Sunday, November 30, 2025

,

Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #2)

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.

Namanya Ananta dan Dayita. Mereka menikah bukan karena cocok hobi, bukan karena sama-sama suka kopi, tapi karena sama-sama percaya bahwa Tuhan mempertemukan mereka bukan untuk bersenang-senang atau mengejar ambisi duniawi, tapi untuk bertumbuh, ya , bertumbuh.

“Pernikahan itu sekolah pengampunan,” kata Ananta suatu pagi sambil menyeduh ramuan jahe hangat yang terlalu manis karena Dayita lupa takarannya.

Dayita tertawa. “Kalau begitu, kamu sudah lulus belum?”

Ananta mengangkat alis. “Baru semester dua. Tapi sudah banyak remedial.”

Mereka tahu, cinta bukan sekadar rasa manis di awal, tapi bekal di tengah perjalanan. Cinta yang sejati tidak membunuhmu di tengah jalan, tapi menyiapkan roti dan air saat kamu lelah. 

Karena, cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan. Seperti Tuhan yang memberi manna di padang gurun, bukan karena umat-Nya sempurna, tapi karena kasih setia-Nya.

Pernikahan mereka bukan tanpa tantangan. Bukan tanpa air mata. Bukan tanpa marah, dan kecewa. Mereka bertemu setiap hari, 24 jam, dengan orang yang sama. Tidak bisa kabur. 

Tidak bisa ganti channel. Dan komunikasi mereka sudah melewati lima tingkatan: dari basa-basi, bicara soal orang lain, sampai bicara tentang luka terdalam dan mimpi yang belum berani diucapkan.

“Kalau suami setia pada istrinya,” kata Ananta sambil membaca buku filsafat, “katanya dia bisa jadi filsuf.”

Dayita menyahut, “Kalau istri setia pada suaminya, dia bisa jadi... tukang sabar.”

“Hahahaaaaaa,….”, Ananta menyambung, “Ada yang berkata: Suaminya work, istrinya shop”.

Dayita merespon dengan mengangkat alis sambil senyum kecil sembari sedikit tertawa.

Mereka tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada kesadaran: dua menjadi satu bukan berarti hilang identitas, tapi belajar berjalan bersama. 

Seperti tulang rusuk yang tidak di kepala untuk memimpin, tidak di kaki untuk diinjak, tapi di samping untuk berjalan bersama dan melindungi hati.

Mereka sadar, kasih bukan apa yang mereka simpan tetapi apa yang mereka berikan.

Ananta sering merenung tentang Ishak dan Ribka. Mereka tidak pacaran, tidak tunangan, bahkan tidak kenal. Tapi mereka dijodohkan oleh hamba yang takut Tuhan. 

Dan, tetap setia sampai akhir. Ishak mendoakan istrinya yang mandul. Mereka punya anak kembar. Mereka dibesarkan dengan latar belakang yang berbeda, tapi tetap satu pernikahan.

“Pernikahan bukan soal cocok,” kata Ananta, “tapi soal janji.”

Dayita mengangguk. “Dan soal siapa yang pegang perjanjian.”

Masalah datang dan pergi. Kadang keadaan tidak berubah. Tapi mereka belajar bahwa Tuhan tidak selalu mengubah situasi. 

Justru, lebih sering Dia mengubah orangnya. Dan saat mereka berubah, mereka bisa mengelola keadaan.

Mereka belajar bahwa kasih dan pengampunan bukan soal mood, tapi pilihan. Bahwa menang-kalah dalam konflik rumah tangga hanya menghasilkan dua pihak yang kalah. 

Tapi restorasi menghasilkan dua hati yang lebih kuat.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu banyak “Simon dari Kirene”. Siapa itu? Mereka adalah orang-orang yang menolong mereka memikul salib. 

Dan, “Orang Samaria yang murah hati”, yaitu dia yang mengobati luka mereka dengan minyak dan anggur.

Mereka belajar filosofi karet gelang: untuk bisa merangkul lebih banyak, harus lebih elastis. Harus rela dibentuk. Harus rela berubah.

Dan di malam-malam panjang, saat kata-kata sudah habis (meski Dayita masih punya 13 ribu kata tersisa), mereka duduk diam. Mendengar. Karena dasar komunikasi bukan bicara, tapi mendengar. Dan dasar relasi bukan kontrol, tapi kepercayaan.

Pernikahan mereka bukan sempurna. Tapi mereka tahu, Alkitab tidak mencatat keluarga yang sempurna. Hanya orang-orang yang tetap berjalan bersama Tuhan meski jalannya tidak mudah.

Dan di akhir cerita, mereka tahu: cinta mempertemukan mereka. Tapi janji yang mereka buat di hadapan Tuhanlah yang menjaga mereka tetap satu. Dan, mereka terus belajar dan percaya bahwa “cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.”







Continue reading Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #2)

Saturday, November 29, 2025

Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #1)

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Suatu saat di lima belas Oktober dua ribu dua puluh lima, saya mendapatkan sebuah quote sederhana penuh makna: “Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan”.

Tergerak dari itu, saya ingin menuliskannya dalam sebuah narasi inspiratif berikut.

Namanya Malai. Bukan malaikat, meski mamanya sering bilang, “Kamu itu malaikat yang lupa cara terbang.” Entah pujian atau sindiran, Malai menerimanya dengan senyum dan sepiring jagung bose.

Suatu hari, Malai memutuskan untuk pergi merantau. Bukan karena ia bosan, tapi karena dia merasa panggilan hidupnya ada di luar kampung halaman. Dia ingin belajar, bekerja, dan—kalau Tuhan berkenan—menemukan jodoh yang tidak hanya elok parasnya tapi juga bisa masak jagung bose dan buat ikan lawar.

Sebelum berangkat, mamanya menyiapkan bekal. Bukan cuma makanan, tapi juga nasihat yang dibungkus dengan kasih seorang mama dan sedikit ancaman.

“Jangan lupa berdoa. Jangan lupa makan. Jangan lupa pulang.”

Malai tertawa. “Mama, saya bukan pergi perang.”

Mamanya menatap dia. “Malai, hidup itu berat, keras, rumit, dan kadang lebih rumit dari perang. Tapi, ingat ini: Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan, dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.”

Malai terdiam. Kalimat itu terdengar seperti kutipan dari kitab suci, atau minimal dari status Facebook yang viral.

Di perjalanan, Malai menghadapi banyak hal: kesepian, tantangan kerja, godaan untuk menyerah. Tapi setiap kali dia merasa lelah, dia teringat bekal cinta yang mamanya berikan. Bukan hanya makanan, tapi juga doa, pelukan, dan kata-kata yang menguatkan: Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan, dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan.”.

Dia teringat kisah Abraham yang berjalan tanpa tahu ke mana, tapi percaya pada janji Tuhan. Dia teringat Yesus yang berjalan menuju salib, bukan karena Ia tidak bisa menghindar, tapi karena cinta-Nya lebih besar dari rasa sakit.

Malai belajar bahwa cinta sejati tidak menuntut kenyamanan, tapi menuntun dalam kesetiaan. Cinta tidak membunuh di tengah jalan, tapi menyiapkan bekal di perjalanan, dan menopang sampai tujuan.

Suatu malam, saat hujan turun dan Malai duduk sendirian di kamar kos, dia membuka kotak kecil yang mamanya selipkan di tas. Di dalamnya ada surat tangan, sepotong roti kering, dan satu ayat yang ditulis dengan spidol biru:

“Aku menyertai engkau ke mana pun engkau pergi.” — Yosua 1:9

Malai tersenyum. Dia tahu, dia tidak sendiri. Bekal cinta itu nyata. Dan dia akan terus berjalan, karena cinta sudah menyiapkan jalannya.



Continue reading Cinta akan menyiapkan bekal bagimu di perjalanan dan tidak akan membunuhmu di tengah jalan (versi #1)

Mengapa Natal Disambut dengan Sukacita?

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Karena Natal bukan sekadar perayaan, tapi penggenapan janji. Sukacita Natal bukan hanya soal dekorasi, liburan, atau lagu-lagu merdu, meski semua itu indah dan menyentuh. 

Sukacita Natal berakar dalam harapan yang lama dinantikan, dalam janji yang akhirnya datang, dalam terang yang menembus gelap.

Secara tradisi, Natal terasa istimewa karena berdekatan dengan momen-momen penuh makna:

  • Seperti ulang tahun, Natal adalah hari kelahiran bukan hanya kelahiran seorang bayi, tapi kelahiran harapan baru bagi dunia.
  • Menjelang akhir tahun, kita cenderung merenung. Natal hadir sebagai pelipur, pengingat bahwa di tengah segala pencapaian dan kegagalan, ada kasih yang tetap setia.
  • Liburan memberi ruang untuk berkumpul, bersyukur, dan berbagi. Natal mengisi ruang itu dengan makna yang lebih dalam: Allah hadir di tengah manusia.

Namun sukacita Natal bukan hanya karena tradisi. Ia berakar dalam sejarah dan nubuatan. Pada Natal pertama, dunia sedang gelap:

  • Bangsa Israel dijajah oleh Roma.
  • Hati mereka menanti Mesias, seperti embun menanti pagi.
  • Para nabi telah berseru, dan janji itu tertulis sejak awal: Proto-Evangelium—Kejadian 3:15.

Saat Adam jatuh dalam dosa, Tuhan berkata, “Pada hari engkau makan, engkau akan mati” (Kej 2:17). Tapi Adam tidak langsung mati secara fisik. 

Sebaliknya, Tuhan menjanjikan keturunan. Adam percaya, dan menamai istrinya Hawa: ibu segala yang hidup. Sebuah tindakan iman di tengah kejatuhan.

Janji itu bukan janji biasa. Tuhan berfirman akan ada permusuhan berdarah. 

Keturunan perempuan akan menghancurkan kepala ular. Tapi tumit-Nya akan dihancurkan. Sebuah gambaran tentang salib: luka yang membawa kemenangan.

Iblis tahu itu. Ia berusaha agar Yesus tidak sampai ke salib. Ia tawarkan roti, popularitas, dan kemewahan (Matius 4). Ia bisikkan jalan pintas. 

Bahkan lewat Petrus, ia coba membelokkan rencana Allah. Tapi Yesus berkata, “Enyahlah Iblis”—karena salib bukan kegagalan, melainkan kemenangan.

Di Getsemani, Yesus bisa saja minta bala tentara malaikat. Tapi Ia memilih cawan penderitaan, agar kehendak Bapa tergenapi. Karena hanya lewat salib, kepala ular dihancurkan. 

Hanya lewat salib, maut dikalahkan. Hanya lewat salib, kita hidup.

Itulah sebabnya Natal disambut dengan sukacita. Karena Natal bukan akhir, tapi awal dari penggenapan. 

Natal adalah Allah yang turun tangan. Natal adalah janji yang menjadi daging. Natal adalah terang yang tidak bisa dikalahkan oleh gelap.



 


Continue reading Mengapa Natal Disambut dengan Sukacita?
,

Keserupaan Bukan Kesurupan

 

ged pollo

oleh: grefer pollo



Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, bukan sekadar mirip, tetapi mengandung jejak kemuliaan-Nya dalam akal, hati, dan kehendak. Kita bukan salinan, melainkan cerminan. 

Ditebus bukan hanya untuk diselamatkan, tetapi untuk dipulihkan dalam keserupaan yang sejati. 

Dipanggil bukan sekadar untuk berbuat baik, tetapi untuk menjadi serupa dengan Sang Baik itu sendiri.

Namun obsesi bisa menipu. Ambisi bisa menyamar. Ketika keinginan menjadi seperti Allah tidak lagi berakar pada kasih dan relasi, tapi pada kuasa dan kendali, maka keserupaan berubah menjadi kesurupan. Kita kehilangan arah, tersesat dalam ilusi menjadi tuhan atas hidup sendiri.

Itulah yang terjadi di taman Eden. Dalam Kejadian 3, manusia tergoda untuk menjadi “seperti Allah,” padahal sejak awal mereka sudah segambar dan serupa dengan-Nya. Mereka mengejar sesuatu yang sebenarnya sudah mereka miliki, namun dengan cara yang salah, dan hati yang salah.

Lalu, dalam kasih yang tak terduga, Firman itu menjadi manusia (Yohanes 1:14). Bukan untuk menyaingi manusia, tetapi untuk menyertai mereka. 

Bukan untuk menunjukkan superioritas, tetapi untuk memulihkan relasi. Yesus datang bukan agar kita menjadi Allah, tetapi agar kita kembali menjadi manusia yang serupa dengan-Nya.

Keserupaan bukan tentang menjadi lebih tinggi, tetapi lebih dalam. Bukan tentang menguasai, tetapi mengasihi. Bukan tentang kesurupan ambisi, tetapi kesatuan dalam kasih.


Continue reading Keserupaan Bukan Kesurupan
,

Masa Adventus dan Natal

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Konsep Masa Adventus dan Natal

 

1. Minggu Advent 1 (Liturgi Model 1): Markus 13: 24 - 37)

Tema: Menanti Dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri

Tokoh: Abraham

Narasi Puitis – Menanti Dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri

(Visual: langit malam bertabur bintang, siluet Abraham menatap ke atas. Musik lembut penuh harapan.)

Narator: “Abraham… seorang bapa iman. Ia menanti janji Allah tentang keturunan, meski usia menua dan harapan manusia seakan sirna. Namun ia tetap percaya, sebab ia tahu janji Tuhan tidak pernah gagal.

Di bawah langit yang penuh bintang, Abraham menyerahkan diri. Ia tidak berpegang pada kekuatannya sendiri, melainkan pada firman yang hidup. Dan bintang-bintang itu menjadi tanda pengharapan… bahwa dari keturunannya akan lahir sebuah bangsa, dan dari bangsa itu akan datang Sang Mesias, Juruselamat dunia.

Menanti bukanlah sekadar menunggu. Menanti adalah berjalan dalam iman, meski langkah terasa berat. Menanti adalah menyerahkan diri, meski jawaban belum terlihat. Abraham menanti dengan pengharapan, dan janji Allah digenapi.

Demikian pula kita hari ini. Markus 13 mengingatkan: langit dan bumi akan berlalu, tetapi firman Tuhan tidak akan berlalu. Kita dipanggil untuk berjaga, menanti kedatangan Kristus yang kedua kali.

Seperti Abraham, mari kita menanti dengan iman. Seperti Abraham, mari kita menyerahkan diri sepenuhnya. Karena pengharapan kita bukan pada dunia yang fana, melainkan pada Yesus, Sang Mesias, yang telah datang… dan akan datang kembali.”

(Visual akhir: cahaya terang muncul, siluet orang-orang berdoa bersama, teks di layar: “Menanti Dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri.” Musik bergema penuh sukacita.)

 

Lagu Pembuka: ...

 

2. Minggu Advent 2 (Liturgi Model II): Maleakhi 3 : 1 - 5

Tema: Memberi Diri Untuk Dimurnikan Allah

Daud Seorang raja yang besar, namun juga manusia yang jatuh dalam dosa. Ia tidak menolak teguran, melainkan membuka hati dan berkata: “Ciptakanlah hati yang tahir dalam diriku, ya Allah” (Mazmur 51:12). Daud adalah contoh nyata seseorang yang rela dimurnikan oleh Allah.

Narasi Puitis – Memberi Diri Untuk Dimurnikan Allah

(Visual: Daud berlutut dengan harpa di sampingnya, cahaya redup, musik lembut penuh penyesalan.)

Narator: “Daud… seorang raja yang besar, seorang pahlawan yang dikasihi Allah. Namun ia juga manusia yang jatuh dalam dosa. Ketika teguran datang, ia tidak menutup hati. Dengan air mata, ia berseru: ‘Ciptakanlah hati yang tahir dalam diriku, ya Allah.’

Seperti emas yang dimurnikan dalam api, demikianlah Daud menyerahkan dirinya. Ia rela dibakar oleh teguran, dikikis oleh kasih, agar hatinya kembali murni di hadapan Tuhan.

Maleakhi berkata: Tuhan datang sebagai api tukang emas, Ia menyucikan umat-Nya agar layak bagi-Nya. Demikianlah Daud menjadi teladan bahwa memberi diri untuk dimurnikan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda penyerahan.

Dimurnikan berarti membiarkan Allah menghapus noda, membakar kesombongan, dan menyingkapkan hati yang hancur. Dan dari hati yang hancur, lahirlah pujian yang murni.

Hari ini, kita pun dipanggil seperti Daud. Untuk tidak lari dari teguran, tetapi menyerahkan diri. Untuk tidak takut pada api pemurnian, karena di balik api ada kemuliaan.

Dan puncak dari segala pemurnian itu adalah Kristus sendiri. Ia datang bukan hanya sebagai penguji hati, tetapi sebagai Juruselamat yang menebus dosa kita. Di kayu salib, Ia menanggung api penghakiman agar kita dimurnikan oleh kasih.

Mari memberi diri… agar Allah memurnikan kita. Karena hanya hati yang dimurnikan di dalam Kristus dapat memantulkan cahaya kasih-Nya bagi dunia.”

(Visual akhir: cahaya terang memancar, salib bersinar di latar, siluet orang berdoa. Teks di layar: “Dimurnikan Dalam Kristus.” Musik berakhir dengan nada penuh sukacita.)

 

Lagu pembuka: ...

 

3. Minggu Advent 3 (Liturgi Model III): Lukas 1: 26 - 38

Tema: Menyambut Yesus dengan Iman dan Ketaatan

Maria, ibu Yesus Ia menerima kabar dari malaikat Gabriel bahwa ia akan mengandung dan melahirkan Sang Mesias. Meski penuh ketidakpastian, Maria menjawab dengan iman dan ketaatan: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38). Maria adalah teladan iman yang sederhana namun teguh, dan ketaatan yang penuh penyerahan diri.

Narasi Puitis untuk Video

(Visual: cahaya lembut turun, Maria berlutut dengan wajah penuh ketenangan. Musik lembut, penuh harapan.)

Narator: “Di sebuah kota kecil bernama Nazaret, seorang perawan sederhana menerima kabar yang mengubah dunia. Malaikat datang membawa pesan: ia akan mengandung dan melahirkan Sang Juruselamat.

Maria terdiam… hatinya berguncang. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Namun di tengah pertanyaan, ia memilih percaya. Di tengah ketidakpastian, ia memilih taat. Dengan suara lembut, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.’

Iman bukanlah sekadar mengerti, melainkan berani menyerahkan diri. Ketaatan bukanlah sekadar patuh, melainkan percaya bahwa janji Allah selalu indah pada waktunya. Maria menyambut Yesus dengan iman dan ketaatan, dan melalui dirinya, dunia menerima Sang Mesias.

Hari ini, kita pun dipanggil untuk menyambut Yesus. Bukan dengan keraguan, melainkan dengan iman. Bukan dengan penolakan, melainkan dengan ketaatan.

Karena pada akhirnya, pusat pengharapan kita bukanlah Maria, bukanlah malaikat, melainkan Kristus sendiri. Yesus yang datang ke dunia, mati bagi kita, dan bangkit untuk memberi hidup yang kekal.

Mari menyambut Yesus dengan iman dan ketaatan… sebab hanya di dalam Dia, janji Allah digenapi, dan keselamatan nyata bagi dunia.”

(Visual akhir: cahaya terang memancar dari salib, orang-orang berdoa bersama. Teks di layar: “Menyambut Yesus dengan Iman dan Ketaatan.” Musik berakhir dengan nada penuh sukacita.)

 : ...

Lagu pembuka

 

4. Minggu Advent 4 (Liturgi Model 4): Yesaya 2 : 1 - 5

Tema: Berjalan dalam Terang Damai Tuhan

Tokoh: Yesaya sebagai nabi yang melihat penglihatan tentang bangsa-bangsa berjalan menuju gunung Tuhan, mencari terang dan damai.

Narasi Puitis untuk Video

(Visual: gunung yang disinari matahari pagi, orang-orang berjalan bersama menuju puncak. Musik lembut penuh harapan.)

Narator: “Yesaya melihat sebuah penglihatan… bangsa-bangsa datang berbondong-bondong menuju gunung Tuhan. Mereka meninggalkan jalan gelap, dan berjalan dalam terang damai-Nya.

Di sana, pedang ditempa menjadi mata bajak, tombak menjadi pisau pemangkas. Tidak ada lagi peperangan, tidak ada lagi kebencian. Hanya damai yang mengalir dari hadirat Allah.

Berjalan dalam terang damai Tuhan berarti memilih jalan-Nya, bukan jalan kita sendiri. Berarti menyerahkan langkah, hati, dan pikiran untuk dipimpin oleh firman-Nya.

Seperti Yesaya, kita dipanggil untuk mengajak dunia: ‘Mari, hai kaum keturunan Yakub, berjalanlah dalam terang Tuhan.’

Namun terang itu mencapai puncaknya dalam Kristus. Dialah Terang sejati yang datang ke dunia, yang menghapus kegelapan, dan membawa damai yang melampaui segala akal. Di kayu salib, Ia meruntuhkan tembok permusuhan, dan dalam kebangkitan-Nya, Ia memberi damai yang kekal.

Mari berjalan dalam terang damai Tuhan… sebab hanya di dalam Yesus Kristus, nubuat itu digenapi, dan damai sejati menjadi nyata bagi dunia.”

(Visual akhir: cahaya terang memancar dari salib, orang-orang berdoa bersama. Teks di layar: “Berjalan dalam Terang Damai Tuhan.” Musik berakhir dengan nada penuh sukacita.)

 

Lagu pembuka :

 



Continue reading Masa Adventus dan Natal

Naskah Drama: Nyanyian Sorgawi

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Naskah Drama: Nyanyian Sorgawi

Prolog Pembuka

(Lampu sorot perlahan menyinari panggung. Musik lembut mengalun. Seorang narator/kakak berdiri di depan panggung.)

Narator/Kakak: “Saudara-saudara, tahukah kalian bahwa sorga bersukacita karena satu orang berdosa bertobat? Tuhan Yesus datang ke dunia bukan untuk menghukum, melainkan untuk menyelamatkan. Namun manusia sering kali lebih mencintai kebiasaan yang menyakiti hati Tuhan. Hari ini, mari kita melihat gambaran nyata kehidupan kita… dan bagaimana kasih Tuhan selalu rindu memulihkan.”

 

Tarian Sukacita

(Musik: Hai Dunia Gembiralah. Anak-anak menari dengan penuh sukacita, menggambarkan kedatangan Yesus ke dunia membawa keselamatan.)

 

Prolog Adegan Kebiasaan Buruk

Narator/Kakak: “Namun di balik sukacita itu, manusia sering terjebak dalam kebiasaan yang tidak berkenan. Mereka lebih memilih kesenangan dunia daripada mendengar suara Tuhan.”

Adegan 1 – Gaya Hidup Pamer

(5 anak masuk dengan pakaian gaul, gaya sok dewasa. Mereka tertawa, pamer barang-barang, dan memaksa orang lain ikut bergaya sama. Anak lain terlihat sedih.)

Anak 1: “Kalau mau gabung sama kita, harus punya barang keren seeprti ini! Lihat, sepatu baru, merek luar negeri. Mahal sekali!”

Anak 2: “Iya, kalau tidak, jangan harap bisa jadi teman kita. Kita cuma mau berteman sama yang levelnya sama seperti kita.”

Anak 3 (ikut pamer): “Betul! Tas aku juga baru, harganya jutaan. Kalau kalian tidak punya, lebih baik pergi.”

Anak 4 (ragu-ragu, ikut terbawa): “o, begitu? Tapi… apa harus begitu? Bukannya teman itu yang penting bisa saling dukung?”

Anak 5 (sedih, menunduk): “Tapi aku tidak punya barang seperti kalian. Aku cuma pakai yang sederhana. Jadi… aku tidak bisa jadi teman kalian?”

(Anak 1 dan Anak 2 tertawa meremehkan.)

Anak 1: “Hahaha, jelas tidak bisa! Kalau mau gabung, harus sama-sama keren. Kalau tidak, hanya akan permalukan kelompok kita.”

Anak 2: “Betul. Kita ini geng gaul, bukan geng murahan.”

(Anak 5 semakin sedih, wajahnya tertunduk. Anak 4 mulai merasa tidak nyaman.)

Anak 4 (pelan, mulai sadar): “Tapi… kenapa kita harus menilai orang dari barang? Bukannya teman itu dinilai dari hati, bukan dari apa yang dipakai?” pernah seorang kakak sekolah minggu bilang: Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran.

Anak 3 (menyela): “Ah, kamu sok bijak! Dunia sekarang butuh gaya. Kalau tidak, tidak ada yang peduli sama kita.”

(Anak 5 meneteskan air mata. Suasana hening sejenak. Lalu masuk seorang Kakak/Narator.)

Kakak/Narator: “Adik-adikku… apakah kalian tahu? Tuhan tidak pernah melihat manusia dari barang yang dimiliki. Tuhan melihat hati. Kalian boleh punya barang bagus, tapi kalau hati kalian sombong, itu menyakiti hati Tuhan. Dan teman sejati bukanlah yang menilai dari penampilan, melainkan yang menerima apa adanya.”

(Anak 4 menunduk, mulai merasa bersalah. Anak 1 dan Anak 2 saling pandang, mulai goyah.)

Anak 5 (dengan suara lirih): “Aku cuma ingin punya teman… bukan ingin dipameri barang mahal atau direndahkan.”

Kakak/Narator: “Lihatlah, betapa sedihnya dia. Apakah kalian mau terus membuat orang lain merasa tidak berharga? Ingat, sorga bersukacita bukan karena barang, tapi karena hati yang bertobat.”

(Anak-anak mulai terdiam. Musik lembut masuk. Mereka perlahan menunduk, tanda mulai sadar.)

 

 

Adegan 2 – Anak dan Orang Tua

(Seorang anak duduk di kursi, sibuk memainkan HP. Musik game terdengar samar. Orang tua masuk dengan wajah penuh perhatian.)

Orang Tua: “Nak, dengarkan sebentar. Jangan terus main HP, itu tidak baik. Matamu bisa rusak, waktumu habis, dan kamu jadi lupa belajar.”

Anak: (tanpa menoleh, masih fokus ke layar) “Ah, biar saja. Aku lagi asik, jangan ganggu!”

Orang Tua: “Setiap kali Bapak dan Mama bicara, kamu selalu jawab begitu. Kamu tahu tidak, HP itu bisa bikin kamu lupa segalanya. Kamu bahkan tidak pernah bantu di rumah lagi.”

Anak: (kesal, masih main) “Bapak dan Mama, kenapa harus ribut terus? Kan cuma main sebentar. Teman-teman aku juga main. Kalau aku tidak ikut, nanti ketinggalan.”

Orang Tua: (suara mulai meninggi, kecewa) “Sebentar? Dari tadi pagi kamu sudah pegang HP. Kamu tidak makan bersama, tidak belajar, bahkan tidak jawab ketika dipanggil. Apa kamu mau hidupmu hanya di layar itu?”

Anak: (menarik napas, masih keras kepala) “HP ini penting buat aku! Aku bisa chatting, main game, lihat video. Itu bikin aku senang. Kenapa orang tua tidak mengerti?”

Orang Tua: (menahan emosi, suara bergetar) “Senang? Tapi apakah itu benar-benar membuatmu bahagia? Lihat, kamu jadi mudah marah, tidak peduli dengan keluarga, bahkan lupa berdoa. Nak… Bapak dan Mama hanya ingin kamu hidup sehat dan dekat dengan Tuhan.”

Anak: (diam sejenak, lalu menjawab ketus) “Sudahlah, aku tidak mau dengar ceramah. Aku lagi sibuk!”

(Orang tua terdiam, menatap anak dengan mata berkaca-kaca. Musik lembut mulai masuk. Orang tua perlahan berdiri, berjalan keluar panggung dengan wajah sedih.)

Orang Tua (sambil berjalan keluar, lirih): “Ya Tuhan… tolonglah anakku. Dia tidak sadar bahwa apa yang dia lakukan menjauhkan dirinya dari kasih-Mu.”

(Anak tetap duduk, tapi wajahnya mulai terlihat ragu. Ia menatap HP, lalu menunduk. Ada jeda hening, tanda mulai muncul rasa bersalah.)

 

Adegan 3 – Bullying

(Lima anak masuk. Tiga anak mulai mengejek dan mendorong dua temannya. Suasana gaduh.)

Anak 3: “Lihat mereka, lemah sekali! Hahaha! Jalan saja pelan, kayak siput!”

Anak 4: “Ayo kita bikin lagi, biar kapok! Kalau tidak diganggu, mereka tidak akan belajar jadi kuat.”

Anak 7 (korban, menangis): “Tolong… jangan dorong aku lagi. Aku tidak salah apa-apa.”

Anak 8 (korban lain, gemetar): “Iya… kenapa kalian selalu ganggu kami? Kami cuma mau main tenang.”

Anak 3: “Tenang? Hahaha! Dunia ini keras, bro. Kalau kalian lemah, kalian pantas ditertawakan.”

Anak 4: “Betul! Kalau mau jadi teman kita, harus berani. Kalau tidak, ya jadi bahan ejekan.”

Anak 7: “Tapi… kenapa harus begitu? Bukannya teman itu saling jaga, bukan saling jatuhkan?”

Anak 8: “Kami juga ingin diterima… bukan ditolak.”

(Anak 9, salah satu dari kelompok pembully, mulai ragu.)

Anak 9: “Hei… tapi  aku jadi tidak enak. Lihat mereka menangis. Apa kita tidak keterlaluan?”

Anak 3: “Ah, jangan sok lembek! Kita ini geng kuat. Kalau tidak bully, tidak seru.”

(Korban semakin menangis. Suasana hening sejenak. Musik lembut masuk. Narator/Kakak muncul.)

Kakak/Narator: “Adik-adikku… apakah kalian sadar? Kata-kata dan perbuatan kalian bisa melukai hati orang lain lebih dalam daripada luka fisik. Tuhan tidak pernah senang melihat anak-anak-Nya saling merendahkan. Ingatlah, setiap orang berharga di mata Tuhan.”

(Anak 9 menunduk, merasa bersalah. Anak 3 dan Anak 4 mulai terdiam. Korban masih menangis, tapi mulai merasa diperhatikan.)

Adegan 4 – Merokok dan Memalak

(Tiga anak duduk di area sekolah, merokok dengan gaya sok hebat. Dua anak lain datang, terlihat kaget.)

Anak 5: “Ayo, coba! Kalau tidak, kalian pengecut! Semua anak keren di sekolah ini merokok.”

Anak 6: “Dan jangan lupa, kasih uang jajan kalian ke kita! Kalau tidak, kalian tidak aman di sekolah ini.”

Anak 10 (korban, takut): “Tapi… kami tidak mau merokok. Itu tidak baik buat kesehatan.”

Anak 11 (korban lain, gemetar): “Iya… kami juga tidak punya uang banyak. Tolong jangan paksa kami.”

Anak 5: “Halah, alasan! Kalau tidak ikut, kalian bakal dijauhi. Mau jadi pecundang seumur hidup?”

Anak 6: “Cepat kasih uang! Kalau tidak, kami bikin kalian menyesal.”

(Anak 10 dan Anak 11 saling pandang, lalu dengan terpaksa menyerahkan uang. Mereka menangis.)

Anak 10: “Kenapa kalian tega sekali? Kami cuma mau sekolah dengan tenang.”

Anak 11: “Merokok itu dosa, merusak tubuh. Kenapa kalian bangga dengan hal yang merusak?”

(Anak 12, salah satu dari geng perokok, mulai ragu.)

Anak 12: “Hei… sebenarnya aku juga tidak suka. Aku cuma ikut-ikutan. Tapi… kenapa aku harus terus begini?”

Anak 5: “Diam! Jangan bikin geng kita lemah. Kita harus tunjukkan kalau kita berkuasa.”

(Suasana tegang. Korban menangis. Kakak/Narator masuk, menegur dengan suara tegas namun penuh kasih.)

Kakak/Narator: “Anak-anak… tubuh kalian adalah bait Allah. Merokok, memalak, dan memaksa teman bukanlah tanda keberanian, melainkan tanda kelemahan. Kalian tidak perlu merusak diri untuk terlihat hebat. Tuhan mengasihi kalian, dan Dia ingin kalian hidup benar.”

(Anak 12 menunduk, mulai sadar. Anak 10 dan Anak 11 merasa lega. Anak 5 dan Anak 6 terdiam, mulai goyah.)

 

Adegan Akibat

(Lampu redup. Musik sedih. Anak-anak duduk terpisah, wajah muram. Mereka baru saja mengalami akibat dari perbuatan masing-masing: dijauhi teman, dihukum sekolah, dimarahi orang tua. Suasana hening.)

Anak 1: “Kenapa semua menjauh dariku? Dulu aku merasa hebat dengan barang-barangku… sekarang aku sendirian. Ternyata pamer hanya membuat orang lain sakit hati.”

Anak 2: “Aku menyesal… semua ini salah. Aku pikir main HP terus bisa bikin aku bahagia. Tapi sekarang, orang tuaku kecewa, teman-temanku marah. Aku kehilangan semuanya.”

Anak 3: “Tuhan, ampuni aku… aku sudah merendahkan teman-temanku, menertawakan mereka. Aku kira itu membuatku kuat. Tapi sekarang aku sadar, aku hanya melukai hati mereka… dan hati-Mu.”

Anak 4: (menunduk, suara bergetar) “Aku juga salah… aku ikut-ikutan merokok, padahal aku tahu itu merusak tubuhku. Sekarang aku diskors dari sekolah. Aku malu pada diriku sendiri.”

Anak 5: (menangis) “Aku memalak teman-temanku… aku kira itu membuatku berkuasa. Tapi sekarang semua menjauhiku. Aku merasa kosong… tidak ada yang mau dekat denganku lagi.”

(Suasana hening. Anak-anak saling pandang, wajah penuh penyesalan. Musik lembut mulai masuk. Seorang Kakak/Narator masuk ke panggung, mendekati mereka dengan penuh kasih.)

Kakak/Narator: “Adik-adikku… lihatlah akibat dari perbuatan kalian. Pamer, melawan orang tua, membully, merokok, dan memalak… semua itu hanya membawa kesedihan. Tapi jangan putus asa. Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan kalian. Dia selalu membuka tangan-Nya untuk menerima kalian kembali.”

Anak 1: “Apakah Tuhan masih mau menerima aku, Kak? Aku sudah terlalu banyak salah.”

Kakak/Narator: “Tentu, Nak. Tuhan mengasihi kalian apa adanya. Dia tidak melihat masa lalu kalian, tetapi hati yang mau bertobat.”

Anak 2: “Kalau begitu… aku ingin berubah. Aku tidak mau lagi sibuk dengan hal-hal yang menjauhkan aku dari keluarga dan Tuhan.”

Anak 3: “Aku juga… aku ingin minta maaf pada teman-temanku. Aku tidak mau lagi menyakiti mereka.”

Anak 4: “Aku ingin berhenti merokok. Aku ingin menjaga tubuhku, karena tubuhku adalah bait Allah.”

Anak 5: “Aku ingin berhenti memalak. Aku ingin belajar memberi, bukan mengambil.”

(Kakak/Narator tersenyum, lalu mengajak mereka berdiri. Mereka saling berpegangan tangan.)

Kakak/Narator: “Bagus sekali. Mari kita berdoa bersama. Tuhan, inilah anak-anak-Mu. Mereka menyesal dan ingin kembali. Pulihkan hati mereka, jadikan mereka terang bagi teman-temannya.”

(Anak-anak menunduk, berdoa bersama. Musik berubah menjadi lembut penuh harapan. Lampu perlahan terang kembali.)

 

Adegan Pertobatan

(Seorang kakak masuk, mendekati mereka dengan penuh kasih. Lampu panggung perlahan terang, musik lembut mengalun.)

Kakak: “Adik-adikku, jangan putus asa. Tuhan Yesus mengasihi kalian. Dia rindu kalian kembali. Mari kita berdoa bersama.”

(Kakak menumpangkan tangan. Anak-anak menunduk, menangis. Suasana hening penuh haru.)

Anak 1: “Aku merasa sangat bersalah… aku sudah menyakiti hati teman-temanku dengan kesombongan. Tuhan, ampuni aku.”

Anak 2: “Aku juga… aku terlalu sibuk dengan HP sampai melupakan orang tuaku. Aku ingin berubah, Kak.”

Anak 3: “Aku sudah membully teman-temanku. Aku kira itu membuatku hebat. Tapi sekarang aku sadar, aku hanya melukai hati mereka. Tuhan, tolong aku.”

Anak 4: “Aku ikut merokok dan memaksa teman-temanku. Aku tahu itu salah. Aku ingin berhenti dan hidup benar.”

Anak 5: “Aku memalak teman-temanku… aku malu sekali. Aku ingin belajar memberi, bukan mengambil.”

(Kakak tersenyum, menatap mereka dengan penuh kasih.)

Kakak: “Adik-adikku, kalian sudah mengakui kesalahan kalian. Itulah langkah pertama menuju pertobatan. Ingatlah, Tuhan tidak pernah menolak hati yang hancur dan rendah. Dia selalu siap mengampuni.”

(Kakak berdoa dengan suara lembut.)

Kakak: “Tuhan Yesus, inilah anak-anak-Mu. Mereka menyesal dan ingin kembali kepada-Mu. Pulihkan hati mereka, ubahkan hidup mereka, dan jadikan mereka terang bagi teman-temannya. Biarlah kasih-Mu mengalir dalam hidup mereka.”

(Anak-anak menangis, lalu perlahan berdiri bersama. Mereka saling berpegangan tangan, wajah penuh harapan.)

Anak 1: “Terima kasih, Tuhan… aku merasa damai sekarang.”

Anak 2: “Aku ingin mulai menghargai orang tuaku dan mendengarkan mereka.”

Anak 3: “Aku ingin meminta maaf pada teman-temanku dan belajar mengasihi.”

Anak 4: “Aku ingin menjaga tubuhku dan hidup benar di hadapan Tuhan.”

Anak 5: “Aku ingin berhenti menyakiti orang lain. Aku ingin jadi sahabat yang baik.”

(Kakak merangkul mereka. Musik berubah menjadi penuh sukacita. Lampu panggung semakin terang.)

Kakak: “Bagus sekali. Inilah sukacita sorga. Satu orang berdosa bertobat, sorga bersukacita. Mari kita hidup dalam kasih Tuhan Yesus.”

(Semua berdiri bersama, saling berpegangan tangan. Mereka menatap ke atas dengan wajah penuh syukur.)

 

Prolog Penutup

Narator/Kakak: “Beginilah kasih Tuhan. Walaupun manusia jatuh dalam dosa, Tuhan selalu membuka tangan-Nya. Sorga bersukacita karena satu orang berdosa bertobat. Mari kita hidup menghargai keselamatan yang telah diberikan Yesus Kristus.”

 

Penutup – Nyanyian

(Semua pemain berdiri bersama, berpegangan tangan. Musik: Terima Kasih Tuhan. Mereka menyanyi dengan penuh sukacita.)

 

Continue reading Naskah Drama: Nyanyian Sorgawi

Sunday, November 16, 2025

PA: Strategi Belajar - Belajar bukan hanya untuk nilai, tetapi untuk memuliakan Tuhan

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


“Belajar bukan Supaya Pintar”

Kolose 3:23“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

 

1. Pembukaan (10 menit)

  • Icebreaker: tanyakan kebiasaan belajar masing-masing (misalnya: belajar semalam suntuk, belajar kelompok, atau belajar sambil mendengar musik).
  • Hubungkan dengan pertanyaan: “Apakah cara belajar kita sudah memuliakan Tuhan?”

2. Pendalaman Firman (30 menit)

Ayat-ayat kunci:

  • Amsal 1:7 → “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.”
  • Daniel 1:17 → Tuhan memberi Daniel dan teman-temannya pengetahuan dan kepandaian.
  • Yakobus 1:5 → Mintalah hikmat kepada Allah.

Diskusi:

  • Bagaimana iman memberi motivasi belajar?
  • Apa bedanya belajar untuk nilai vs belajar untuk panggilan hidup?
  • Mengapa disiplin dan akuntabilitas penting dalam studi?

3. Strategi Studi Praktis (30 menit)

Hubungkan prinsip Alkitab dengan tips belajar:

  • Disiplin waktu → Efesus 5:15-16 (gunakan waktu dengan bijak).
  • Belajar bertahap (jangan menunda) → Amsal 6:6 (belajarlah dari semut).
  • Belajar bersama → Ibrani 10:24-25 (saling menasihati).
  • Berdoa sebelum belajar → Yakobus 1:5 (mintalah hikmat).
  • Integritas akademik → Amsal 10:9 (orang jujur aman jalannya).

Aktivitas

Membuat “jadwal belajar rohani-akademik” sederhana (misalnya: doa singkat sebelum belajar, review mingguan, belajar kelompok dengan doa).

4. Refleksi & Komitmen (20 menit)

  • Minta remaja menuliskan satu strategi belajar baru yang ingin mereka coba minggu ini.
  • Bagikan secara singkat di kelompok kecil.
  • Tutup dengan doa komitmen: belajar bukan hanya untuk nilai, tetapi untuk memuliakan Tuhan.


Hasil yang Diharapkan

  • Remaja memahami bahwa belajar adalah bagian dari ibadah.
  • Mereka punya strategi praktis yang sesuai dengan iman.
  • Terbangun budaya belajar yang disiplin, jujur, dan saling mendukung.

 

Strategi Studi + Ayat Alkitab Pendukung

Strategi Studi

Ayat Alkitab Pendukung

Makna Praktis

Disiplin waktu belajar

Efesus 5:15-16 (gunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini jahat)

Belajar teratur, tidak menunda, gunakan waktu dengan bijak

Belajar bertahap & konsisten

Amsal 6:6 (Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak)

Belajar sedikit demi sedikit, bukan sistem kebut semalam

Berdoa sebelum belajar

Yakobus 1:5 (Mintalah hikmat kepada Allah yang memberikan dengan murah hati)

Meminta hikmat Tuhan agar belajar lebih fokus dan berhasil

Belajar bersama/kelompok

Ibrani 10:24-25 (Marilah kita saling memperhatikan untuk saling mendorong dalam kasih)

Saling menolong, berdiskusi, dan menguatkan satu sama lain

Integritas akademik

Amsal 10:9 (Siapa berlaku jujur, aman jalannya)

Tidak mencontek, menjaga kejujuran dalam tugas dan ujian

Belajar untuk Tuhan, bukan hanya nilai

Kolose 3:23 (Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan)

Motivasi belajar diarahkan untuk memuliakan Tuhan


Cara Gunakan:

  • Cetak tabel ini sebagai lembar handout untuk remaja.
  • Gunakan setiap strategi sebagai bahan diskusi kelompok kecil.
  • Minta peserta memilih 1 strategi + 1 ayat yang paling relevan untuk mereka minggu ini, lalu buat komitmen pribadi.

 

 




Continue reading PA: Strategi Belajar - Belajar bukan hanya untuk nilai, tetapi untuk memuliakan Tuhan