Cinta akan
menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah
jalan.
Namanya Ananta dan Dayita. Mereka menikah bukan karena cocok hobi, bukan
karena sama-sama suka kopi, tapi karena sama-sama percaya bahwa Tuhan
mempertemukan mereka bukan untuk bersenang-senang atau mengejar ambisi duniawi,
tapi untuk bertumbuh, ya , bertumbuh.
“Pernikahan itu sekolah pengampunan,” kata Ananta suatu pagi sambil
menyeduh ramuan jahe hangat yang terlalu manis karena Dayita lupa takarannya.
Dayita tertawa. “Kalau begitu, kamu sudah lulus belum?”
Ananta mengangkat alis. “Baru semester dua. Tapi sudah banyak remedial.”
Mereka tahu, cinta bukan sekadar rasa manis di awal, tapi bekal di tengah perjalanan. Cinta yang sejati tidak membunuhmu di tengah jalan, tapi menyiapkan roti dan air saat kamu lelah.
Karena, cinta
akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah
jalan. Seperti
Tuhan yang memberi manna di padang gurun, bukan karena umat-Nya sempurna, tapi
karena kasih setia-Nya.
Pernikahan mereka bukan tanpa tantangan. Bukan tanpa air mata. Bukan tanpa marah, dan kecewa. Mereka bertemu setiap hari, 24 jam, dengan orang yang sama. Tidak bisa kabur.
Tidak bisa ganti channel. Dan komunikasi mereka sudah
melewati lima tingkatan: dari basa-basi, bicara soal orang lain, sampai bicara
tentang luka terdalam dan mimpi yang belum berani diucapkan.
“Kalau suami setia pada istrinya,” kata Ananta sambil membaca buku
filsafat, “katanya dia bisa jadi filsuf.”
Dayita menyahut, “Kalau istri setia pada suaminya, dia bisa jadi...
tukang sabar.”
“Hahahaaaaaa,….”, Ananta menyambung, “Ada yang berkata: Suaminya work,
istrinya shop”.
Dayita merespon dengan mengangkat alis sambil senyum kecil sembari sedikit
tertawa.
Mereka tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada kesadaran: dua menjadi satu bukan berarti hilang identitas, tapi belajar berjalan bersama.
Seperti tulang
rusuk yang tidak di kepala untuk memimpin, tidak di kaki untuk diinjak, tapi di
samping untuk berjalan bersama dan melindungi hati.
Mereka sadar, kasih bukan apa yang mereka simpan tetapi apa yang mereka
berikan.
Ananta sering merenung tentang Ishak dan Ribka. Mereka tidak pacaran, tidak tunangan, bahkan tidak kenal. Tapi mereka dijodohkan oleh hamba yang takut Tuhan.
Dan, tetap setia sampai akhir. Ishak mendoakan istrinya yang
mandul. Mereka punya anak kembar. Mereka dibesarkan dengan latar belakang yang
berbeda, tapi tetap satu pernikahan.
“Pernikahan bukan soal cocok,” kata Ananta, “tapi soal janji.”
Dayita mengangguk. “Dan soal siapa yang pegang perjanjian.”
Masalah datang dan pergi. Kadang keadaan tidak berubah. Tapi mereka belajar bahwa Tuhan tidak selalu mengubah situasi.
Justru, lebih sering Dia
mengubah orangnya. Dan saat mereka berubah, mereka bisa mengelola keadaan.
Mereka belajar bahwa kasih dan pengampunan bukan soal mood, tapi pilihan. Bahwa menang-kalah dalam konflik rumah tangga hanya menghasilkan dua pihak yang kalah.
Tapi restorasi menghasilkan dua hati yang lebih kuat.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu banyak “Simon dari Kirene”. Siapa itu? Mereka adalah orang-orang yang menolong mereka memikul salib.
Dan, “Orang
Samaria yang murah hati”, yaitu dia yang mengobati luka mereka dengan minyak
dan anggur.
Mereka belajar filosofi karet gelang: untuk bisa merangkul lebih banyak,
harus lebih elastis. Harus rela dibentuk. Harus rela berubah.
Dan di malam-malam panjang, saat kata-kata sudah habis (meski Dayita
masih punya 13 ribu kata tersisa), mereka duduk diam. Mendengar. Karena dasar
komunikasi bukan bicara, tapi mendengar. Dan dasar relasi bukan kontrol, tapi
kepercayaan.
Pernikahan mereka bukan sempurna. Tapi mereka tahu, Alkitab tidak
mencatat keluarga yang sempurna. Hanya orang-orang yang tetap berjalan bersama
Tuhan meski jalannya tidak mudah.
Dan di akhir cerita, mereka tahu: cinta mempertemukan mereka. Tapi janji
yang mereka buat di hadapan Tuhanlah yang menjaga mereka tetap satu. Dan,
mereka terus belajar dan percaya bahwa “cinta akan
menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah
jalan.”
0 comments:
Post a Comment