Bayangkan suasana kelas atau rapat. Seorang fasilitator baru saja menjelaskan materi yang cukup rumit. Ia lalu bertanya, “Ada yang mau bertanya?” Ruangan hening. Padahal, jelas ada beberapa wajah yang masih kebingungan. Mengapa mereka diam?
Diam bukan berarti paham. Diam sering kali adalah hasil dari ketakutan
sosial dan tekanan psikologis. Banyak orang memilih aman dengan
tidak bertanya, karena bertanya dianggap membuka kelemahan diri. Akibatnya,
kesempatan belajar hilang, dan proses diskusi menjadi pasif.
Fenomena ini bukan hanya di ruang kelas. Dalam dunia kerja, rapat
organisasi, bahkan pertemuan komunitas, pola yang sama muncul: orang lebih
memilih diam daripada mengangkat tangan. Padahal, pertanyaan adalah pintu
menuju kepada pengetahuan baru dan pemahaman yang lebih dalam.
Bukti & Alasan Utama
Berbagai penelitian dan pengamatan sosial menunjukkan beberapa penyebab
utama:
- Takut
dianggap bodoh – Banyak
orang khawatir pertanyaannya akan dinilai remeh atau menunjukkan
ketidaktahuan.
- Malu atau
pemalu secara pribadi –
Rasa minder membuat seseorang enggan berbicara di depan umum.
- Takut
dihakimi atau ditertawakan
– Pengalaman buruk, misalnya pernah ditertawakan saat bertanya, bisa
menimbulkan trauma jangka panjang.
- Gengsi dan
ego – Ada yang merasa
harga dirinya jatuh jika harus bertanya, seolah-olah mengakui kelemahan.
- Belum paham
pokok bahasan – Kadang
orang tidak tahu harus bertanya apa, karena gambaran besar materi saja
belum jelas.
- Budaya
pendidikan yang pasif –
Dalam konteks mahasiswa, kurikulum yang padat dan orientasi pada nilai
membuat ruang bertanya semakin sempit.
- Tak ingin merepotkan orang lain – Ada yang berpikir lebih baik mencari sendiri daripada bertanya.
Refleksi
Jika ditarik ke akar, rasa takut bertanya sering kali lahir dari budaya malu dan tekanan sosial. Padahal, bertanya justru tanda kehausan akan ilmu dan keberanian intelektual.
Seperti kata pepatah, “Malu
bertanya, sesat di jalan, tidak bertanya tidak jalan-jalan. Banyak bertanya
banyak jalan-jalan. Banyak berjalan banyak yang dilihat, banyak pengetahuannya.”
Untuk mengubahnya, perlu dibangun lingkungan yang aman, di mana pertanyaan dihargai sebagai bagian dari proses belajar.
Fasilitator, guru, mentor,
atau pemimpin bisa menormalisasi pertanyaan dengan memberi apresiasi, bukan
penilaian negatif.
0 comments:
Post a Comment