Jejak Seorang Pemimpin
Keberhasilan seorang pemimpin tidak pernah diukur hanya dari kata-kata indah yang ia ucapkan, atau dari gelar dan jabatan yang melekat pada dirinya. Ukuran sejati keberhasilan seorang pemimpin adalah jejak yang ditinggalkannya.
Jejak yang diikuti oleh orang-orang yang percaya, meneladani, dan melanjutkan visi yang ia bagikan. Pemimpin lahir dari dalam komunitas yang ada masalahnya.
Dan, pemimpin sejati bukanlah bintang yang bersinar sendirian di langit,
melainkan matahari yang cahayanya menyalakan kehidupan bagi banyak orang.
Sejarah dunia memberi kita banyak contoh. Mahatma Gandhi, misalnya, tidak meninggalkan kekayaan materi atau kekuasaan politik yang absolut.
Namun, jutaan orang India mengikuti jejak perjuangannya yang berlandaskan pada prinsip ahimsa (tanpa kekerasan). Hasilnya, India meraih kemerdekaan tanpa peperangan besar.
Begitu pula Nelson Mandela: keberhasilannya tidak hanya
terletak pada posisinya sebagai Presiden Afrika Selatan, melainkan pada
generasi yang meneladani semangat rekonsiliasi dan persatuan yang ia
perjuangkan.
Dalam konteks Indonesia, kita melihat bagaimana jejak kepemimpinan Ki Hajar Dewantara tetap hidup hingga kini. Semboyannya “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” bukan sekadar kata-kata, melainkan prinsip kepemimpinan yang terus diikuti oleh para pendidik bangsa.
Dari sini kita belajar bahwa keberhasilan pemimpin sejati adalah ketika
gagasannya tidak mati bersama dirinya, melainkan terus hidup dalam tindakan orang
lain.
Dan, yang lebih ultimate atau tertinggi dari semua adalah apa yang Tuhan
Yesus sudah lakukan.
Alkitab pun meneguhkan prinsip ini. Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1).
Paulus tidak menonjolkan dirinya, melainkan menegaskan bahwa kepemimpinan sejati adalah mengarahkan orang lain untuk mengikuti teladan yang benar.
Yesus Kristus sendiri adalah puncak teladan
kepemimpinan: Ia tidak hanya mengajar, tetapi hidup-Nya menjadi pola yang
diikuti para murid. Hingga kini, dua ribu tahun kemudian, jejak-Nya masih
diikuti oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Dari perspektif iman, keberhasilan seorang pemimpin bukanlah ketika ia
diagungkan, melainkan ketika ia mampu menuntun orang lain untuk berjalan dalam
kebenaran, kasih, dan pelayanan. Pemimpin yang sejati adalah gembala yang rela
berkorban bagi dombanya, bukan sekadar penguasa yang menuntut ketaatan.
Sering kali orang mengira pemimpin adalah mereka yang berada di puncak hierarki, yang memiliki otoritas formal, atau yang suaranya paling lantang.
Namun, ada definisi yang lebih dalam dan jarang diungkap: pemimpin adalah
seseorang yang keberadaannya membuat orang lain berani menemukan dirinya
sendiri. Pemimpin sejati tidak mencetak pengikut yang pasif, melainkan
melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang aktif dan bijak.
Dengan kata lain, pemimpin bukanlah pusat perhatian, melainkan pusat
gravitasi yang menyatukan dan menggerakkan. Ia tidak selalu berada di depan;
kadang ia berjalan di tengah untuk membangkitkan semangat, atau di belakang
untuk memberi motivasi dan inspirasi. Inilah kepemimpinan yang elegan: tidak
haus pengakuan, tetapi meninggalkan pengaruh yang abadi.
Seorang pemimpin yang menyamakan kebenaran dengan kekuasaan sesungguhnya sedang membangun fondasi yang rapuh. Kekuasaan adalah instrumen, sedangkan kebenaran adalah nilai.
Ketika keduanya diperlakukan seolah identik, maka ukuran benar–salah ditentukan oleh siapa yang berkuasa, bukan oleh prinsip moral atau keadilan.
Pemimpin seperti ini mungkin tampak cerdas, karena mampu
merangkai argumen, menguasai retorika, dan menundukkan lawan dengan logika yang
kelihatannya kokoh. Namun, kecerdasan tanpa kebijaksanaan hanya melahirkan
kesombongan intelektual.
Mengapa terlihat pintar?
- Ia mampu
membungkus kepentingan pribadi dengan bahasa “kebenaran.”
- Ia menggunakan
logika kekuasaan dan relasi kekuasaan untuk meyakinkan orang bahwa
tindakannya sah.
- Ia menampilkan
diri sebagai sosok yang rasional, padahal yang ia lakukan hanyalah
mengaburkan batas antara kepentingan dan prinsip.
Mengapa tidak bijaksana?
- Kebijaksanaan
menuntut kerendahan hati untuk mengakui bahwa kebenaran lebih tinggi
daripada kepentingan manusia.
- Pemimpin yang
bijaksana tahu bahwa kekuasaan hanyalah sarana untuk melayani, bukan untuk
mendefinisikan kebenaran.
- Menyamakan
kebenaran dengan kekuasaan akan menjerumuskan masyarakat pada relativisme
moral: apa pun yang dilakukan penguasa dianggap benar, meski jelas
merugikan banyak orang.
Keberhasilan seorang pemimpin adalah ketika jejaknya tetap hidup dalam langkah orang lain.
Bukti sejarah, nilai Alkitabiah, dan definisi yang lebih
dalam semuanya mengarah pada satu kesimpulan: pemimpin sejati adalah mereka
yang tidak hanya memimpin untuk hari ini, tetapi menyalakan api yang terus
menyala di hati generasi berikutnya.
Dalam Kitab Yesaya 5:20 tertulis: “Celakalah mereka yang menyebut kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat.” Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran tidak boleh diputarbalikkan demi kepentingan kuasa.
Yesus sendiri
menolak godaan untuk menggunakan kuasa demi kepentingan pribadi (Matius
4:8–10). Dari sini kita belajar bahwa kebijaksanaan lahir ketika pemimpin tunduk
pada kebenaran yang lebih tinggi daripada dirinya.
Pemimpin yang menyamakan kebenaran dengan kekuasaan memang bisa terlihat pintar, tetapi kepintaran itu hanya ilusi. Ia kehilangan kebijaksanaan karena gagal menempatkan kebenaran sebagai kompas moral.
Pada akhirnya, sejarah sering
membuktikan: kekuasaan yang tidak berakar pada kebenaran akan runtuh, sementara
kebenaran yang dijalankan dengan bijaksana akan melahirkan kepemimpinan yang
abadi.
0 comments:
Post a Comment