Tuesday, September 30, 2025

Cintamu Membunuhku

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Cintamu Membunuhku

Ada sebuah kebakaran yang memberi kesan membara tetapi lembut dan pasti. 

Bukan menghasilkan kepulan asap dan sirene, melainkan kebakaran yang memakan ruang-ruang ego, menyapu retakan-retakan rasa nyaman palsu, dan meninggalkan satu hal yang benar-benar hangus: aku yang dulu.

Mazmur itu berbicara dengan suara yang gampang dikenali, suara yang bergetar ketika seseorang jatuh cinta bukan pada manusia, melainkan pada Rumah-Nya. “Cinta akan rumahmu menghanguskan aku.”


Api itu tidak untuk menghancurkan tanpa tujuan; api itu membersihkan, memurnikan, menyingkap siapa yang tersisa setelah semua kepasrahan dipanggang dan terpanggang.

Aku pernah membayangkan iman sebagai mantel hangat yang kukenakan di pagi dingin: nyaman, aman, pas di badan. 

Namun kasih Tuhan ternyata lebih mirip oven kaca raksasa yang setelah menyalakannya, membuatku sadar bahwa mantel itu penuh noda—noda ego, ambisi, panggilan palsu, pelayanan palsu penuh obsesi diri sendiri, mencari eksistensi diri palsu yang harus dilebur agar aku muat dalam pakaian baru: kehidupan yang hanya untuk Dia. 

Prosesnya? Menyakitkan, lucu, ironis, serupa orang yang tertawa saat sadar bajunya terbalik di depan cermin.

Kesengsaraan awalnya terasa intolerable: rasa malu karena kebiasaan lama tersingkap, kebiasaan untuk mengambil untung, kepentingan diri sendiri, untuk menuntut, untuk mempertahankan citra. 

Namun ada momen—aneh dan intim—ketika aku menangkap bahwa “mati” yang ditawarkan kasih-Nya bukanlah kehancuran total, melainkan pembebasan dari tirani diriku sendiri. 

Aku mulai mengerti bahwa hidup yang kupegang erat selama ini sebenarnya adalah tiruan: hidup yang dipoles untuk dilihat manusia, bukan untuk memuliakan Tuhan.


Cara Kasih Tuhan Membunuh Keegoanku

  • Pertama, kasih itu menatap langsung ke inti. Ia tidak sibuk dengan kosmetik rohani. Dia melucuti; ia mengajak jujur. Di situlah ego mulai goyah: palu kasih menumbuk satu demi satu alasan kita berkuasa pada diri sendiri.
  • Kedua, kasih itu menuntut pilihan. Ketika engkau dicintai sampai mati oleh Tuhan, engkau dihadapkan pada pertanyaan sederhana: siapa yang memimpin hidupmu? Kalau jawabannya masih “aku”, kasih itu akan bertindak seperti dokter tegas yang menganjurkan operasi.
  • Ketiga, prosesnya seringkali absurd. Ada saat-saat ketika kamu menangis di sudut karena merasa kecil, lalu tertawa di detik berikutnya karena menyadari betapa dramatisnya dirimu selama ini. Humor kecil itu menjadi obat dalam proses yang menembus tulang.

Ada kalanya aku merasa seperti tokoh di drama komedi romantis: diculik oleh cinta Ilahi, dibawa ke tempat tak dikenal, diberi pelajaran-tanpa-syarat tentang bagaimana melepaskan. 

Hanya bedanya, di akhir pertunjukan Tuhan tidak menuliskan nomor telepon baru untuk dihubungi, Ia menuliskan kehidupan baru untuk dijalani.

Surat Galatia menyuguhkan sebuah pernyataan yang tak kalah berani: “Aku telah disalibkan bersama Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

Pernyataan itu menjelaskan konkret apa yang mazmur rasakan secara emosional. 

Mazmur berteriak karena rindu Rumah-Nya; Galatia menyatakan bahwa rindu itu berbuah radikalitas hidup: “aku mati” supaya “Kristus hidup.” Lebih tepatnya: “Kristus mati supaya aku hidup”. Dan, Dia hidup selama-lamanya.

Di sini ada kesejajaran yang jelas: mazmur menunjukkan gejolak cinta yang “menghanguskan”, Galatia memberi teologi pada pengalaman itu, mati secara simbolis terhadap diri sendiri agar hidup bagi Kristus.

Ego kita tidak dihapus karena kecelakaan; ia dikubur sebagai konsekuensi logis dari hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Ketika aku merespons kasih itu, aku tidak berusaha lagi melakukan pertunjukan kepahlawanan rohani. 

Sebaliknya, ada kebebasan menakjubkan: kalau bukan aku yang memimpin, maka kesalahan dan kekonyolan yang kubuat tidak lagi menjadi pusat drama.

Tapi berhati-hatilah: ada godaan untuk menginventarisasi kebajikan baru: sebuah ego versi rohani yang berkata, “Lihat, aku telah mati bagi diriku.” 

Galatia memberi teguran halus: jika kita mulai memanfaatkan kematian diri itu sebagai alat untuk menaikkan citra diri, maka kita meniadakan kasih yang memanggil kita mati untuk hidup. Kasih yang sejati menghasilkan kerendahan hati, bukan trofi moral.




Humor dalam Api yang Menyala

Bayangkan momen ketika Tuhan membongkar “playlist” hidupmu. Lagu-lagu yang tadinya kau pasang untuk menegaskan siapa dirimu—lagu populer, lagu ambisi, bahkan lagu “aku-lah-pahlawan”—semua diputar ulang di hadapan-Nya. Dia menekan tombol next. Kau protes: “Tunggu, itu lagu kemenangan saya!” 

Tuhan hanya menatap sambil tersenyum lalu memutar lagu baru: “Hidup bagi Kristus.” Ternyata lagu baru itu mudah dinyanyikan; liriknya sederhana: “Bukan aku, tetapi Kristus.”

Humornya juga muncul dalam kebiasaan kita memikirkan ‘bagaimana’ mengorbankan diri. Kita merancang skenario heroik, tapi kenyataannya pengorbanan seringkali sepele: memberi kursi di transportasi umum, mengakui kesalahan kecil, melewatkan kesempatan mendapatkan pujian. 

Banyak dari momen-momen suci itu tampak keterlaluan biasa. Sebuah ironi: kematian besar sering terjadi lewat hal-hal yang paling kecil.

 

Penutup

Cintamu membunuhku bukanlah ancaman; itu adalah undangan paling lembut untuk berubah. Seperti mazmur yang terbakar oleh rindu akan rumah Tuhan, dan seperti Galatia yang menegaskan kematian diri untuk kehidupan Kristus, panggilan ini membawa kita dari sandbox ego kepada taman kehidupan yang lebih besar. 

Kematian ego bukan akhir; itu adalah kelahiran ulang yang membuat setiap nafas menjadi doa, setiap kegagalan menjadi bahan komedi yang menumbuhkan belas kasih, dan setiap keberhasilan menjadi kesempatan untuk menunjuk ke arah lain, ke Hadirat yang menghanguskan segala yang menghalangi kasih-Nya.

Kalau kau masih ingin mempertahankan sedikit ruang untuk dirimu sendiri, pahamlah: Tuhan mungkin akan mengirimkan kebakaran kecil lagi. Jangan khawatir, ada selimut keselamatan yang cukup besar untuk menahanmu saat kamu belajar menari di antara bara, dan ada juga humor ilahi yang membuatmu tersenyum ketika bajumu akhirnya benar-benar pas.

 

0 comments:

Post a Comment