Saturday, January 9, 2021

,

Mengejar Kehidupan yang Bermakna dan Bermartabat

 

grefer pollo
oleh: Grefer E. D. Pollo, S.P., M.Pd

Artikel ini akan menolong Anda untuk mempertimbangkan pentingnya sebuah refleksi kehidupan dan memikirkan kembali perlukah melakukan kompetisi terhadap siswa.

Orangtua dan guru perlu memahami tingkatan perkembangan dalam diri anak. Beberapa rentang usia berikut dapat menjadi ide yang menarik untuk direnungkan. Anak usia 0-6 tahun akan membentuk dasar kepribadian dan sikap-sikap penting dalam diri mereka misalnya, kepercayaan diri. 

Di usia 7-23 tahun mereka akan membentuk sikap industri dan kreativitas dalam diri yang akan dituai setelah mereka memasuki dunia kerja (rentang usia 25 – 60 tahun). Di usia 50-an mereka akan memulai sebuah refleksi kehidupan untuk menemukan makna hidup yang telah dilalui dan dibentuknya.


refleksi kehidupan

Refleksi ini akan menuntun dan memastikan mereka untuk siap menghadapi akhir perjalanan hidupnya sambil tetap menjadi penasihat yang bijaksana dan efektif bagi generasi di bawahnya. 

Alangkah indahnya jika hal itu terjadi sebagaimana seharusnya itu terjadi. Namun, bagaimana jika tidak demikian? Sebuah amsal pernah berkata: “Mahkota orang-orangtua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.” (Amsal 17:6).

Untuk mempersiapkan kehidupan yang bermakna dan bermartabat dari seorang anak, maka orangtua juga perlu memperhatikan tiga lingkungan di mana seorang anak hidup dan berinteraksi setiap harinya, yakni keluarga (orangtua), gereja, dan sekolah. 

Oleh karena itu, seharusnyalah keluarga (orangtua), gereja, dan sekolah merupakan sebuah tim kerja yang solid dan efektif dalam hal pendidikan anak. Ibarat tiga batu yang dibutuhkan untuk menaruh periuk saat memasak. Apa yang terjadi dalam tiga lingkungan ini sangat berpengaruh dalam hal kekekalan anak itu. 

Konsep pendidikan yang jelas dan tegas akan sangat membantu bagi pembentukan jiwa dan roh anak itu untuk masa nanti sebab, akan turut mempengaruhi keputusan apakah anak tersebut akan mengasihi dunia atau Tuhan selama hidupnya.


Perlukah Berkompetisi?

Sekolah bukan mesin tenaga kerja. Seorang murid bukanlah mesin pekerjaan atau mesin uang. 

Sekolah bertanggung jawab dan berperan penting dalam menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan untuk menebus budaya hidup bagi Tuhan, melestarikan kebenaran, dan menyelenggarakan kehidupan yang holistis atau kudus.

Sekolah adalah tempat di mana kurikulum kehidupan Allah berlaku dan dipraktekkan sehingga menghasilkan pribadi-pribadi yang mengenal dan mengasihi Tuhan.

Oleh sebab itu, orangtua perlu memahami dan mengenal budaya kurikulum yang digunakan oleh sekolah sebelum memercayakan anaknya ke sekolah tersebut. 

Beberapa sekolah membangun budaya menjunjung tinggi keunggulan kognisi. Yang lainnya lebih mementingkan karakter. Yang lain nilai religiusitas. Yang lain mengupayakan pendidikan yang holistis, memproses pembelajaran yang bermakna, dan menerapkan pendisiplinan yang bermartabat. 

Namun, ada juga yang menyiapkan lulusannya untuk mampu bersaing dalam dunia pekerjaan masa depan. Para muridnya dilatih dengan berbagai proses pembelajaran yang melibatkan kompetisi yang diusahakan berlangsung secara sportif dan edukatif sehingga dapat mendidik para muridnya. Apakah konsep ini berhasil?

Seseorang pernah bertanya begini: siapakah yang mengajarkan ikan berenang? Siapakah yang mengajarkan tupai melompat? Mungkinkah ikan berlomba melompat melawan tupai dan tupai mengikuti perlombaan renang melawan ikan? 

Jika Anda pernah mengikuti sebuah kompetisi, entahkah itu olahraga, seni, edukasi, dan sebagainya, maka Anda tahu betul bahwa sebuah kompetisi selalu menghasilkan seorang atau sekelompok pemenang dengan pestanya dan pihak lain yang kalah dengan kekecewaannya. 

Akibat kalah dan kecewa, mereka lalu berupaya untuk kembali menyiapkan pembalasannya. Apakah Anda setuju bahwa ini adalah sesuatu yang sehat bagi hidup ini? Apakah kompetisi dibutuhkan di sekolah?

Dalam Alkitab, Anda dan saya belajar mengenai kerja sama tim: yang kuat menopang yang lemah. Kerja sama tim dalam sekolah akan mendidik para murid untuk belajar saling mendukung dan bekerja sama demi menyediakan hal-hal yang perlu bagi kehidupan yang efektif dan berdampak. 

Allah tidak pernah merancang petarung tunggal untuk mengalahkan dunia. Allah merancang keluarga dan gereja. Keluarga dan gereja bukan pribadi tunggal melainkan sebuah tim shalom. Sebab, Anda dan saya ibarat satu tubuh tapi banyak anggota.

Setiap anggota dalam satu tubuh memiliki keunikan masing-masing. Tidak ada yang sama. Setiap anggota berbeda sehingga dapat saling melengkapi. 

Sesuatu yang sama tidak mungkin saling melengkapi. Karena berbeda-beda maka anggota-anggota dalam tubuh tidak dapat dikompetisikan.

Mungkinkah para murid yang berasal dari keluarga yang berbeda, budaya yang berbeda, asal sekolah yang berbeda, dan sebagainya dikompetisikan? 

Mungkinkah anak-anak meski dalam satu keluarga tapi memiliki sifat yang berbeda dan kemampuan atau potensi atau talenta yang berbeda dibandingkan oleh orangtuanya? 



0 comments:

Post a Comment