Genre: Narasi Bergaya
Novelis, Inspiratif, Reflektif
Setting: Kampung kecil di tanah Timor, masa kini dengan kilas balik sejarah
Di sebuah kampung
kecil yang terpencil di dataran kering Timor, di antara ladang jagung dan pohon
lontar yang menjulang gagah menantang langit biru, hiduplah seorang perempuan
bernama Maria Ema. Orang kampung menyapanya hanya sebagai "Ema" – bukan
hanya karena ia sudah menjadi ibu, tapi karena namanya berarti sesuatu yang
lebih dalam: empu.
Dalam bahasa lama,
"empu" berarti yang ahli, yang punya kuasa, yang berpengaruh. Dan
dalam diri Ema, semua itu menyatu seperti adonan jagung dan kelapa di atas
tungku batu. Dia bukan sekadar ibu rumah tangga, bukan pula hanya penanam
ladang atau penunggu dapur. Ema adalah tiang dari rumah yang tidak tampak. Ia
berdiri di tengah badai, melindungi keluarganya dari ambruk. Dan orang kampung
tahu itu, walau mereka jarang mengakuinya.
Anak bungsunya, Tius,
pernah bertanya: “Mama, perempuan itu sebenarnya apa?”
Ema tersenyum sambil
menganyam daun lontar. “Perempuan itu... disebut Ezer Kenegdo dalam kitab
suci.”
“Ezer apa?”
“Ezer Kenegdo,”
ulangnya pelan. “Itu bahasa tua dari kitab, artinya ‘penolong yang sepadan’. Lebih
pas lagi teman penolong laki-laki yang berlawanan dengan laki-laki. Bukan
pembantu, bukan bawahan. Tapi rekan seperjuangan. Seperti dua pasukan di medan
perang, saling lindungi punggung.”
Tius hanya mengangguk,
walau wajahnya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya mengerti. Tapi Ema tahu,
suatu saat anak lelaki itu akan paham. Mungkin saat dia terluka, atau saat dia
sadar bahwa kekuatan sejati kadang datang dalam bentuk tangan lembut yang tak pernah
menyerah.
Namun tidak semua
orang di kampung berpikir seperti Ema. Tetua-tetua adat masih memegang teguh
satu hal: laki-laki bicara, perempuan diam. Bahkan di gereja, suara perempuan
hanya boleh terdengar saat menyanyi, bukan saat memberi pendapat. Ema pernah
mencoba berbicara dalam rapat kampung yang dilakukan di gedung gereja tentang
hak atas air bersih untuk keluarga-keluarga janda.
“Tutup mulut, Ema! Di
kampung ini, perempuan tidak atur perkara umum!” bentak salah satu tetua.
Ema menunduk. Tapi
hatinya tidak tunduk. Ia tahu, suara perempuan yang diam akan jadi beban yang
ditanggung anak-anak mereka kelak. Jadi malam itu, ia mulai menulis
diam-diam—di belakang buku catatan belanja, di sisa-sisa kertas bungkus garam.
Ia menulis mimpi, strategi, dan rencana. Dan diam-diam pula, anak-anak muda
perempuan mulai mendekat padanya.
“Ema, ajar sa beta
cara hitung uang kelompok.”
“Ema, beta pung laki
minum terus. Karmana beta bisa jaga anak?”
Ema tidak menjawab
dengan ceramah. Ia menjawab dengan waktu, dengan perhatian, dengan kehadiran,
dan tentunya dalam doa kepada Tuhan Yesus.
Di Alkitab, perempuan
pertama diciptakan bukan dari debu, seperti laki-laki. Tapi dari tulang rusuk –
dekat dari hati, di bawah lengan untuk dilindungi, di sisi untuk berjalan
bersama. Tapi kemudian datang musim gugur di taman. Sebuah kejatuhan, dan sejak
itu, perempuan sering dilihat dengan kacamata gelap. Di dunia barat,
berabad-abad lamanya perempuan hanya dianggap sebagai penurut, pendiam,
penghias ruangan. Mereka dilatih untuk tersenyum ketika hati mereka berdarah.
Namun Alkitab
menyimpan kisah lain. Amsal 31 menggambarkan seorang perempuan tangguh. Ia
bangun sebelum fajar, mengatur rumahnya, membeli ladang, bekerja dengan tangan
terampil, menolong orang miskin, dan berkata bijak. “Perempuan kuat” bukanlah
kontradiksi; itu definisi.
Ema hidup seperti itu.
Ketika suaminya sakit bertahun-tahun, Ema bukan hanya istri. Ia jadi kepala
keluarga, pengambil keputusan, penyambung nyawa. Orang bilang dia terlalu
keras, terlalu cerewet. Tapi bila tidak begitu, rumah itu sudah roboh sejak
lama.
Di dapur yang penuh
asap, Ema merenung tentang kisah di Kejadian 3. Tentang Hawa, yang digoda dan
dianggap sumber kejatuhan. Tapi Ema pernah membaca bagian yang menarik – kata
yang digunakan saat Tuhan berkata, “keinginanmu akan memerintah atas suamimu,”
itu sama dengan kata dalam Kejadian 4, ketika Tuhan berkata kepada Kain bahwa
“dosa mengintip di depan pintu dan ingin menguasaimu.”
Itu bukan tentang
cinta. Itu tentang dominasi. Perempuan dituduh ingin menguasai, tapi
sesungguhnya itu pergulatan batin antara saling mencintai atau saling
mengalahkan. Ema tahu, cinta yang sejati bukan tentang siapa yang paling
berkuasa, tapi siapa yang paling berani bertahan. "Cinta
sejati bukanlah tentang siapa yang memiliki kendali, melainkan tentang siapa
yang memiliki keberanian untuk tetap bertahan meski menghadapi tantangan
terbesar."
Twistnya datang saat
sebuah bencana alam mengguncang kampung—tanah longsor menutup sumber air utama.
Para tetua bingung. Semua pria sibuk berdebat. Tapi justru kelompok perempuan
yang dipimpin Ema bergerak duluan. Mereka naik ke hutan, mencari mata air baru,
dan membangun jalur bambu untuk menyalurkan air ke rumah-rumah.
Saat air mengalir
kembali, anak-anak melompat kegirangan. Dan para tetua hanya bisa berdiri diam,
malu bercampur kagum. Satu demi satu, mereka mulai datang ke rumah Ema.
“Ema… boleh kita
dengar lu pung ide soal kebun desa?”
Untuk pertama kalinya,
suara perempuan didengar, bukan hanya gema. Ema tidak pernah membalas dendam.
Ia hanya tersenyum. Ia tahu, perempuan bukan dilahirkan untuk diam, tapi untuk
berdiri sejajar. Seperti tulang rusuk—bukan di atas, bukan di bawah. Di sisi.
Di kampung, Ema bukan
tokoh penting. Ia tak duduk dalam sidang gereja, tak punya nama di papan RT.
Tapi ketika anak-anaknya berbicara tentang kekuatan, mereka selalu menyebut:
Mama.
Dan jika suatu saat Tius
jadi pemimpin, ia akan tahu bahwa kekuatan yang membentuknya bukan datang dari
rotan atau teriakan. Tapi dari tangan tua yang mengusap keningnya saat demam.
Dari doa lirih seorang perempuan kuat di ujung malam.
Itulah perempuan. Ia
disebut Ezer Kenegdo. Ia disebut empu. Ia disebut prajurit. Dan ia adalah akar
yang tak pernah terlihat, tapi menopang seluruh pohon.
Tirai bayangan
tertutup. Senja jatuh perlahan di kampung. Di kejauhan, suara lesung menumbuk
jagung berpadu dengan nyanyian Ema yang tak pernah benar-benar berhenti.
0 comments:
Post a Comment