“Bangsa-Ku binasa karena tidak berpengetahuan,” demikian firman dalam Hosea 4:6. Namun sesungguhnya, bukan karena pengetahuan itu tidak ada, melainkan karena manusia menolak untuk mengindahkannya.
Cahaya telah datang ke
dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang. Inilah
akar persoalan: bukan kekurangan informasi, melainkan keengganan untuk menerima
kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihatnya begitu jelas. Seorang perokok tahu bahwa rokok merusak paru-paru, bahkan bungkus rokok sendiri telah menjeritkan peringatan. Namun ia tetap menyalakan sebatang demi sebatang, seakan-akan tulisan itu ditujukan kepada orang lain.
Seorang pengendara motor tahu bahwa helm menyelamatkan nyawa, tetapi ia memilih melepasnya demi kenyamanan sesaat.
Seorang pelajar tahu bahwa menunda belajar akan
membuatnya gagal, tetapi ia tetap menunda hingga malam terakhir. Seorang pekerja
tahu bahwa sesuatu harus segera dikerjakan tetapi sengaja memilih untuk menunda
mengerjakan. Pengetahuan ada, tetapi kehendak menolak tunduk. Tahu tetapi tidak
mau tahu.
Riset modern mendukung hal ini. Dalam psikologi dikenal istilah “willful ignorance” atau ketidaktahuan yang disengaja. Sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal American Psychological Association (2023) memberi pengertian ketidaktahuan yang disengaja itu sebagai willful ignorance.
Mereka yang berada di tahap ini secara sadar memilih untuk mengabaikan sebuah
informasi penting.
Mengapa demikian?
Riset itu mengatakan ketidaktahuan yang disengaja muncul dalam situasi di mana kepentingan pengambil keputusan mungkin bertentangan dengan kepentingan orang lain.
Dengan kata lain, mereka ingin ‘cari aman’ dan memilih untuk tidak
berseteru dengan pihak lain.
Alasan lain adalah karena mereka ingin memiliki citra diri sebagai orang
yang altruistik (sifat atau perilaku yang menunjukkan
kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau
keuntungan pribadi. Orang yang altruistik rela membantu, berkorban, atau
mendahulukan kepentingan orang lain demi kebaikan bersama), meskipun mereka tahu
ada kemungkinan dampak negatif terhadap orang lain.
Studi menunjukkan bahwa manusia sering menghindari informasi yang
berpotensi menuntut perubahan perilaku. Misalnya, penelitian di bidang
kesehatan menemukan bahwa banyak orang enggan melakukan tes medis karena takut
mengetahui hasil yang buruk. Mereka lebih memilih ketenangan semu daripada
kebenaran yang menuntut tindakan.
Data empiris juga berbicara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa lebih dari 7 juta kematian per tahun disebabkan oleh rokok, meski informasi bahaya rokok sudah tersebar luas.
Lebih dari 50 juta orang meninggal akibat kecelakaan di jalan sejak mobil diciptakan oleh pengusaha Jerman Karl Benz pada 1886.
Bank Dunia
melaporkan bahwa sekitar 1,3 juta orang meninggal tiap tahun akibat
kecelakaan lalu lintas, banyak di antaranya karena pengendara mengabaikan
aturan keselamatan yang sudah jelas. Fakta-fakta ini bukan rahasia, tetapi
manusia sering memilih untuk menutup mata.
Fenomena ini juga tampak dalam isu lingkungan. Laporan IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) berulang kali menegaskan bahwa aktivitas manusia mempercepat pemanasan global.
Namun sebagian orang tetap
menolak, bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak mau tahu, sebab
pengakuan berarti harus mengubah gaya hidup, meninggalkan kenyamanan, dan
menanggung biaya.
Alkitab sendiri berulang kali menyingkapkan pola ini. Firaun tahu bahwa tangan Tuhan bekerja melalui Musa, tetapi ia mengeraskan hati.
Orang Farisi melihat mukjizat Yesus, tetapi mereka menutup mata. Pengetahuan hadir, tetapi kehendak menolak. Maka jelaslah, masalah manusia bukanlah kegelapan tanpa cahaya, melainkan menutup mata di tengah terang.
Penutup
Masalah manusia bukan tidak tahu tetapi tidak mau tahu.
Seperti kata Yesus, “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah
ia mendengar.” Karena pada akhirnya, keselamatan dan kebinasaan tidak
ditentukan oleh ada atau tidaknya pengetahuan, melainkan oleh kesediaan hati
untuk menerima kebenaran.
Amin, “willful ignorance” atau ketidaktahuan yang disengaja.
ReplyDelete