Saturday, June 7, 2025

Fenomena Meme Anomali Brainrot dan Kekhawatirannya Terhadap Kemunduran Mental Anak

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Di tengah arus deras digitalisasi dan budaya internet yang terus berkembang, muncul sebuah fenomena yang mencuri perhatian, baik karena keunikannya maupun dampak psikososial yang ditimbulkannya: Anomali Brainrot. 

Istilah ini merujuk pada jenis konten meme yang sengaja menampilkan absurditas, kekacauan visual, serta ironi ekstrem yang tak jarang mengaburkan batas antara humor dan gangguan nalar.

Meme Brainrot atau "pembusukan otak" tidak sekadar lelucon digital biasa. Ia hadir dalam rupa video pendek dengan editan berlebihan, suara distorsi, potongan budaya populer yang diacak, dan sering kali sarat nihilisme. 

Anak-anak dan remaja menjadi konsumen utama dari konten ini, yang tersebar luas di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts. 

Dalam waktu singkat, meme jenis ini mampu menyedot atensi secara instan dan membentuk semacam cultural addiction terhadap pola pikir yang dangkal namun menghibur.


Pertanyaannya: 

apakah ini sekadar bentuk ekspresi kreativitas Gen Z dan Alpha? Ataukah ini tanda dari kemunduran mental yang perlahan, tapi pasti?


Kekhawatiran terbesar bukan hanya pada kontennya yang membingungkan atau nyaris tak bermakna. Yang lebih mengkhawatirkan adalah saat otak-otak muda mulai terprogram untuk hanya merespons hal-hal instan, dangkal, dan tidak sistematis. 


Kemampuan berpikir kritis, mengolah emosi, serta membangun narasi logis pelan-pelan tergeser oleh budaya scroll and forget, laugh and move on


Anak-anak yang dulunya menikmati membaca cerita, membangun dunia imajinasi, atau berdiskusi, kini lebih sering larut dalam video 7 detik dengan suara aneh dan teks berantakan.

Fenomena ini, jika tak dikawal, dapat mengikis daya tahan mental anak dalam menghadapi realitas. Mereka menjadi cepat bosan terhadap hal-hal yang memerlukan pemrosesan mendalam. 

Mereka kesulitan memahami konteks, apalagi merumuskan makna di balik suatu peristiwa. Lebih jauh lagi, budaya brainrot ini bisa menumbuhkan sikap sinis terhadap hidup dan menurunkan kepekaan terhadap nilai-nilai luhur seperti empati, tanggung jawab, dan kesadaran moral.

Namun, bukan berarti kita harus langsung memusuhi internet atau kreativitas daring. Yang dibutuhkan adalah literasi digital yang kuat, pengawasan yang bijak, dan pendampingan yang penuh kasih. 

Anak-anak perlu dikenalkan kembali pada keindahan berpikir, merasakan, dan mencipta secara utuh. Meme boleh saja lucu, tapi hidup bukan sekadar lelucon viral. 


Kita perlu membimbing generasi ini agar tidak hanya menjadi consumers dari kekacauan budaya digital, tapi juga creators dari masa depan yang sehat secara mental dan bernalar kuat.

0 comments:

Post a Comment