Naskah Drama: Nyanyian
Sorgawi
Prolog Pembuka
(Lampu sorot perlahan menyinari panggung. Musik lembut mengalun. Seorang
narator/kakak berdiri di depan panggung.)
Narator/Kakak:
“Saudara-saudara, tahukah kalian bahwa sorga bersukacita karena satu orang
berdosa bertobat? Tuhan Yesus datang ke dunia bukan untuk menghukum, melainkan
untuk menyelamatkan. Namun manusia sering kali lebih mencintai kebiasaan yang
menyakiti hati Tuhan. Hari ini, mari kita melihat gambaran nyata kehidupan
kita… dan bagaimana kasih Tuhan selalu rindu memulihkan.”
Tarian Sukacita
(Musik: Hai Dunia Gembiralah. Anak-anak menari dengan penuh sukacita, menggambarkan kedatangan Yesus
ke dunia membawa keselamatan.)
Prolog Adegan Kebiasaan Buruk
Narator/Kakak: “Namun
di balik sukacita itu, manusia sering terjebak dalam kebiasaan yang tidak
berkenan. Mereka lebih memilih kesenangan dunia daripada mendengar suara
Tuhan.”
Adegan 1 – Gaya Hidup Pamer
(5 anak masuk dengan pakaian gaul, gaya sok dewasa. Mereka tertawa,
pamer barang-barang, dan memaksa orang lain ikut bergaya sama. Anak lain
terlihat sedih.)
Anak 1: “Kalau mau gabung sama kita, harus punya barang keren seeprti
ini! Lihat, sepatu baru, merek luar negeri. Mahal sekali!”
Anak 2: “Iya, kalau tidak, jangan harap bisa jadi teman kita. Kita cuma
mau berteman sama yang levelnya sama seperti kita.”
Anak 3 (ikut pamer): “Betul! Tas aku juga baru, harganya jutaan. Kalau
kalian tidak punya, lebih baik pergi.”
Anak 4 (ragu-ragu, ikut terbawa): “o, begitu? Tapi… apa harus begitu?
Bukannya teman itu yang penting bisa saling dukung?”
Anak 5 (sedih, menunduk): “Tapi aku tidak punya barang seperti kalian.
Aku cuma pakai yang sederhana. Jadi… aku tidak bisa jadi teman kalian?”
(Anak 1 dan Anak 2 tertawa meremehkan.)
Anak 1: “Hahaha, jelas tidak bisa! Kalau mau gabung, harus sama-sama
keren. Kalau tidak, hanya akan permalukan kelompok kita.”
Anak 2: “Betul. Kita ini geng gaul, bukan geng murahan.”
(Anak 5 semakin sedih, wajahnya tertunduk. Anak 4 mulai merasa tidak
nyaman.)
Anak 4 (pelan, mulai sadar): “Tapi… kenapa kita harus menilai orang dari
barang? Bukannya teman itu dinilai dari hati, bukan dari apa yang dipakai?”
pernah seorang kakak sekolah minggu bilang: Seorang sahabat menaruh kasih
setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran.
Anak 3 (menyela): “Ah, kamu sok bijak! Dunia sekarang butuh gaya. Kalau tidak,
tidak ada yang peduli sama kita.”
(Anak 5 meneteskan air mata. Suasana hening sejenak. Lalu masuk seorang
Kakak/Narator.)
Kakak/Narator: “Adik-adikku… apakah kalian tahu? Tuhan tidak pernah
melihat manusia dari barang yang dimiliki. Tuhan melihat hati. Kalian boleh
punya barang bagus, tapi kalau hati kalian sombong, itu menyakiti hati Tuhan.
Dan teman sejati bukanlah yang menilai dari penampilan, melainkan yang menerima
apa adanya.”
(Anak 4 menunduk, mulai merasa bersalah. Anak 1 dan Anak 2 saling
pandang, mulai goyah.)
Anak 5 (dengan suara lirih): “Aku cuma ingin punya teman… bukan ingin
dipameri barang mahal atau direndahkan.”
Kakak/Narator: “Lihatlah, betapa sedihnya dia. Apakah kalian mau terus
membuat orang lain merasa tidak berharga? Ingat, sorga bersukacita bukan karena
barang, tapi karena hati yang bertobat.”
(Anak-anak mulai terdiam. Musik lembut masuk. Mereka perlahan menunduk,
tanda mulai sadar.)
Adegan 2 – Anak dan Orang Tua
(Seorang anak duduk di kursi, sibuk memainkan HP. Musik game terdengar
samar. Orang tua masuk dengan wajah penuh perhatian.)
Orang Tua: “Nak,
dengarkan sebentar. Jangan terus main HP, itu tidak baik. Matamu bisa rusak,
waktumu habis, dan kamu jadi lupa belajar.”
Anak: (tanpa
menoleh, masih fokus ke layar) “Ah, biar saja. Aku lagi asik, jangan ganggu!”
Orang Tua:
“Setiap kali Bapak dan Mama bicara, kamu selalu jawab begitu. Kamu tahu tidak,
HP itu bisa bikin kamu lupa segalanya. Kamu bahkan tidak pernah bantu di rumah
lagi.”
Anak: (kesal,
masih main) “Bapak dan Mama, kenapa harus ribut terus? Kan cuma main sebentar.
Teman-teman aku juga main. Kalau aku tidak ikut, nanti ketinggalan.”
Orang Tua:
(suara mulai meninggi, kecewa) “Sebentar? Dari tadi pagi kamu sudah pegang HP.
Kamu tidak makan bersama, tidak belajar, bahkan tidak jawab ketika dipanggil.
Apa kamu mau hidupmu hanya di layar itu?”
Anak: (menarik
napas, masih keras kepala) “HP ini penting buat aku! Aku bisa chatting, main
game, lihat video. Itu bikin aku senang. Kenapa orang tua tidak mengerti?”
Orang Tua:
(menahan emosi, suara bergetar) “Senang? Tapi apakah itu benar-benar membuatmu
bahagia? Lihat, kamu jadi mudah marah, tidak peduli dengan keluarga, bahkan
lupa berdoa. Nak… Bapak dan Mama hanya ingin kamu hidup sehat dan dekat dengan
Tuhan.”
Anak: (diam
sejenak, lalu menjawab ketus) “Sudahlah, aku tidak mau dengar ceramah. Aku lagi
sibuk!”
(Orang tua terdiam, menatap anak dengan mata berkaca-kaca. Musik lembut
mulai masuk. Orang tua perlahan berdiri, berjalan keluar panggung dengan wajah
sedih.)
Orang Tua (sambil berjalan keluar, lirih): “Ya Tuhan… tolonglah anakku. Dia tidak sadar
bahwa apa yang dia lakukan menjauhkan dirinya dari kasih-Mu.”
(Anak tetap duduk, tapi wajahnya mulai terlihat ragu. Ia menatap HP,
lalu menunduk. Ada jeda hening, tanda mulai muncul rasa bersalah.)
Adegan 3 – Bullying
(Lima anak masuk. Tiga anak mulai mengejek dan mendorong dua temannya.
Suasana gaduh.)
Anak 3: “Lihat
mereka, lemah sekali! Hahaha! Jalan saja pelan, kayak siput!”
Anak 4: “Ayo
kita bikin lagi, biar kapok! Kalau tidak diganggu, mereka tidak akan belajar
jadi kuat.”
Anak 7 (korban, menangis): “Tolong… jangan dorong aku lagi. Aku tidak salah apa-apa.”
Anak 8 (korban lain, gemetar): “Iya… kenapa kalian selalu ganggu kami? Kami cuma mau main tenang.”
Anak 3: “Tenang?
Hahaha! Dunia ini keras, bro. Kalau kalian lemah, kalian pantas ditertawakan.”
Anak 4: “Betul!
Kalau mau jadi teman kita, harus berani. Kalau tidak, ya jadi bahan ejekan.”
Anak 7: “Tapi…
kenapa harus begitu? Bukannya teman itu saling jaga, bukan saling jatuhkan?”
Anak 8: “Kami
juga ingin diterima… bukan ditolak.”
(Anak 9, salah satu dari kelompok pembully, mulai ragu.)
Anak 9: “Hei…
tapi aku jadi tidak enak. Lihat mereka menangis.
Apa kita tidak keterlaluan?”
Anak 3: “Ah,
jangan sok lembek! Kita ini geng kuat. Kalau tidak bully, tidak seru.”
(Korban semakin menangis. Suasana hening sejenak. Musik lembut masuk.
Narator/Kakak muncul.)
Kakak/Narator:
“Adik-adikku… apakah kalian sadar? Kata-kata dan perbuatan kalian bisa melukai
hati orang lain lebih dalam daripada luka fisik. Tuhan tidak pernah senang
melihat anak-anak-Nya saling merendahkan. Ingatlah, setiap orang berharga di
mata Tuhan.”
(Anak 9 menunduk, merasa bersalah. Anak 3 dan Anak 4 mulai terdiam.
Korban masih menangis, tapi mulai merasa diperhatikan.)
Adegan 4 – Merokok dan Memalak
(Tiga anak duduk di area sekolah, merokok dengan gaya sok hebat. Dua
anak lain datang, terlihat kaget.)
Anak 5: “Ayo,
coba! Kalau tidak, kalian pengecut! Semua anak keren di sekolah ini merokok.”
Anak 6: “Dan
jangan lupa, kasih uang jajan kalian ke kita! Kalau tidak, kalian tidak aman di
sekolah ini.”
Anak 10 (korban, takut): “Tapi… kami tidak mau merokok. Itu tidak baik buat kesehatan.”
Anak 11 (korban lain, gemetar): “Iya… kami juga tidak punya uang banyak. Tolong jangan paksa kami.”
Anak 5: “Halah,
alasan! Kalau tidak ikut, kalian bakal dijauhi. Mau jadi pecundang seumur
hidup?”
Anak 6: “Cepat
kasih uang! Kalau tidak, kami bikin kalian menyesal.”
(Anak 10 dan Anak 11 saling pandang, lalu dengan terpaksa menyerahkan
uang. Mereka menangis.)
Anak 10: “Kenapa
kalian tega sekali? Kami cuma mau sekolah dengan tenang.”
Anak 11:
“Merokok itu dosa, merusak tubuh. Kenapa kalian bangga dengan hal yang
merusak?”
(Anak 12, salah satu dari geng perokok, mulai ragu.)
Anak 12: “Hei…
sebenarnya aku juga tidak suka. Aku cuma ikut-ikutan. Tapi… kenapa aku harus
terus begini?”
Anak 5: “Diam!
Jangan bikin geng kita lemah. Kita harus tunjukkan kalau kita berkuasa.”
(Suasana tegang. Korban menangis. Kakak/Narator masuk, menegur dengan
suara tegas namun penuh kasih.)
Kakak/Narator:
“Anak-anak… tubuh kalian adalah bait Allah. Merokok, memalak, dan memaksa teman
bukanlah tanda keberanian, melainkan tanda kelemahan. Kalian tidak perlu
merusak diri untuk terlihat hebat. Tuhan mengasihi kalian, dan Dia ingin kalian
hidup benar.”
(Anak 12 menunduk, mulai sadar. Anak 10 dan Anak 11 merasa lega. Anak 5
dan Anak 6 terdiam, mulai goyah.)
Adegan Akibat
(Lampu redup. Musik sedih. Anak-anak duduk terpisah, wajah muram. Mereka
baru saja mengalami akibat dari perbuatan masing-masing: dijauhi teman, dihukum
sekolah, dimarahi orang tua. Suasana hening.)
Anak 1: “Kenapa
semua menjauh dariku? Dulu aku merasa hebat dengan barang-barangku… sekarang
aku sendirian. Ternyata pamer hanya membuat orang lain sakit hati.”
Anak 2: “Aku
menyesal… semua ini salah. Aku pikir main HP terus bisa bikin aku bahagia. Tapi
sekarang, orang tuaku kecewa, teman-temanku marah. Aku kehilangan semuanya.”
Anak 3: “Tuhan,
ampuni aku… aku sudah merendahkan teman-temanku, menertawakan mereka. Aku kira
itu membuatku kuat. Tapi sekarang aku sadar, aku hanya melukai hati mereka… dan
hati-Mu.”
Anak 4:
(menunduk, suara bergetar) “Aku juga salah… aku ikut-ikutan merokok, padahal
aku tahu itu merusak tubuhku. Sekarang aku diskors dari sekolah. Aku malu pada
diriku sendiri.”
Anak 5:
(menangis) “Aku memalak teman-temanku… aku kira itu membuatku berkuasa. Tapi
sekarang semua menjauhiku. Aku merasa kosong… tidak ada yang mau dekat denganku
lagi.”
(Suasana hening. Anak-anak saling pandang, wajah penuh penyesalan. Musik
lembut mulai masuk. Seorang Kakak/Narator masuk ke panggung, mendekati mereka
dengan penuh kasih.)
Kakak/Narator:
“Adik-adikku… lihatlah akibat dari perbuatan kalian. Pamer, melawan orang tua,
membully, merokok, dan memalak… semua itu hanya membawa kesedihan. Tapi jangan
putus asa. Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan kalian. Dia selalu membuka
tangan-Nya untuk menerima kalian kembali.”
Anak 1: “Apakah
Tuhan masih mau menerima aku, Kak? Aku sudah terlalu banyak salah.”
Kakak/Narator:
“Tentu, Nak. Tuhan mengasihi kalian apa adanya. Dia tidak melihat masa lalu
kalian, tetapi hati yang mau bertobat.”
Anak 2: “Kalau
begitu… aku ingin berubah. Aku tidak mau lagi sibuk dengan hal-hal yang
menjauhkan aku dari keluarga dan Tuhan.”
Anak 3: “Aku
juga… aku ingin minta maaf pada teman-temanku. Aku tidak mau lagi menyakiti
mereka.”
Anak 4: “Aku
ingin berhenti merokok. Aku ingin menjaga tubuhku, karena tubuhku adalah bait
Allah.”
Anak 5: “Aku
ingin berhenti memalak. Aku ingin belajar memberi, bukan mengambil.”
(Kakak/Narator tersenyum, lalu mengajak mereka berdiri. Mereka saling
berpegangan tangan.)
Kakak/Narator:
“Bagus sekali. Mari kita berdoa bersama. Tuhan, inilah anak-anak-Mu. Mereka
menyesal dan ingin kembali. Pulihkan hati mereka, jadikan mereka terang bagi
teman-temannya.”
(Anak-anak menunduk, berdoa bersama. Musik berubah menjadi lembut penuh
harapan. Lampu perlahan terang kembali.)
Adegan Pertobatan
(Seorang kakak masuk, mendekati mereka dengan penuh kasih. Lampu
panggung perlahan terang, musik lembut mengalun.)
Kakak:
“Adik-adikku, jangan putus asa. Tuhan Yesus mengasihi kalian. Dia rindu kalian
kembali. Mari kita berdoa bersama.”
(Kakak menumpangkan tangan. Anak-anak menunduk, menangis. Suasana hening
penuh haru.)
Anak 1: “Aku
merasa sangat bersalah… aku sudah menyakiti hati teman-temanku dengan
kesombongan. Tuhan, ampuni aku.”
Anak 2: “Aku
juga… aku terlalu sibuk dengan HP sampai melupakan orang tuaku. Aku ingin
berubah, Kak.”
Anak 3: “Aku
sudah membully teman-temanku. Aku kira itu membuatku hebat. Tapi sekarang aku
sadar, aku hanya melukai hati mereka. Tuhan, tolong aku.”
Anak 4: “Aku
ikut merokok dan memaksa teman-temanku. Aku tahu itu salah. Aku ingin berhenti
dan hidup benar.”
Anak 5: “Aku
memalak teman-temanku… aku malu sekali. Aku ingin belajar memberi, bukan
mengambil.”
(Kakak tersenyum, menatap mereka dengan penuh kasih.)
Kakak:
“Adik-adikku, kalian sudah mengakui kesalahan kalian. Itulah langkah pertama
menuju pertobatan. Ingatlah, Tuhan tidak pernah menolak hati yang hancur dan
rendah. Dia selalu siap mengampuni.”
(Kakak berdoa dengan suara lembut.)
Kakak: “Tuhan
Yesus, inilah anak-anak-Mu. Mereka menyesal dan ingin kembali kepada-Mu.
Pulihkan hati mereka, ubahkan hidup mereka, dan jadikan mereka terang bagi
teman-temannya. Biarlah kasih-Mu mengalir dalam hidup mereka.”
(Anak-anak menangis, lalu perlahan berdiri bersama. Mereka saling
berpegangan tangan, wajah penuh harapan.)
Anak 1: “Terima
kasih, Tuhan… aku merasa damai sekarang.”
Anak 2: “Aku
ingin mulai menghargai orang tuaku dan mendengarkan mereka.”
Anak 3: “Aku
ingin meminta maaf pada teman-temanku dan belajar mengasihi.”
Anak 4: “Aku
ingin menjaga tubuhku dan hidup benar di hadapan Tuhan.”
Anak 5: “Aku
ingin berhenti menyakiti orang lain. Aku ingin jadi sahabat yang baik.”
(Kakak merangkul mereka. Musik berubah menjadi penuh sukacita. Lampu
panggung semakin terang.)
Kakak: “Bagus
sekali. Inilah sukacita sorga. Satu orang berdosa bertobat, sorga bersukacita.
Mari kita hidup dalam kasih Tuhan Yesus.”
(Semua berdiri bersama, saling berpegangan tangan. Mereka menatap ke
atas dengan wajah penuh syukur.)
Prolog Penutup
Narator/Kakak:
“Beginilah kasih Tuhan. Walaupun manusia jatuh dalam dosa, Tuhan selalu membuka
tangan-Nya. Sorga bersukacita karena satu orang berdosa bertobat. Mari kita
hidup menghargai keselamatan yang telah diberikan Yesus Kristus.”
Penutup – Nyanyian
(Semua pemain berdiri bersama, berpegangan tangan. Musik: Terima Kasih
Tuhan. Mereka menyanyi dengan
penuh sukacita.)
0 comments:
Post a Comment