Sunday, October 5, 2025

TERPURUK BUKAN BERARTI TERBURUK

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Kadang hidup itu mirip kisah Yunus: sudah lari dari panggilan, tapi malah “check-in” gratis di perut ikan. Terpuruk? Jelas. Bau amis? Sudah Pasti.

Tapi apakah itu akhir cerita? Tidak. Justru dari tempat paling gelap dan sempit, doa Yunus naik ke hadapan Tuhan, dan ikan itu jadi “taksi laut” yang mengantarnya kembali ke jalur panggilan.


Lain lagi dengan cerita Yusuf: dijual saudara, difitnah istri majikan, dipenjara tanpa salah. Kalau ada lomba “nasib paling terpuruk,” mungkin dia juara. 

Mirip sudah jatuh ketiban tangga. Tapi Alkitab mencatat, justru dari titik terendah itulah Tuhan mengangkatnya jadi penguasa Mesir, menyelamatkan banyak bangsa.

Jadi, terpuruk bukan berarti terburuk. Itu hanya “bab suspense” dalam novel kehidupan yang Tuhan tulis. 

Kalau hidupmu sekarang terasa seperti jatuh di lumpur, ingat: lumpur bisa jadi bahan terbaik untuk membuat tembikar indah di tangan Sang Penjunan (Yeremia 18:6).

Mungkin hari ini kamu merasa seperti Petrus yang tenggelam karena kurang iman. 

Tapi jangan lupa, Yesus tetap mengulurkan tangan-Nya sambil berkata, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (Matius 14:31). Terpuruk bukan berarti tamat. Itu hanya momen latihan berenang rohani bersama Sang Guru.

Kalau jatuh itu manusiawi, bangkit itu surgawi.

Jadi jangan buru-buru menilai “terpuruk = terburuk.”

Bisa jadi itu hanya “promo spesial” Tuhan: Buy one crisis, get one miracle free.

Continue reading TERPURUK BUKAN BERARTI TERBURUK

KESUKSESAN ADALAH HASIL DARI PROSES BUKAN PROTES

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Di sebuah kampung di Rote, ada seorang anak muda bernama Pau. Ia terkenal cerewet. Bukan cerewet soal cerita lucu, tapi cerewet soal hidup. Setiap kali melihat orang lain berhasil, ia selalu berkata, “Enak sekali dia. Pasti ada jalan pintas. Kenapa saya tidak bisa begitu?”

Suatu hari, Pau duduk di bawah pohon tuak sambil menatap langit. Ia protes dalam hati, “Tuhan, kenapa hidup saya begini-begini saja? Kenapa orang lain bisa sukses, sementara saya masih begini?”


Seorang bapa desa lewat, membawa alat sadap tuak. Ia tersenyum melihat Pau yang sedang murung. “Anak muda,” katanya, “kau tahu kenapa air tuak bisa manis? Karena ada proses. Disadap pagi, ditampung siang, dijaga malam. Kalau kau hanya duduk di bawah pohon sambil protes, sampai ayam berkokok tiga kali pun, air tuak tidak akan turun sendiri ke mulutmu.”

Pau terdiam. Orang tua itu melanjutkan, “Alkitab bilang, ‘Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya’ (Galatia 6:7).

Kalau kau tidak menabur kerja keras dan kerja cerdas, jangan harap menuai kesuksesan. Tuhan memberkati usaha, bukan keluhan. Tuhan menyertai dalam proses bukan protes.”


Hari-hari berikutnya, Pau mulai belajar. Ia mulai membantu mamanya menenun tenun ikat. Awalnya benangnya kusut, motifnya miring, dan ia hampir saja protes lagi. Tapi mamanya berkata, “Nak, tenun ikat Rote tidak jadi dalam sehari. Benang demi benang, sabar demi sabar. Kalau kau mau hasil indah, jangan cepat menyerah.”

Ia juga ikut to’o-nya ke laut. Saat jala dilempar, ikan tidak langsung masuk. Kadang kosong, kadang hanya dapat rumput laut. Pau hampir putus asa. Tapi to’o-nya tertawa, “Kalau nelayan hanya protes karena laut sepi, siapa yang akan makan ikan? Proses itu bagian dari berkat.”

Perlahan, Pau mengerti. Kesuksesan bukanlah hadiah instan. Ia seperti perjalanan Yakub yang harus bekerja bertahun-tahun demi Rahel. Ia seperti Yesus yang memilih jalan salib, bukan jalan pintas. Tidak ada kemuliaan tanpa penderitaan. Tiada hasil tanpa proses.

Beberapa tahun kemudian, Pau dikenal sebagai pemuda yang rajin. Ia membuka usaha kecil, melatih anak-anak muda, dan menolong orang lain. Ketika ditanya rahasia suksesnya, ia hanya tersenyum dan berkata,

“Dulu saya suka protes. Sekarang saya belajar proses. Dan ternyata, proses itulah yang membuat saya bertumbuh, bukan hanya berhasil.”

Pesan untuk kita semua: Kesuksesan itu seperti pohon tuak di Rote. Ia tidak tumbuh semalam, tapi akarnya kuat, batangnya tegak, dan buahnya memberi kehidupan. Kalau kita mau berhasil, jangan hanya pandai protes. Mari jalani proses dengan iman dalam Kristus, kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan pengharapan.



Continue reading KESUKSESAN ADALAH HASIL DARI PROSES BUKAN PROTES

KERJA SAMA VS KERJA SALAH

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Premis cerita

Di sebuah desa kecil bernama Mari Kerja, dua tim diberi tugas membangun jembatan kayu menuju kebun bersama. Satu tim bekerja sama dengan doa, tawa, dan pembagian tugas yang jelas. 

Tim lain sibuk menunjukkan siapa yang paling terlihat bekerja, kumpul pujian, dan memotong sudut demi hasil instan. Kedua jembatan akhirnya selesai. Tapi jalan cerita belum tentu berakhir di atas air yang sama.

Tokoh singkat

  • Pak Andre: tukang kayu bijak yang sering omong Amsal sambil mengukur papan.
  • Bapak Ajak: pemimpin tim kerja sama, senyumannya membuat beban kerja terasa ringan.
  • Pose Berwarna: pemimpin tim kerja salah, suka berpose di depan kamera dan update status sambil menyuruh orang lain mengangkat kayu.
  • Tua Adat: pengamat jembatan, tahu kapan harus memberi tahu yang salah sekaligus berbagi kue dan nasihat.

KEJAR YANG KEKAL: Allah yang menjaga | kabar baik bagi yang tidak baik-baik

Narasi

Pagi itu sinar matahari menari di atas papan-papan kayu, seperti undangan untuk orang-orang yang suka kerja nyata. 

Tim Ajak berkumpul seperti orkestra kecil: ada yang mengukur kayu, yang lain menyiapkan paku, yang lain menahan papan sambil menyanyikan lagu kerja. Ketika satu paku bengkok, mereka tertawa bersama dan mengganti strategi. 

Doa singkat sebelum memukul paku membuat palu rasanya lebih bersahabat.

Di seberang lapangan, tim Pose tampil seperti panggung sandiwara. Pimpinannya memberi instruksi seperti sutradara drama: “Kamu angkat, kamu cat, kamu bilang terima kasih padaku nanti.” 

Orang-orang bekerja cepat, kubu Pose memotong sudut agar papan segera tampak rapi. Setiap kali Pose lewat, dia melambai dramatis seolah-olah sedang membuka pameran hasil karyanya sendiri.

Jembatan Ajak jadi dengan suara tepuk tangan saat papan terakhir disatukan. Mereka menguji dengan menyeberang bertiga-sekali, lalu saling menggandeng tangan sampai terlihat seperti barisan penari rakyat.

Jembatan Pose pun selesai; catnya mengkilap seperti panggung akhir musim. Tapi ketika angin menyelinap lewat, suara gemeretak kecil muncul. Paku yang dipasang terburu-buru mulai mengangguk-angguk, terlihat mulai terlepas.

Tua Adat datang menghitung paku seperti membaca doa harian. Ia berjalan ke jembatan Pose, mengetuk satu papan, dan berkata dengan tenang: “Bangun jembatan biar cepat itu hebat, tapi jangan lupa bangun hati biar kuat.” Pose tersipu, sementara Ajak mengundang tim Pose untuk kopi dan berbagi palu.

Kilasan teologis

Kerja sama mengingatkan tubuh Kristus: anggota-anggota berbeda karunia, satu tujuan, saling menopang. Kerja salah mengingatkan menara Babel: bangun tinggi tanpa mengangkat hati ke langit itu mudah roboh ketika yang penting hanya tampak di mata manusia. Menggarap sesuatu dengan hikmat jauh lebih elegan daripada sekadar memamerkan hasil sementara.

Pesan singkat

  • Kerja sama memberi hasil yang tahan lama karena dibangun atas kepercayaan, pembagian beban, dan kasih praktis.
  • Kerja salah bisa cepat dan mencolok, tetapi biasanya bernasib memalukan saat pengujian datang.
  • Jadilah seperti Ajak: bekerja dengan tangan cekatan, hati yang rendah, dan selera humor yang bisa menambal setiap papan bengkok.

Lewat jembatan-jembatan itu, orang-orang Mari Kerja belajar bahwa kerja yang diberkati adalah kerja yang mengangkat sesama, bukan hanya mengangkat diri sendiri.

 


Continue reading KERJA SAMA VS KERJA SALAH

Tuesday, September 30, 2025

Cintamu Membunuhku

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Cintamu Membunuhku

Ada sebuah kebakaran yang memberi kesan membara tetapi lembut dan pasti. 

Bukan menghasilkan kepulan asap dan sirene, melainkan kebakaran yang memakan ruang-ruang ego, menyapu retakan-retakan rasa nyaman palsu, dan meninggalkan satu hal yang benar-benar hangus: aku yang dulu.

Mazmur itu berbicara dengan suara yang gampang dikenali, suara yang bergetar ketika seseorang jatuh cinta bukan pada manusia, melainkan pada Rumah-Nya. “Cinta akan rumahmu menghanguskan aku.”


Api itu tidak untuk menghancurkan tanpa tujuan; api itu membersihkan, memurnikan, menyingkap siapa yang tersisa setelah semua kepasrahan dipanggang dan terpanggang.

Aku pernah membayangkan iman sebagai mantel hangat yang kukenakan di pagi dingin: nyaman, aman, pas di badan. 

Namun kasih Tuhan ternyata lebih mirip oven kaca raksasa yang setelah menyalakannya, membuatku sadar bahwa mantel itu penuh noda—noda ego, ambisi, panggilan palsu, pelayanan palsu penuh obsesi diri sendiri, mencari eksistensi diri palsu yang harus dilebur agar aku muat dalam pakaian baru: kehidupan yang hanya untuk Dia. 

Prosesnya? Menyakitkan, lucu, ironis, serupa orang yang tertawa saat sadar bajunya terbalik di depan cermin.

Kesengsaraan awalnya terasa intolerable: rasa malu karena kebiasaan lama tersingkap, kebiasaan untuk mengambil untung, kepentingan diri sendiri, untuk menuntut, untuk mempertahankan citra. 

Namun ada momen—aneh dan intim—ketika aku menangkap bahwa “mati” yang ditawarkan kasih-Nya bukanlah kehancuran total, melainkan pembebasan dari tirani diriku sendiri. 

Aku mulai mengerti bahwa hidup yang kupegang erat selama ini sebenarnya adalah tiruan: hidup yang dipoles untuk dilihat manusia, bukan untuk memuliakan Tuhan.


Cara Kasih Tuhan Membunuh Keegoanku

  • Pertama, kasih itu menatap langsung ke inti. Ia tidak sibuk dengan kosmetik rohani. Dia melucuti; ia mengajak jujur. Di situlah ego mulai goyah: palu kasih menumbuk satu demi satu alasan kita berkuasa pada diri sendiri.
  • Kedua, kasih itu menuntut pilihan. Ketika engkau dicintai sampai mati oleh Tuhan, engkau dihadapkan pada pertanyaan sederhana: siapa yang memimpin hidupmu? Kalau jawabannya masih “aku”, kasih itu akan bertindak seperti dokter tegas yang menganjurkan operasi.
  • Ketiga, prosesnya seringkali absurd. Ada saat-saat ketika kamu menangis di sudut karena merasa kecil, lalu tertawa di detik berikutnya karena menyadari betapa dramatisnya dirimu selama ini. Humor kecil itu menjadi obat dalam proses yang menembus tulang.

Ada kalanya aku merasa seperti tokoh di drama komedi romantis: diculik oleh cinta Ilahi, dibawa ke tempat tak dikenal, diberi pelajaran-tanpa-syarat tentang bagaimana melepaskan. 

Hanya bedanya, di akhir pertunjukan Tuhan tidak menuliskan nomor telepon baru untuk dihubungi, Ia menuliskan kehidupan baru untuk dijalani.

Surat Galatia menyuguhkan sebuah pernyataan yang tak kalah berani: “Aku telah disalibkan bersama Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

Pernyataan itu menjelaskan konkret apa yang mazmur rasakan secara emosional. 

Mazmur berteriak karena rindu Rumah-Nya; Galatia menyatakan bahwa rindu itu berbuah radikalitas hidup: “aku mati” supaya “Kristus hidup.” Lebih tepatnya: “Kristus mati supaya aku hidup”. Dan, Dia hidup selama-lamanya.

Di sini ada kesejajaran yang jelas: mazmur menunjukkan gejolak cinta yang “menghanguskan”, Galatia memberi teologi pada pengalaman itu, mati secara simbolis terhadap diri sendiri agar hidup bagi Kristus.

Ego kita tidak dihapus karena kecelakaan; ia dikubur sebagai konsekuensi logis dari hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Ketika aku merespons kasih itu, aku tidak berusaha lagi melakukan pertunjukan kepahlawanan rohani. 

Sebaliknya, ada kebebasan menakjubkan: kalau bukan aku yang memimpin, maka kesalahan dan kekonyolan yang kubuat tidak lagi menjadi pusat drama.

Tapi berhati-hatilah: ada godaan untuk menginventarisasi kebajikan baru: sebuah ego versi rohani yang berkata, “Lihat, aku telah mati bagi diriku.” 

Galatia memberi teguran halus: jika kita mulai memanfaatkan kematian diri itu sebagai alat untuk menaikkan citra diri, maka kita meniadakan kasih yang memanggil kita mati untuk hidup. Kasih yang sejati menghasilkan kerendahan hati, bukan trofi moral.




Humor dalam Api yang Menyala

Bayangkan momen ketika Tuhan membongkar “playlist” hidupmu. Lagu-lagu yang tadinya kau pasang untuk menegaskan siapa dirimu—lagu populer, lagu ambisi, bahkan lagu “aku-lah-pahlawan”—semua diputar ulang di hadapan-Nya. Dia menekan tombol next. Kau protes: “Tunggu, itu lagu kemenangan saya!” 

Tuhan hanya menatap sambil tersenyum lalu memutar lagu baru: “Hidup bagi Kristus.” Ternyata lagu baru itu mudah dinyanyikan; liriknya sederhana: “Bukan aku, tetapi Kristus.”

Humornya juga muncul dalam kebiasaan kita memikirkan ‘bagaimana’ mengorbankan diri. Kita merancang skenario heroik, tapi kenyataannya pengorbanan seringkali sepele: memberi kursi di transportasi umum, mengakui kesalahan kecil, melewatkan kesempatan mendapatkan pujian. 

Banyak dari momen-momen suci itu tampak keterlaluan biasa. Sebuah ironi: kematian besar sering terjadi lewat hal-hal yang paling kecil.

 

Penutup

Cintamu membunuhku bukanlah ancaman; itu adalah undangan paling lembut untuk berubah. Seperti mazmur yang terbakar oleh rindu akan rumah Tuhan, dan seperti Galatia yang menegaskan kematian diri untuk kehidupan Kristus, panggilan ini membawa kita dari sandbox ego kepada taman kehidupan yang lebih besar. 

Kematian ego bukan akhir; itu adalah kelahiran ulang yang membuat setiap nafas menjadi doa, setiap kegagalan menjadi bahan komedi yang menumbuhkan belas kasih, dan setiap keberhasilan menjadi kesempatan untuk menunjuk ke arah lain, ke Hadirat yang menghanguskan segala yang menghalangi kasih-Nya.

Kalau kau masih ingin mempertahankan sedikit ruang untuk dirimu sendiri, pahamlah: Tuhan mungkin akan mengirimkan kebakaran kecil lagi. Jangan khawatir, ada selimut keselamatan yang cukup besar untuk menahanmu saat kamu belajar menari di antara bara, dan ada juga humor ilahi yang membuatmu tersenyum ketika bajumu akhirnya benar-benar pas.

 

Continue reading Cintamu Membunuhku

Thursday, September 25, 2025

Seperti pohon ditanam

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Seperti pohon ditanam

Seperti pohon dan gedung yang akarnya dalam atau pondasinya dalam dan kuat maka gedung itu atau pohon itu tinggi dan kuat.

Orang yang ditanam itu tidak enak. Prosesnya berat. Tapi ujungnya tinggi. Pengaruhnya besar.

Jika seseorang sedang berada di bawah pandangannya terbatas. Tapi jika dia berada di atas pandangannya luas. 

Saat berada di bawah dan di atas beban masalahnya sama tapi karena pandangannya beda maka jika berada di atas cenderung lebih leluasa dan tenang.

Mazmur 75: 7-8 berbicara tentang peninggian atau promosi: Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain.

Mereka yang ditanam atau mengalami proses pemondasian tidak kelihatan. Dan, apa yang tidak kelihatan dan semakin dalam semakin sulit dan butuh ketekunan.

Tuhan yang akan tinggikan. Proses pertumbuhan tanaman bukan hasil kerja manusia. Promosi itu dari Tuhan. Mereka yang tidak berakar dalam, tidak bertumbuh ke dalam dan lebih dalam akan mudah runtuh.

Bayangkan pohon atau bangunan yang kurang dalam akar atau pondasinya. Pohon atau gedung yang tinggi tapi akar atau pondasinya kurang dalam maka jika diterpa badai gampang roboh.

Suatu saat, dalam doa pagi di Oebobo, 24 Desember 23)









Continue reading Seperti pohon ditanam

Wednesday, September 24, 2025

Ketika Etika Tak Berestetika

 

ged pollo

oleh: grefer pollo



Etika itu ibarat fondasi rumah: kokoh, penting, tapi kalau cuma fondasi tanpa dinding dan taman, siapa yang betah tinggal? 

Nah, di situlah estetika masuk mengambil perannya, memberi keindahan, harmoni, dan rasa nyaman.

Masalahnya, kadang kita terlalu sibuk jadi “benar” sampai lupa jadi “indah.” 

Hasilnya? Etika yang kaku, seperti papan pengumuman larangan yang ditulis dengan huruf kapital semua: DILARANG MASUK! Itu memang benar, tapi bikin orang merasa dihardik, bukan diingatkan.

Alkitab sendiri sering mengingatkan bahwa kebenaran tanpa kasih itu kosong. 

Paulus menulis, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang atau canang yang gemerincing.” (1 Korintus 13:1). 

Artinya, etika tanpa estetika kasih hanyalah bunyi nyaring yang bikin telinga sakit.



Bayangkan kalau Yesus menegur orang Farisi dengan gaya “caps lock” tanpa kelembutan. Mungkin mereka langsung kabur, bukan bertobat. Tapi karena ada keindahan dalam cara-Nya tegas tapi penuh kasih. Teguran itu justru menembus hati.

Jadi, etika tanpa estetika itu seperti kopi tanpa gula bagi yang tak terbiasa: pahit, bikin meringis, dan akhirnya ditinggalkan. 

Tapi ketika etika dibungkus estetika kasih, ia jadi seperti kopi dengan aroma harum, tetap kuat, tapi mengundang orang untuk duduk, menyeruput, dan merenung.

Hidup ini bukan hanya soal benar atau salah, tapi juga soal bagaimana kebenaran itu dihidupi dengan indah. 

Karena dunia tidak hanya butuh aturan, tapi juga teladan yang memikat hati.


Dunia ini tidak "butuh" orang pintar tetapi butuh pintar-pintar jadi orang (_ged pollo).










Continue reading Ketika Etika Tak Berestetika

Kebencian: Sampah yang Bisa Disulap Jadi Kedamaian

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Kebencian itu seperti sisa makanan di kulkas yang sudah lupa asal-usulnya. Kamu tahu itu ada, kamu tahu baunya mulai aneh, tapi kamu juga tahu: kalau dibiarkan, bisa bikin kulkas (dan hidupmu) berantakan.

Tapi tunggu dulu. Sebelum kamu buang mentah-mentah, coba pikir: bisa tidak, kebencian itu diolah ulang? Bukan untuk dimakan. Tapi untuk jadi sesuatu yang lebih bergizi secara emosional.

Kebencian muncul karena luka. Luka dari kata-kata yang tajam, sikap yang dingin, atau janji yang cuma numpang lewat. Tapi luka itu, kalau dirawat, bisa sembuh. Dan kebencian, kalau diolah, bisa jadi bahan bakar untuk perubahan.

Bayangkan kamu punya blender emosi. Masukkan kebencian, tambahkan sedikit kesadaran, sejumput humor, dan segelas besar pengertian. Tekan tombol “maafkan” dan “lepaskan.” Hasilnya? Smoothie kedamaian. Rasanya mungkin pahit di awal, tapi efeknya bikin hati adem.

Karena hidup bukan tempat sampah. Hidup itu taman dan kamu berhak menanam damai, bukan menyimpan dendam.

Jadi, kalau kamu merasa hatimu penuh sampah emosional, jangan panik. Ambil napas. Ambil pelajaran. Dan mulai daur ulang.

Siapa tahu, dari situ kamu bisa jadi versi terbaik dari dirimu yang tidak hanya bersih dari kebencian, tapi juga wangi dengan ketenangan.

 

Kamu bisa jadi seniman. Seniman daur ulang emosi.

Ambil kebencian itu. Potong-potong jadi pelajaran. Lipat jadi pengertian. Warnai dengan empati. Tempelkan di dinding hati sebagai pengingat: “Aku pernah marah, tapi aku memilih damai.”

Karena damai itu bukan hadiah dari semesta. Damai itu berasal dari Yesus Kristus dan muncul dari hasil memilah, mengolah, dan menyadari bahwa memaafkan bukan berarti kalah. Itu berarti kamu cukup kuat untuk tidak membawa sampah ke masa depan.

Jadi, kalau kamu punya kebencian yang masih menyangkut, jangan dibuang ke sembarang tempat. Daur ulang saja. Siapa tahu, dari situ kamu bisa bikin taman hati yang subur tempat tumbuhnya ketenangan, bukan dendam.




Continue reading Kebencian: Sampah yang Bisa Disulap Jadi Kedamaian

1 Gamber 7 Cerita

 

ged pollo
oleh: grefer pollo

Di dinding ruang tamu, tergantung satu gambar. Bukan lukisan mahal, bukan foto pemenang Nobel. 

Hanya satu jepretan sederhana: seorang pria duduk di bangku taman, mengenakan kaus polos, celana jeans, dan ekspresi yang entah antara bingung atau sedang menghitung jumlah daun gugur.

Tapi jangan tertipu. Gambar itu punya tujuh cerita. Tujuh versi, tujuh sudut pandang, tujuh kemungkinan yang membuat kita bertanya-tanya: “Sebenarnya, apa yang terjadi?”

1. Cerita Sang Fotografer

Ia bilang itu momen spontan. Katanya, “Saya cuma mau foto burung merpati, tapi, pria itu duduk pas di frame. Bonus!” Elegan? Mungkin. Profesional? Meragukan.

2. Cerita Sang Pria

“Lagi berpikir tentang hidup,” katanya. Tapi rumor beredar, ia sebenarnya sedang menunggu tukang bakso lewat. Filosofis dan lapar, kombinasi yang tak terduga.

3. Cerita Sang Bangku

Bangku itu sudah lelah. Katanya, “Sudah 12 tahun menopang manusia dengan berbagai beban, dari patah hati sampai kejaran penagih hutang koperasi.” Ia ingin pensiun, tapi taman belum punya anggaran.

4. Cerita Daun Gugur

Daun-daun itu merasa dramatis. Mereka jatuh perlahan, berharap ada yang menulis puisi tentang mereka. Sayangnya, pria di bangku lebih tertarik pada bakso.

5. Cerita Seekor Kucing

Kucing liar di taman mengaku pernah duduk di bangku itu dulu. “Tempat strategis untuk mengintai ayam goreng dari pengunjung,” katanya. Kini ia merasa tergusur.

6. Cerita Seorang Anak Kecil

Anak itu melihat gambar dan berkata, “Itu ayahku waktu belum punya aku.” Ibunya tersenyum, ayahnya panik. Cerita berkembang jadi sesi tanya jawab yang panjang.

7. Cerita Kita

Kita melihat gambar itu dan menciptakan cerita sendiri. Mungkin tentang cinta yang tertunda, atau tentang seseorang yang akhirnya menemukan ketenangan. Atau mungkin… tentang bakso.

Gambar boleh satu, tapi cerita bisa tujuh—atau tujuh puluh tujuh. Karena setiap mata punya tafsir, dan setiap hati punya versi.







Continue reading 1 Gamber 7 Cerita

Sunday, September 21, 2025

“Do your best and let God take the rest”. Apakah seharusnya demikian?

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Ungkapan “Do your best and let God take the rest” populer sebagai motivasi: kita berusaha maksimal, lalu menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah. 

Namun dari perspektif teologi Kristen, kalimat ini memuat sejumlah implikasi problematis yang perlu dikritisi.


1. Pemisahan Antara Usaha Manusia dan Peran Allah

Menurut pepatah ini, ada “porsi” usaha manusia dan “sisa” yang menjadi tanggung jawab Allah. 

Padahal dalam ajaran Alkitab, segala hal bermula dan berakhir pada tindakan Allah. Yesus katakan Akulah Alfa dan Omega. Yang Awal dan Yang Akhir (Wahyu 22:13).

  • Allah sudah menyelenggarakan alam semesta jauh sebelum manusia berusaha sedikit pun.
  • Menyiratkan Allah hanya mengerjakan “sisa” proyek kita justru membalik paradigma: seolah Allah menunggu sampai kita selesai baru kemudian bertindak, padahal Dia terus-menerus memelihara ciptaan-Nya.

2. Ketergantungan Allah pada Kualitas Usaha Kita

Ungkapan tersebut membuat Allah seakan bergantung pada seberapa baik dan banyak kita bekerja:

  • “The rest” dinilai sebagai bagian yang Allah lakukan setelah kita semaksimal mungkin.
  • Konsekuensinya, jika usaha kita kurang, porsi Allah pun “tersisa” sedikit. Padahal Alkitab menegaskan kasih karunia dan kuasa Tuhan tidak terbatas oleh keterbatasan manusia.

3. Menyederhanakan Kerja Allah yang Melampaui Manusia

Dengan menyatakan Allah hanya menuntaskan “berserakan” dari pekerjaan kita, ungkapan ini meremehkan kuasa dan kedaulatan-Nya. Sebaliknya, kita perlu mengingat bahwa:

  • Allah lah yang memulai karya keselamatan dan memelihara hidup setiap saat.
  • Manusia berpartisipasi dalam karya Allah, bukan sebaliknya.


Ungkapan Alternatif


Do the rest, because God does all—and the best.”

Artinya:

  • Allah sudah, sedang, dan akan selalu mengerjakan yang terbaik menurut hikmat-Nya.
  • Manusia hanya “mengambil sisa” partisipasi yang memang Allah sudah sediakan bagi kita.


Implikasi Praktis dalam Kehidupan Iman

Mengadopsi ungkapan yang lebih teologis akurat membantu kita:

  • Menguatkan sikap bergantung penuh pada kasih karunia Tuhan.
  • Menghilangkan kecenderungan mengukur keberhasilan rohani hanya dari hasil usaha manusia.
  • Menghayati bahwa partisipasi kita sesungguhnya adalah respons atas inisiatif Allah yang tak pernah terputus.


Continue reading “Do your best and let God take the rest”. Apakah seharusnya demikian?

Love vs Lust: Kasih dan Nafsu Orang Muda: Kasih sebagai Tindakan yang Berakar pada Kebenaran

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Kasih bukan sekadar gema perasaan yang bergetar di dalam dada. Kasih nyata terwujud dalam langkah-langkah kecil yang kita lakukan setiap hari. 

Ketika kita menolong tanpa pamrih, mengulurkan tangan sebelum diminta, atau memilih berkata jujur meski kenyataannya pahit.

Menarik untuk dicermati bahwa kata kasih, seperti dalam 1Korintus 13:4-8: “tidak bersukacita karena ketidakadilan” (αδικια, adikia, harfiah: ketidakbenaran). 

Menggenggam kasih berarti menolak merayakan ketidakadilan, menolak menggembirakan hati kala kebenaran diinjak, dan menolak diam saat keadilan terlanggar. 

Dengan demikian banyak kesalahan dilakukan oleh kaum muda yang mengartikan atau mengatas namakan kasih lalu berzinah, hidup dalam nafsu dengan teman atau pacar, menyakiti orang lain, dan sebagainya, kemudian membuang orang itu begitu saja.

Saat kita memilih berdiri membela teman yang difitnah, saat kita menahan diri untuk tidak ikut-ikutan gosip, atau ketika kita rela mengorbankan kenyamanan demi menuntun orang tersesat kembali ke jalan terang, di situlah kasih menari. 

Kasih sejati menuntut integritas; ia selalu terikat dengan kebenaran.

Dalam bingkai kasih, tindakan kita menjadi cermin nilai yang kita pegang. 

Setiap keputusan jujur, setiap keberanian menegakkan keadilan, dan setiap pengakuan kesalahan adalah butir-butir cinta yang meneguhkan hubungan, bukan sekadar membuai perasaan.

Biarkan kasih kita berakar pada kebenaran. Karena hanya dengan kebenaran sebagai pijakan, kasih akan tumbuh teguh, menolak diinjak ulah ketidakbenaran, dan bersinar abadi dalam setiap jejak langkah kehidupan.


Kasih sejati adalah tindakan yang mengutamakan kebenaran dan keadilan. Nafsu, di sisi lain, adalah dorongan biologis yang mengejar kepuasan pribadi tanpa memperhatikan nilai-nilai yang lebih tinggi.

 

Apa Itu Kasih?

Kasih bukan sekadar perasaan hangat atau gairah sesaat. Kasih adalah rangkaian perilaku yang membangun kepercayaan dan keutuhan pasangan.

Kasih:

  • Berhubungan erat dengan kebenaran; ia “tidak bersukacita karena ketidakbenaran”
  • Mencari keadilan dan kebaikan bagi kedua pihak
  • Menuntun pada penyelesaian konflik secara terbuka dan jujur

 

Apa Itu Nafsu?

Nafsu sering muncul sebagai hasrat fisik yang intens dan mendesak. Ia bersifat sementara dan menitikberatkan pada keinginan diri sendiri.

Nafsu:

  • Fokus pada kepuasan indrawi
  • Cenderung mengabaikan komitmen jangka panjang
  • Bisa menimbulkan rasa bersalah atau penyesalan jika bertentangan dengan nilai kebenaran

 

Ciri-Ciri Kasih dalam Pacaran atau Pernikahan

  1. Mendengarkan sebelum berbicara dengan pasangan. Sungguh-sungguh peduli dan meluangkan waktu untuk benar-benar memahami kisah, kekhawatiran, atau impianmu.
  2. Komitmen pada pertumbuhan bersama. Mencari kenikmatan bersama dan menciptakan tujuan bersama. Misalnya menabung untuk rumah atau mempelajari bahasa baru. Menjadikan hubungan lebih bermakna.
  3. Mengoreksi dengan lembut bila salah paham muncul. Kasih mendorong penyelesaian yang adil, bukan menyalahkan secara emosional.

 

Ciri-Ciri Nafsu dalam Pacaran atau Pernikahan

  1. Mengejar keintiman fisik tanpa dialog emosi. Terburu-buru melewati pembicaraan penting agar bisa segera “kesampaian.”
  2. Menghindar dari tanggung jawab jangka panjang. Janji berubah-ubah saat situasi mulai sulit. Misalnya menolak diskusi finansial atau rencana anak.
  3. Rasa bersalah setelah bertindak nafsu yang tidak dikawal sering diikuti penyesalan dan jarak emosional.

 

Contoh saat berpacaran:

  • Kamu rela meunggu-menunggu chat dari pasangan yang galau tentang pekerjaan demi kebaikan pasanganmu, itu kasih.
  • Tetapi jika hubungan hanya terasa hidup saat berduaan di ranjang, itu nafsu.

 

Contoh saat pernikahan:

  • Suami istri yang sering mengalami konflik memilih menenangkan hati, lalu berbicara dengan sabar, dan berdoa bersama, itulah kasih dalam tindakan.
  • Sebaliknya, pasangan yang lebih suka menghindar dan mencari kenikmatan instan saat rumah penuh masalah, menunjukkan nafsu yang menguasai.

 

Merawat Kasih Sehari-Hari

  • Jadwalkan waktu khusus untuk diskusi terbuka tanpa gangguan gadget
  • Latih empati: tanyakan “Bagaimana perasaanmu hari ini?” dan dengarkan tanpa menghakimi
  • Buat ritual kecil: berpelukan sebelum tidur, tulis surat cinta sederhana, atau masak bersama
  • Belajar berkata “maaf” dan “terima kasih” dengan tulus di momen-momen kecil

 

Kasih yang dibangun di atas kebenaran akan mendorong hubungan yang tangguh dan bermakna. 

Nafsu tetap hadir dalam setiap hubungan, tetapi kasihlah yang menuntun kita melewatinya untuk tumbuh bersama. 

Percayalah, kasih yang bertumpu pada kebenaran akan selalu lebih memuaskan daripada kesenangan sesaat.






Continue reading Love vs Lust: Kasih dan Nafsu Orang Muda: Kasih sebagai Tindakan yang Berakar pada Kebenaran