luas. 

Lebih dari 50 juta orang meninggal akibat kecelakaan di jalan sejak mobil diciptakan oleh pengusaha Jerman Karl Benz pada 1886. 

Bank Dunia melaporkan bahwa sekitar 1,3 juta orang meninggal tiap tahun akibat kecelakaan lalu lintas, banyak di antaranya karena pengendara mengabaikan aturan keselamatan yang sudah jelas. Fakta-fakta ini bukan rahasia, tetapi manusia sering memilih untuk menutup mata.

Fenomena ini juga tampak dalam isu lingkungan. Laporan IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) berulang kali menegaskan bahwa aktivitas manusia mempercepat pemanasan global. 

Namun sebagian orang tetap menolak, bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak mau tahu, sebab pengakuan berarti harus mengubah gaya hidup, meninggalkan kenyamanan, dan menanggung biaya.

Alkitab sendiri berulang kali menyingkapkan pola ini. Firaun tahu bahwa tangan Tuhan bekerja melalui Musa, tetapi ia mengeraskan hati. 

Orang Farisi melihat mukjizat Yesus, tetapi mereka menutup mata. Pengetahuan hadir, tetapi kehendak menolak. Maka jelaslah, masalah manusia bukanlah kegelapan tanpa cahaya, melainkan menutup mata di tengah terang.


Penutup

Masalah manusia bukan tidak tahu tetapi tidak mau tahu.

Seperti kata Yesus, “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar.” Karena pada akhirnya, keselamatan dan kebinasaan tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya pengetahuan, melainkan oleh kesediaan hati untuk menerima kebenaran.



Continue reading Masalah Manusia BUKAN TIDAK TAHU tetapi TIDAK MAU TAHU

Thursday, October 23, 2025

Jejak Seorang Pemimpin

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Jejak Seorang Pemimpin

Keberhasilan seorang pemimpin tidak pernah diukur hanya dari kata-kata indah yang ia ucapkan, atau dari gelar dan jabatan yang melekat pada dirinya. Ukuran sejati keberhasilan seorang pemimpin adalah jejak yang ditinggalkannya. 

Jejak yang diikuti oleh orang-orang yang percaya, meneladani, dan melanjutkan visi yang ia bagikan. Pemimpin lahir dari dalam komunitas yang ada masalahnya. 

Dan, pemimpin sejati bukanlah bintang yang bersinar sendirian di langit, melainkan matahari yang cahayanya menyalakan kehidupan bagi banyak orang.

Sejarah dunia memberi kita banyak contoh. Mahatma Gandhi, misalnya, tidak meninggalkan kekayaan materi atau kekuasaan politik yang absolut. 

Namun, jutaan orang India mengikuti jejak perjuangannya yang berlandaskan pada prinsip ahimsa (tanpa kekerasan). Hasilnya, India meraih kemerdekaan tanpa peperangan besar. 

Begitu pula Nelson Mandela: keberhasilannya tidak hanya terletak pada posisinya sebagai Presiden Afrika Selatan, melainkan pada generasi yang meneladani semangat rekonsiliasi dan persatuan yang ia perjuangkan.

Dalam konteks Indonesia, kita melihat bagaimana jejak kepemimpinan Ki Hajar Dewantara tetap hidup hingga kini. Semboyannya “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” bukan sekadar kata-kata, melainkan prinsip kepemimpinan yang terus diikuti oleh para pendidik bangsa. 

Dari sini kita belajar bahwa keberhasilan pemimpin sejati adalah ketika gagasannya tidak mati bersama dirinya, melainkan terus hidup dalam tindakan orang lain.

Dan, yang lebih ultimate atau tertinggi dari semua adalah apa yang Tuhan Yesus sudah lakukan.

Alkitab pun meneguhkan prinsip ini. Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1). 

Paulus tidak menonjolkan dirinya, melainkan menegaskan bahwa kepemimpinan sejati adalah mengarahkan orang lain untuk mengikuti teladan yang benar. 

Yesus Kristus sendiri adalah puncak teladan kepemimpinan: Ia tidak hanya mengajar, tetapi hidup-Nya menjadi pola yang diikuti para murid. Hingga kini, dua ribu tahun kemudian, jejak-Nya masih diikuti oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Dari perspektif iman, keberhasilan seorang pemimpin bukanlah ketika ia diagungkan, melainkan ketika ia mampu menuntun orang lain untuk berjalan dalam kebenaran, kasih, dan pelayanan. Pemimpin yang sejati adalah gembala yang rela berkorban bagi dombanya, bukan sekadar penguasa yang menuntut ketaatan.

Sering kali orang mengira pemimpin adalah mereka yang berada di puncak hierarki, yang memiliki otoritas formal, atau yang suaranya paling lantang. 

Namun, ada definisi yang lebih dalam dan jarang diungkap: pemimpin adalah seseorang yang keberadaannya membuat orang lain berani menemukan dirinya sendiri. Pemimpin sejati tidak mencetak pengikut yang pasif, melainkan melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang aktif dan bijak.

Dengan kata lain, pemimpin bukanlah pusat perhatian, melainkan pusat gravitasi yang menyatukan dan menggerakkan. Ia tidak selalu berada di depan; kadang ia berjalan di tengah untuk membangkitkan semangat, atau di belakang untuk memberi motivasi dan inspirasi. Inilah kepemimpinan yang elegan: tidak haus pengakuan, tetapi meninggalkan pengaruh yang abadi.

Seorang pemimpin yang menyamakan kebenaran dengan kekuasaan sesungguhnya sedang membangun fondasi yang rapuh. Kekuasaan adalah instrumen, sedangkan kebenaran adalah nilai. 

Ketika keduanya diperlakukan seolah identik, maka ukuran benar–salah ditentukan oleh siapa yang berkuasa, bukan oleh prinsip moral atau keadilan. 

Pemimpin seperti ini mungkin tampak cerdas, karena mampu merangkai argumen, menguasai retorika, dan menundukkan lawan dengan logika yang kelihatannya kokoh. Namun, kecerdasan tanpa kebijaksanaan hanya melahirkan kesombongan intelektual.

Mengapa terlihat pintar?

  • Ia mampu membungkus kepentingan pribadi dengan bahasa “kebenaran.”
  • Ia menggunakan logika kekuasaan dan relasi kekuasaan untuk meyakinkan orang bahwa tindakannya sah.
  • Ia menampilkan diri sebagai sosok yang rasional, padahal yang ia lakukan hanyalah mengaburkan batas antara kepentingan dan prinsip.

Mengapa tidak bijaksana?

  • Kebijaksanaan menuntut kerendahan hati untuk mengakui bahwa kebenaran lebih tinggi daripada kepentingan manusia.
  • Pemimpin yang bijaksana tahu bahwa kekuasaan hanyalah sarana untuk melayani, bukan untuk mendefinisikan kebenaran.
  • Menyamakan kebenaran dengan kekuasaan akan menjerumuskan masyarakat pada relativisme moral: apa pun yang dilakukan penguasa dianggap benar, meski jelas merugikan banyak orang.


Keberhasilan seorang pemimpin adalah ketika jejaknya tetap hidup dalam langkah orang lain. 

Bukti sejarah, nilai Alkitabiah, dan definisi yang lebih dalam semuanya mengarah pada satu kesimpulan: pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya memimpin untuk hari ini, tetapi menyalakan api yang terus menyala di hati generasi berikutnya.

Dalam Kitab Yesaya 5:20 tertulis: “Celakalah mereka yang menyebut kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat.” Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran tidak boleh diputarbalikkan demi kepentingan kuasa. 

Yesus sendiri menolak godaan untuk menggunakan kuasa demi kepentingan pribadi (Matius 4:8–10). Dari sini kita belajar bahwa kebijaksanaan lahir ketika pemimpin tunduk pada kebenaran yang lebih tinggi daripada dirinya.

Pemimpin yang menyamakan kebenaran dengan kekuasaan memang bisa terlihat pintar, tetapi kepintaran itu hanya ilusi. Ia kehilangan kebijaksanaan karena gagal menempatkan kebenaran sebagai kompas moral. 

Pada akhirnya, sejarah sering membuktikan: kekuasaan yang tidak berakar pada kebenaran akan runtuh, sementara kebenaran yang dijalankan dengan bijaksana akan melahirkan kepemimpinan yang abadi.



Continue reading Jejak Seorang Pemimpin

Devosi: Mujizat Terakhir di Taman Getsemani

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Mujizat Terakhir di Taman Getsemani

Tiba-tiba tanpa pesanan, sebuah pasukan datang dengan gagah, Petrus mengayunkan pedang dengan heroik, lalu tanpa bisa dihindari telinga Malkhus jatuh ke tanah. Ada yang sempat panik sambil berteriak, “Cari telinganya! Jangan sampai hilang!” Tetapi Yesus, dengan tenang, menyentuh Malkhus lalu berkata, “Sudah, cukup sampai di sini.” Malkhus sendiri bingung: satu detik ia berteriak kesakitan, detik berikutnya ia menggaruk telinganya yang sudah utuh kembali. Kalau ada yang paling kaget malam itu, mungkin bukan Petrus atau pasukan, melainkan Malkhus sendiri, karena ia datang untuk menangkap Yesus, tapi malah pulang dengan bonus telinga baru.

Malam itu sunyi, hanya diterangi cahaya obor dan bulan yang menggantung di langit. Taman Getsemani menjadi saksi bisu pergumulan terbesar dalam sejarah manusia. 

Yesus baru saja selesai berdoa dengan peluh yang menetes seperti darah, sementara para murid masih terhanyut dalam kantuk. Namun, ketenangan itu segera pecah oleh derap langkah pasukan yang datang dengan senjata, dipimpin oleh Yudas yang mengkhianati-Nya dengan sebuah ciuman.

Di tengah kekacauan itu, Petrus, murid yang penuh semangat sekaligus penuh emosi, tak tahan melihat Gurunya hendak ditangkap. Dengan pedang yang ia bawa, ia mengayunkan tebasan ke arah seorang hamba imam besar bernama Malkhus. 

Tebasan itu tidak mengenai kepala, tetapi telinga Malkhus terpotong. Darah mengalir, jeritan terdengar, dan suasana semakin ricuh.

Namun, di saat semua orang panik, Yesus melakukan sesuatu yang mengejutkan. Ia tidak melarikan diri, tidak pula membiarkan Malkhus menderita. Ia justru mengulurkan tangan-Nya, menyentuh telinga yang terluka itu, dan seketika Malkhus sembuh. 

Mujizat terakhir sebelum Ia disalibkan bukanlah membangkitkan orang mati, bukan pula menenangkan badai, melainkan menyembuhkan telinga seorang musuh yang datang untuk menangkap-Nya.

 

Menolong yang tak ada penolongnya

Malkhus bukanlah sahabat Yesus. Ia datang sebagai bagian dari rombongan yang hendak menangkap-Nya. Namun, justru di situlah keindahan kasih Kristus: Ia menolong bukan hanya mereka yang mengasihi-Nya, tetapi juga mereka yang membenci-Nya. 

Tidak ada seorang pun yang bisa menolong Malkhus malam itu—tidak tabib, tidak imam, bahkan tidak pasukan yang bersamanya. Tetapi Yesus, yang sebentar lagi akan diseret sebagai terdakwa, masih sempat menaruh belas kasihan pada seorang hamba yang terluka.

Kasih Yesus tidak pernah pilih-pilih. Ia tidak menunggu orang menjadi baik dulu baru ditolong. Ia menolong karena memang itulah hati-Nya. Mujizat terakhir ini menjadi simbol bahwa kasih Allah melampaui batas logika manusia: menolong musuh, mengasihi yang membenci, dan menyembuhkan yang datang untuk melukai.

 

Menyelamatkan Petrus dari menjadi terdakwa

Di balik tindakan itu, Yesus juga sedang melindungi Petrus. Bayangkan jika telinga Malkhus tetap terpotong dan darahnya menjadi bukti. Petrus bisa langsung ditangkap dan diadili sebagai penyerang. 

Tetapi Yesus tahu, jalan salib harus Ia jalani seorang diri. Ia tidak ingin Petrus menjadi terdakwa, karena hanya ada satu yang harus dituduh malam itu: Sang Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.

Dengan menyembuhkan Malkhus, Yesus menghapus bukti kejahatan Petrus. Seolah-olah Ia berkata, “Petrus, pedangmu tidak akan menyelamatkanmu. Aku yang akan menanggung semua tuduhan itu.” Inilah paradoks kasih: Yesus yang tidak bersalah memilih menjadi terdakwa, sementara Petrus yang bersalah justru dibebaskan.

 

Menjaga kelanjutan Injil

Lebih jauh lagi, mujizat ini juga menyelamatkan masa depan pemberitaan Injil. Yesus sudah mempercayakan kepada Petrus sebuah peran besar: “Di atas batu karang ini Aku akan membangun jemaat-Ku.” 

Jika Petrus malam itu ditangkap dan dijatuhi hukuman, bagaimana mungkin ia bisa menjadi pemimpin jemaat mula-mula? Bagaimana mungkin ia bisa berkhotbah pada hari Pentakosta dan membawa tiga ribu orang bertobat?

Yesus tahu rencana Allah jauh ke depan. Ia tidak hanya berpikir tentang malam itu, tetapi juga tentang generasi demi generasi yang akan mendengar Injil. Dengan menyembuhkan Malkhus, Yesus sedang memastikan bahwa Injil tidak terhenti, melainkan terus mengalir sampai ke ujung bumi.

 

Penutup

Mujizat terakhir Yesus di taman Getsemani adalah sebuah drama kasih yang penuh makna. Ia menolong yang tak ada penolongnya, melindungi murid-Nya dari tuduhan, dan menjaga kelanjutan Injil. Semua itu dilakukan dalam satu sentuhan sederhana, tetapi dengan dampak yang kekal.

Di saat manusia cenderung membalas kebencian dengan kebencian, Yesus justru menunjukkan jalan lain: kasih yang menyembuhkan. Dan mungkin, jika kita belajar dari-Nya, kita pun bisa menjadi “penyembuh telinga” bagi orang-orang di sekitar kita, bukan dengan mujizat fisik, tetapi dengan kata-kata yang membangun, sikap yang menguatkan, dan kasih yang melampaui logika.

Kasih Allah sering kali hadir dengan cara yang mengejutkan, bahkan di tengah tragedi. Mujizat terakhir Yesus bukan sekadar penyembuhan fisik, tetapi juga pesan rohani: kasih yang sejati tidak pernah berhenti, bahkan kepada musuh sekalipun.

 

 



Continue reading Devosi: Mujizat Terakhir di Taman Getsemani

Saturday, October 11, 2025

Tidak Semua Orang Dapat Kesempatan Berbuat Baik

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Tidak Semua Orang Dapat Kesempatan Berbuat Baik

Hidup ini penuh dengan kesempatan. Ada yang datang sekali, ada yang berulang, ada pula yang lewat begitu saja tanpa kita sadari. 

Salah satu kesempatan terbesar yang bisa dimiliki manusia adalah kesempatan untuk berbuat baik. 

Namun, tidak semua orang mendapatkannya,dan tidak semua orang yang mendapat kesempatan itu mampu menangkapnya.

Untuk mendalami hal di atas, bertepatan dengan momentum peringatan kisah Natal yang akan kita sambut, mari kita mengingat kisah sederhana di malam kelahiran Yesus.

Maria dan Yusuf, pasangan muda yang sedang menantikan kelahiran anak sulung mereka, berjalan jauh dari Nazaret ke Betlehem. 

Perjalanan panjang, tubuh lelah, hati cemas. Mereka hanya butuh satu hal: tempat singgah.

Tapi pintu-pintu penginapan tertutup. Pemilik penginapan mungkin punya alasan logis, misalnya kamar penuh, tamu sudah banyak, atau mungkin mereka sekadar tidak mau repot. 

Namun, mari kita jujur: siapa yang tahu bahwa di depan pintu mereka berdiri seorang perempuan yang akan melahirkan Tuhan, Sang Juruselamat dunia?

Di situlah letak ironi. Pemilik penginapan itu mungkin tidak jahat, hanya sibuk atau terlalu praktis. Tapi ia melewatkan kesempatan emas, kesempatan yang tidak akan pernah datang dua kali. 

Ia bisa saja tercatat dalam sejarah sebagai orang yang menolong Maria dan Yusuf, tetapi namanya hilang ditelan waktu. Yang tersisa hanyalah catatan singkat: “tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.”

Bukankah hidup kita sering serupa? Kita tidak selalu diberi kesempatan besar untuk menolong ribuan orang, tetapi setiap hari ada peluang kecil untuk berbuat baik: menyapa dengan ramah, mendengar dengan sabar, memberi sedikit dari yang kita punya. 

Masalahnya, kita sering terlalu sibuk, terlalu lelah, atau terlalu “penuh” dengan urusan sendiri. Akibatnya, kesempatan itu lewat begitu saja.

Alkitab mengingatkan, “Selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang” (Galatia 6:10). Kata “selama masih ada kesempatan” itu penting. Artinya, kesempatan bisa habis. 

Tidak semua orang akan selalu punya waktu, tenaga, atau bahkan hidup panjang untuk menebar kebaikan.

Maka, jangan menunggu momen spektakuler. Jangan menunggu sampai kita kaya raya, terkenal, atau punya panggung besar. 

Kesempatan berbuat baik sering datang dalam bentuk sederhana, misalnya seorang tetangga yang butuh ditemani, seorang anak yang butuh didengar, atau seorang sahabat yang butuh dikuatkan.

Dan siapa tahu, di balik kebaikan kecil yang kita lakukan, Tuhan sedang menulis sejarah besar. 

Pemilik penginapan mungkin menyesal jika ia tahu siapa yang ia tolak malam itu. Jangan sampai kita pun menyesal karena melewatkan kesempatan yang Tuhan titipkan hari ini.

Jadi, kalau ada kesempatan berbuat baik, jangan ditunda. Jangan menunggu besok. Karena tidak semua orang mendapat kesempatan itu, dan tidak semua kesempatan datang dua kali.

Ibrani 13:2: Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.



Continue reading Tidak Semua Orang Dapat Kesempatan Berbuat Baik