Etika itu ibarat fondasi rumah: kokoh, penting, tapi kalau cuma fondasi tanpa dinding dan taman, siapa yang betah tinggal?
Nah, di situlah estetika masuk mengambil perannya, memberi keindahan, harmoni, dan rasa nyaman.
Masalahnya, kadang kita terlalu sibuk jadi “benar” sampai lupa jadi “indah.”
Hasilnya? Etika yang kaku, seperti papan pengumuman larangan yang ditulis dengan huruf kapital semua: DILARANG MASUK! Itu memang benar, tapi bikin orang merasa dihardik, bukan diingatkan.
Alkitab sendiri sering mengingatkan bahwa kebenaran tanpa kasih itu kosong.
Paulus menulis, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang atau canang yang gemerincing.” (1 Korintus 13:1).
Artinya, etika tanpa estetika kasih hanyalah bunyi nyaring yang bikin telinga sakit.
Lagu untuk pelayanan kepada Tuhan | Beritakan Injil Tuhan | Penuhi Panggilan Pelayananmu
Bayangkan kalau Yesus menegur orang Farisi dengan gaya “caps lock” tanpa kelembutan. Mungkin mereka langsung kabur, bukan bertobat. Tapi karena ada keindahan dalam cara-Nya tegas tapi penuh kasih. Teguran itu justru menembus hati.
Jadi, etika tanpa estetika itu seperti kopi tanpa gula bagi yang tak terbiasa: pahit, bikin meringis, dan akhirnya ditinggalkan.
Tapi ketika etika dibungkus estetika kasih, ia jadi seperti kopi dengan aroma harum, tetap kuat, tapi mengundang orang untuk duduk, menyeruput, dan merenung.
Hidup ini bukan hanya soal benar atau salah, tapi juga soal bagaimana kebenaran itu dihidupi dengan indah.
Karena dunia tidak hanya butuh aturan, tapi juga teladan yang memikat hati.
Dunia ini tidak "butuh" orang pintar tetapi butuh pintar-pintar jadi orang (_ged pollo).
0 comments:
Post a Comment