Thursday, October 9, 2025

Mengapa Orang Tidak Berani Bertanya

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Bayangkan suasana kelas atau rapat. Seorang fasilitator baru saja menjelaskan materi yang cukup rumit. Ia lalu bertanya, “Ada yang mau bertanya?” Ruangan hening. Padahal, jelas ada beberapa wajah yang masih kebingungan. Mengapa mereka diam?

Diam bukan berarti paham. Diam sering kali adalah hasil dari ketakutan sosial dan tekanan psikologis. Banyak orang memilih aman dengan tidak bertanya, karena bertanya dianggap membuka kelemahan diri. Akibatnya, kesempatan belajar hilang, dan proses diskusi menjadi pasif.

Fenomena ini bukan hanya di ruang kelas. Dalam dunia kerja, rapat organisasi, bahkan pertemuan komunitas, pola yang sama muncul: orang lebih memilih diam daripada mengangkat tangan. Padahal, pertanyaan adalah pintu menuju kepada pengetahuan baru dan pemahaman yang lebih dalam.

 

Bukti & Alasan Utama

Berbagai penelitian dan pengamatan sosial menunjukkan beberapa penyebab utama:

  • Takut dianggap bodoh – Banyak orang khawatir pertanyaannya akan dinilai remeh atau menunjukkan ketidaktahuan.
  • Malu atau pemalu secara pribadi – Rasa minder membuat seseorang enggan berbicara di depan umum.
  • Takut dihakimi atau ditertawakan – Pengalaman buruk, misalnya pernah ditertawakan saat bertanya, bisa menimbulkan trauma jangka panjang.
  • Gengsi dan ego – Ada yang merasa harga dirinya jatuh jika harus bertanya, seolah-olah mengakui kelemahan.
  • Belum paham pokok bahasan – Kadang orang tidak tahu harus bertanya apa, karena gambaran besar materi saja belum jelas.
  • Budaya pendidikan yang pasif – Dalam konteks mahasiswa, kurikulum yang padat dan orientasi pada nilai membuat ruang bertanya semakin sempit.
  • Tak ingin merepotkan orang lain – Ada yang berpikir lebih baik mencari sendiri daripada bertanya.

Refleksi

Jika ditarik ke akar, rasa takut bertanya sering kali lahir dari budaya malu dan tekanan sosial. Padahal, bertanya justru tanda kehausan akan ilmu dan keberanian intelektual

Seperti kata pepatah, “Malu bertanya, sesat di jalan, tidak bertanya tidak jalan-jalan. Banyak bertanya banyak jalan-jalan. Banyak berjalan banyak yang dilihat, banyak  pengetahuannya.”

Untuk mengubahnya, perlu dibangun lingkungan yang aman, di mana pertanyaan dihargai sebagai bagian dari proses belajar. 

Fasilitator, guru, mentor, atau pemimpin bisa menormalisasi pertanyaan dengan memberi apresiasi, bukan penilaian negatif.



0 comments:

Post a Comment