oleh: grefer pollo
Cintamu Membunuhku
Ada sebuah kebakaran yang memberi kesan membara tetapi lembut dan pasti.
Bukan menghasilkan kepulan asap dan sirene, melainkan kebakaran yang memakan
ruang-ruang ego, menyapu retakan-retakan rasa nyaman palsu, dan meninggalkan
satu hal yang benar-benar hangus: aku yang dulu.
Mazmur itu berbicara dengan suara yang gampang dikenali, suara yang
bergetar ketika seseorang jatuh cinta bukan pada manusia, melainkan pada
Rumah-Nya. “Cinta akan rumahmu menghanguskan aku.”
Api itu tidak untuk menghancurkan tanpa tujuan; api itu membersihkan,
memurnikan, menyingkap siapa yang tersisa setelah semua kepasrahan dipanggang
dan terpanggang.
Aku pernah membayangkan iman sebagai mantel hangat yang kukenakan di
pagi dingin: nyaman, aman, pas di badan.
Namun kasih Tuhan ternyata lebih mirip
oven kaca raksasa yang setelah menyalakannya, membuatku sadar bahwa mantel itu
penuh noda—noda ego, ambisi, panggilan palsu, pelayanan palsu penuh obsesi diri
sendiri, mencari eksistensi diri palsu yang harus dilebur agar aku muat dalam
pakaian baru: kehidupan yang hanya untuk Dia.
Prosesnya? Menyakitkan, lucu,
ironis, serupa orang yang tertawa saat sadar bajunya terbalik di depan cermin.
Kesengsaraan awalnya terasa intolerable: rasa malu karena kebiasaan lama
tersingkap, kebiasaan untuk mengambil untung, kepentingan diri sendiri, untuk
menuntut, untuk mempertahankan citra.
Namun ada momen—aneh dan intim—ketika aku
menangkap bahwa “mati” yang ditawarkan kasih-Nya bukanlah kehancuran total,
melainkan pembebasan dari tirani diriku sendiri.
Aku mulai mengerti bahwa hidup
yang kupegang erat selama ini sebenarnya adalah tiruan: hidup yang dipoles
untuk dilihat manusia, bukan untuk memuliakan Tuhan.
Cara Kasih Tuhan Membunuh Keegoanku
- Pertama, kasih itu menatap langsung ke inti. Ia
tidak sibuk dengan kosmetik rohani. Dia melucuti; ia mengajak jujur. Di
situlah ego mulai goyah: palu kasih menumbuk satu demi satu alasan kita
berkuasa pada diri sendiri.
- Kedua, kasih itu menuntut pilihan. Ketika
engkau dicintai sampai mati oleh Tuhan, engkau dihadapkan pada pertanyaan
sederhana: siapa yang memimpin hidupmu? Kalau jawabannya masih “aku”,
kasih itu akan bertindak seperti dokter tegas yang menganjurkan operasi.
- Ketiga, prosesnya seringkali absurd. Ada
saat-saat ketika kamu menangis di sudut karena merasa kecil, lalu tertawa
di detik berikutnya karena menyadari betapa dramatisnya dirimu selama ini.
Humor kecil itu menjadi obat dalam proses yang menembus tulang.
Ada kalanya aku merasa seperti tokoh di drama komedi romantis: diculik
oleh cinta Ilahi, dibawa ke tempat tak dikenal, diberi pelajaran-tanpa-syarat
tentang bagaimana melepaskan.
Hanya bedanya, di akhir pertunjukan Tuhan tidak
menuliskan nomor telepon baru untuk dihubungi, Ia menuliskan kehidupan baru
untuk dijalani.
Surat Galatia menyuguhkan sebuah pernyataan yang tak kalah berani: “Aku
telah disalibkan bersama Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”
Pernyataan itu menjelaskan konkret apa yang mazmur rasakan secara
emosional.
Mazmur berteriak karena rindu Rumah-Nya; Galatia menyatakan bahwa
rindu itu berbuah radikalitas hidup: “aku mati” supaya “Kristus hidup.” Lebih
tepatnya: “Kristus mati supaya aku hidup”. Dan, Dia hidup selama-lamanya.
Di sini ada kesejajaran yang jelas: mazmur menunjukkan gejolak cinta
yang “menghanguskan”, Galatia memberi teologi pada pengalaman itu, mati secara
simbolis terhadap diri sendiri agar hidup bagi Kristus.
Ego kita tidak dihapus karena kecelakaan; ia dikubur sebagai konsekuensi
logis dari hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Ketika aku merespons
kasih itu, aku tidak berusaha lagi melakukan pertunjukan kepahlawanan rohani.
Sebaliknya, ada kebebasan menakjubkan: kalau bukan aku yang memimpin, maka
kesalahan dan kekonyolan yang kubuat tidak lagi menjadi pusat drama.
Tapi berhati-hatilah: ada godaan untuk menginventarisasi kebajikan baru:
sebuah ego versi rohani yang berkata, “Lihat, aku telah mati bagi diriku.”
Galatia memberi teguran halus: jika kita mulai memanfaatkan kematian diri itu
sebagai alat untuk menaikkan citra diri, maka kita meniadakan kasih yang
memanggil kita mati untuk hidup. Kasih yang sejati menghasilkan kerendahan
hati, bukan trofi moral.
Humor dalam Api yang Menyala
Bayangkan momen ketika Tuhan membongkar “playlist” hidupmu. Lagu-lagu
yang tadinya kau pasang untuk menegaskan siapa dirimu—lagu populer, lagu
ambisi, bahkan lagu “aku-lah-pahlawan”—semua diputar ulang di hadapan-Nya. Dia
menekan tombol next. Kau protes: “Tunggu, itu lagu kemenangan saya!”
Tuhan
hanya menatap sambil tersenyum lalu memutar lagu baru: “Hidup bagi Kristus.”
Ternyata lagu baru itu mudah dinyanyikan; liriknya sederhana: “Bukan aku,
tetapi Kristus.”
Humornya juga muncul dalam kebiasaan kita memikirkan ‘bagaimana’
mengorbankan diri. Kita merancang skenario heroik, tapi kenyataannya
pengorbanan seringkali sepele: memberi kursi di transportasi umum, mengakui
kesalahan kecil, melewatkan kesempatan mendapatkan pujian.
Banyak dari
momen-momen suci itu tampak keterlaluan biasa. Sebuah ironi: kematian besar
sering terjadi lewat hal-hal yang paling kecil.
Penutup
Cintamu membunuhku bukanlah ancaman; itu adalah undangan paling lembut
untuk berubah. Seperti mazmur yang terbakar oleh rindu akan rumah Tuhan, dan
seperti Galatia yang menegaskan kematian diri untuk kehidupan Kristus,
panggilan ini membawa kita dari sandbox ego kepada taman kehidupan yang lebih
besar.
Kematian ego bukan akhir; itu adalah kelahiran ulang yang membuat setiap
nafas menjadi doa, setiap kegagalan menjadi bahan komedi yang menumbuhkan belas
kasih, dan setiap keberhasilan menjadi kesempatan untuk menunjuk ke arah lain, ke
Hadirat yang menghanguskan segala yang menghalangi kasih-Nya.
Kalau kau masih ingin mempertahankan sedikit ruang untuk dirimu sendiri,
pahamlah: Tuhan mungkin akan mengirimkan kebakaran kecil lagi. Jangan khawatir,
ada selimut keselamatan yang cukup besar untuk menahanmu saat kamu belajar
menari di antara bara, dan ada juga humor ilahi yang membuatmu tersenyum ketika
bajumu akhirnya benar-benar pas.