Thursday, October 23, 2025

Jejak Seorang Pemimpin

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Jejak Seorang Pemimpin

Keberhasilan seorang pemimpin tidak pernah diukur hanya dari kata-kata indah yang ia ucapkan, atau dari gelar dan jabatan yang melekat pada dirinya. Ukuran sejati keberhasilan seorang pemimpin adalah jejak yang ditinggalkannya. 

Jejak yang diikuti oleh orang-orang yang percaya, meneladani, dan melanjutkan visi yang ia bagikan. Pemimpin lahir dari dalam komunitas yang ada masalahnya. 

Dan, pemimpin sejati bukanlah bintang yang bersinar sendirian di langit, melainkan matahari yang cahayanya menyalakan kehidupan bagi banyak orang.

Sejarah dunia memberi kita banyak contoh. Mahatma Gandhi, misalnya, tidak meninggalkan kekayaan materi atau kekuasaan politik yang absolut. 

Namun, jutaan orang India mengikuti jejak perjuangannya yang berlandaskan pada prinsip ahimsa (tanpa kekerasan). Hasilnya, India meraih kemerdekaan tanpa peperangan besar. 

Begitu pula Nelson Mandela: keberhasilannya tidak hanya terletak pada posisinya sebagai Presiden Afrika Selatan, melainkan pada generasi yang meneladani semangat rekonsiliasi dan persatuan yang ia perjuangkan.

Dalam konteks Indonesia, kita melihat bagaimana jejak kepemimpinan Ki Hajar Dewantara tetap hidup hingga kini. Semboyannya “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” bukan sekadar kata-kata, melainkan prinsip kepemimpinan yang terus diikuti oleh para pendidik bangsa. 

Dari sini kita belajar bahwa keberhasilan pemimpin sejati adalah ketika gagasannya tidak mati bersama dirinya, melainkan terus hidup dalam tindakan orang lain.

Dan, yang lebih ultimate atau tertinggi dari semua adalah apa yang Tuhan Yesus sudah lakukan.

Alkitab pun meneguhkan prinsip ini. Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1). 

Paulus tidak menonjolkan dirinya, melainkan menegaskan bahwa kepemimpinan sejati adalah mengarahkan orang lain untuk mengikuti teladan yang benar. 

Yesus Kristus sendiri adalah puncak teladan kepemimpinan: Ia tidak hanya mengajar, tetapi hidup-Nya menjadi pola yang diikuti para murid. Hingga kini, dua ribu tahun kemudian, jejak-Nya masih diikuti oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Dari perspektif iman, keberhasilan seorang pemimpin bukanlah ketika ia diagungkan, melainkan ketika ia mampu menuntun orang lain untuk berjalan dalam kebenaran, kasih, dan pelayanan. Pemimpin yang sejati adalah gembala yang rela berkorban bagi dombanya, bukan sekadar penguasa yang menuntut ketaatan.

Sering kali orang mengira pemimpin adalah mereka yang berada di puncak hierarki, yang memiliki otoritas formal, atau yang suaranya paling lantang. 

Namun, ada definisi yang lebih dalam dan jarang diungkap: pemimpin adalah seseorang yang keberadaannya membuat orang lain berani menemukan dirinya sendiri. Pemimpin sejati tidak mencetak pengikut yang pasif, melainkan melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang aktif dan bijak.

Dengan kata lain, pemimpin bukanlah pusat perhatian, melainkan pusat gravitasi yang menyatukan dan menggerakkan. Ia tidak selalu berada di depan; kadang ia berjalan di tengah untuk membangkitkan semangat, atau di belakang untuk memberi motivasi dan inspirasi. Inilah kepemimpinan yang elegan: tidak haus pengakuan, tetapi meninggalkan pengaruh yang abadi.

Seorang pemimpin yang menyamakan kebenaran dengan kekuasaan sesungguhnya sedang membangun fondasi yang rapuh. Kekuasaan adalah instrumen, sedangkan kebenaran adalah nilai. 

Ketika keduanya diperlakukan seolah identik, maka ukuran benar–salah ditentukan oleh siapa yang berkuasa, bukan oleh prinsip moral atau keadilan. 

Pemimpin seperti ini mungkin tampak cerdas, karena mampu merangkai argumen, menguasai retorika, dan menundukkan lawan dengan logika yang kelihatannya kokoh. Namun, kecerdasan tanpa kebijaksanaan hanya melahirkan kesombongan intelektual.

Mengapa terlihat pintar?

  • Ia mampu membungkus kepentingan pribadi dengan bahasa “kebenaran.”
  • Ia menggunakan logika kekuasaan dan relasi kekuasaan untuk meyakinkan orang bahwa tindakannya sah.
  • Ia menampilkan diri sebagai sosok yang rasional, padahal yang ia lakukan hanyalah mengaburkan batas antara kepentingan dan prinsip.

Mengapa tidak bijaksana?

  • Kebijaksanaan menuntut kerendahan hati untuk mengakui bahwa kebenaran lebih tinggi daripada kepentingan manusia.
  • Pemimpin yang bijaksana tahu bahwa kekuasaan hanyalah sarana untuk melayani, bukan untuk mendefinisikan kebenaran.
  • Menyamakan kebenaran dengan kekuasaan akan menjerumuskan masyarakat pada relativisme moral: apa pun yang dilakukan penguasa dianggap benar, meski jelas merugikan banyak orang.


Keberhasilan seorang pemimpin adalah ketika jejaknya tetap hidup dalam langkah orang lain. 

Bukti sejarah, nilai Alkitabiah, dan definisi yang lebih dalam semuanya mengarah pada satu kesimpulan: pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya memimpin untuk hari ini, tetapi menyalakan api yang terus menyala di hati generasi berikutnya.

Dalam Kitab Yesaya 5:20 tertulis: “Celakalah mereka yang menyebut kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat.” Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran tidak boleh diputarbalikkan demi kepentingan kuasa. 

Yesus sendiri menolak godaan untuk menggunakan kuasa demi kepentingan pribadi (Matius 4:8–10). Dari sini kita belajar bahwa kebijaksanaan lahir ketika pemimpin tunduk pada kebenaran yang lebih tinggi daripada dirinya.

Pemimpin yang menyamakan kebenaran dengan kekuasaan memang bisa terlihat pintar, tetapi kepintaran itu hanya ilusi. Ia kehilangan kebijaksanaan karena gagal menempatkan kebenaran sebagai kompas moral. 

Pada akhirnya, sejarah sering membuktikan: kekuasaan yang tidak berakar pada kebenaran akan runtuh, sementara kebenaran yang dijalankan dengan bijaksana akan melahirkan kepemimpinan yang abadi.



0 comments:

Post a Comment