Wednesday, October 7, 2020

,

Belajar Dimulai dari Keluarga

oleh: Grefer Pollo, S.P., M.Pd

“Nak, kamu harus dengarkan papa. Kamu itu harus belajar yang giat, rajin, supaya kamu punya banyak teman, kamu bisa masuk jurusan IPA”. Kata seorang bapak kepada anaknya. “Tetapi saya tidak suka IPA, papa. Saya suka IPS. Banyak teman saya yang mau masuk IPS. Saya tidak suka biologi, kimia. MENJENUHKAN!!! Saya benci pelajaran itu. Saya juga tidak suka gurunya…”. 

Jika Anda berada di sana, di tengah perdebatan itu, saya yakin, Anda dapat menceritakan ulang perdebatan itu kepada saya dengan baiknya. Begitulah kebanyakan realita dalam kehidupan Anda dan saya setiap hari. Perbedaan cara pandang orangtua dan anak dalam memilih dan menentukan arah masa depan kerap terjadi karena beda pengalaman, beda usia, beda nilai hidup, beda cara berpikir, beda perkembangan teknologi dan informasi, beda generasi. Dalam beberapa kisah, orangtua cenderung mendesak anaknya mengikuti mereka. 

Lebih dari separuh penduduk dunia ini hidup tanpa menyadari bahwa seperti sebuah sekolah, kehidupan memiliki kurikulumnya sendiri. Kurikulum itu ditetapkan oleh Tuhan sebagai Pencipta sekolah kehidupan yang berdaulat atas segala sesuatu. Setiap orang yang belajar dengan baik akan memiliki rapor yang menyenangkan, semakin mengenal dan mengasihi-Nya. Akan sangat mungkin semakin naik dan bukan turun, menjadi kepala dan bukan ekor. 

Sekolah kehidupan menjadi sarana pembentukan manusia secara utuh dan sempurna seperti yang dirancangkan oleh Tuhan sebelumnya. Sekolah kehidupan memiliki ujian-ujian yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Seperti tamu pada malam hari ketika Anda sudah hampir pulas tertidur. Sikap tamu tersebut terkadang di luar etika, di luar logika, di luar kebiasaan, di luar harapan, bersifat menuntut untuk dilayani, menuntut untuk diselesaikan tanpa waktu yang cukup untuk melakukan persiapan, tanpa estetika, dan perhitungan sebelumnya. Bagi hampir seantero manusia tamu ini betul-betul menjengkelkan. Untuk menghadapi tamu ini dan memasak “menunya” membutuhkan keberanian, keyakinan iman, hikmat, pengertian yang benar, kreativitas dalam kebenaran serta kuasa Ilahi. Sayangnya, seringkali manusia berada dalam keadaan tidak siap untuk menghadapi ujian-ujian tersebut. Banyak dari mereka yang sambil memasak “menunya” masih tetap terbawa mimpi tidurnya sehingga banyak yang gagal dalam ujian kehidupan ini. Kurikulumnya belum pernah dipelajari sebelumnya. Biaya untuk memperbaiki kerusakan dan kegagalan akibat ujian kehidupan ini sangat besar. Energi yang sangat besar dibutuhkan untuk mengangkat kembali mereka yang sudah jatuh. Dibutuhkan tangan yang kuat untuk mengangkat yang sudah terjatuh. Dibutuhkan iman yang kokoh serta keberanian untuk berdiri kembali di depan orang banyak. Dibutuhkan “wajah” baru untuk menutup muka yang sudah terlanjur malu. Siapakah yang sanggup melakukannya? Siapakah yang dapat berdiri di samping, mengulurkan tangannya, lalu mengangkat yang sudah jatuh? Dapatkah mereka yang sedang berada bersama dalam lumpur rawa menolong yang lainnya? Kegagalan-kegagalan ini membuat bejana (baca: hidup) itu kemudian menjadi rusak. 

Ketika bejana itu rusak, dalam otoritas dan anugerah-Nya, Sang Penjunan akan memperbaiki dan menjadikannya menjadi bejana lain yang indah dalam pandangan-Nya. Mereka yang telah berhasil dan lulus kriteria ketuntasan belajar dalam sekolah kehidupan akhirnya mendapatkan hadiah berupa upah kekal dari Sang Guru Agung yakni Yesus Kristus. 

Namun, bagaimana pemahaman kebanyakan orangtua dalam relevansinya dengan hal ini? Adakah para orangtua memahami kuriukulum kehidupan ini? Adakah mereka sedang menerapkan model belajar untuk menghadapi ujian dari pascabelajar kurikulum kehidupan ini? Allah telah membentuk keluarga pertama melalui manusia pertama yakni Adam dan Hawa. 

Seluruh aspek kehidupan didesain layaknya sebuah keluarga. 


Keluarga adalah tempat yang terindah di dalam kehidupan. Tempat yang aman dan tenteram. Tempat di mana setiap kesalahan diterima tanpa di-bully namun, didisiplinkan demi perbaikan. Tempat di mana saat memberi dan saat menerima terjadi. Tempat di mana kasih, keampunan, dan keadilan dalam kebenaran dijalankan sehingga lahirlah kemuliaan dan hormat yang satu dengan lainnya. Tempat di mana ketika Anda memasuki rumah yang sedang dalam kegelapan lalu seseorang akan berlari mengambil sebuah pelita bagi Anda. Tempat di mana saat Anda sedang menggigil kedinginan kemudian yang lainnya mengambil selimut, menutup Anda sambil merangkul Anda. Tempat di mana setiap tetesan airmata Anda memiliki makna dan takkan dibiarkan menetes sia-sia lalu jatuh ke bumi. Tempat di mana kegirangan dan sukacita Anda dirayakan bersama tanpa rasa iri dan dengki. Tempat di mana setiap tertawa bermakna dan takkan pernah dibiarkan seorangpun tertawa sendirian. Keluarga adalah tempat di mana setelah Anda menjadi letih, lelah, sedih, capek, cukup waktu bersuka di luar rumah maka Anda akan rindu untuk pulang kembali. Pulang kembali ke rumah. Selain, Pencipta Anda, maka tak ada yang mengasihi Anda lebih daripada keluarga Anda. Saat Anda bahagia dan berkecukupan, tetangga dan teman bergaul Anda akan menerima Anda apa adanya. Tapi saat Anda sedih dan butuh dimengerti keluarga Anda adalah orang pertama yang akan menerima Anda apa adanya dan bersama Anda. 


diambil dari buku "Belajar, Bukan Supaya Pintar"

7 comments:

  1. Menarik, keluarga tempat terindah

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih. selamat membangun keluarga yang indah

      Delete
    2. terima kasih ibu rita. selamat membangun keluarga yang indah

      Delete
  2. Ya, sudah dalam pengetahuan umum bahwa sekolah informal dan primer itu adalah keluarga. Jadi keluarga sebagai institusi pendidikan walau hanya informal tetap selalu belum dipahami secara utuh oleh orang tua. Jadi, orang tua selalu menaruh harapan terbesar proses pembelajaran itu pada institusi pendidikan formal yaitu sekolah. Padahal sekolah tidak secara utuh seutuhnya membelajarkan sikap dan karakter. Ok. Good article

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih pak roni. Memang sekolah perlu bekerja sama dengan keluarga dalam mendidik tiap siswa yang adalah anak-anak dari sebuah keluarga yang menitipkan anak-anak meerka kepada sekolah untuk dididik. Didikan itu diharapkan memiliki nilai yang sama dengan nilai keluarga itu

      Delete
  3. Luar biasa...kiranya keluarga/orang tua siswa menerima guru yang melakukan kunjungan rumah era pandemi ini sebagai bagian dari kelurganya.

    ReplyDelete