Sunday, May 18, 2025

PA Remaja: Tersesat di Dunia Digital?

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


PA Remaja: Tersesat di Dunia Digital?

Tema: Bijak Menggunakan Media Sosial
Fokus Ayat: Filipi 4:8, 1 Korintus 10:23
Durasi: 60–75 menit
Target: Anak & Remaja
Format: Kelompok kecil atau ibadah remaja interaktif

 

1. Persiapan

Sebelum PA dimulai diharapkan:

  • Mempersiapkan diri secara rohani (berdoa & merenungkan ayat)
  • Membaca dan memahami konteks Filipi 4:8 dan 1 Korintus 10:23
  • Menguasai materi, pertanyaan diskusi, dan alur PA
  • Mempersiapkan alat bantu: PPT/handout, kertas & alat tulis, atau slide digital
  • Mempersiapkan ice breaker ringan dan membangun suasana aman

 

2. Ice Breaker (10 menit)

Aktivitas: Scroll Challenge

Ajak peserta menyebutkan satu hal terakhir yang mereka lihat di media sosial hari ini dan bagaimana perasaan mereka setelah melihatnya.

Tujuan: Membangun keterbukaan, mengenali dampak langsung dari media sosial dalam kehidupan sehari-hari.

 

3. Pembacaan Alkitab (10 menit)

  • Bacakan bersama-sama:
    • Filipi 4:8
    • 1 Korintus 10:23

 

4. Penjelasan Firman (15–20 menit)

A. Dunia Digital: Bebas tapi Tidak Netral

  • Dunia digital menawarkan banyak hal — tapi tidak semuanya netral atau sehat.
  • Remaja bebas berselancar, tapi Alkitab berkata: “Tidak semua berguna, tidak semua membangun.” (1 Kor. 10:23)

B. Filter Hati Kita: Filipi 4:8

  • Media sosial bisa menipu hati dan membuat kita menjauh dari kebenaran.
  • Tuhan memberi “filter rohani” melalui ayat ini: pikirkanlah yang benar, suci, mulia, sedap didengar...

C. Remaja Bijak di Era Digital

  • Jangan hanya jadi konsumen pasif, tapi jadilah pengikut Kristus yang aktif menilai dan memilih.
  • Kita dipanggil untuk berakar di Firman dan menjadi terang di medsos, bukan hanya penonton dunia yang tersesat.

 

5. Diskusi Kelompok (20 menit)

Instruksi:

  • Bagi peserta ke dalam kelompok kecil (3–5 orang).
  • Minta mereka menjawab dan diskusikan pertanyaan berikut:

Pertanyaan Diskusi:

  1. Apa platform media sosial yang paling kamu pakai, dan apa dampaknya bagimu?
  2. Konten seperti apa yang sering kamu lihat akhir-akhir ini?
  3. Apa yang paling bertolak belakang dari Filipi 4:8 yang sering kamu temui di media sosial?
  4. Apa langkah praktis yang bisa kamu ambil supaya tetap sehat rohani saat online?

 

6. Aktivitas Praktis – Audit Digital Pribadi (15 menit)

Alat: Kertas dan alat tulis / HP peserta

Instruksi:
Minta peserta menjawab tiga pertanyaan pribadi (boleh ditulis di HP, tidak perlu dibagikan):

  1. 3 akun yang membangun imanku:
  2. 3 akun yang membuatku menjauh dari Tuhan / merasa tidak aman:
  3. Satu langkah nyata minggu ini: (misal: unfollow, ganti waktu screen time, buat konten rohani, dsb.)

Tujuan: Membantu peserta membuat komitmen pribadi dan refleksi nyata.

7. Penutup dan Refleksi (5–10 menit)

Refleksi Pribadi:

“Mulai hari ini, aku memilih untuk mengisi pikiranku dengan…”

Doa Bersama:

  • Bersyukur atas teknologi yang bisa dipakai untuk kemuliaan Tuhan.
  • Memohon hikmat dan kekuatan untuk hidup bijak di dunia digital.
  • Mendoakan agar kita menjadi terang dan pengaruh yang baik, bukan hanya penikmat konten.

 

8. Ayat Hafalan (Opsional)

Filipi 4:8
“Pikirkanlah semuanya itu.”

Boleh ditulis di note, dijadikan wallpaper, atau dibagikan dalam bentuk gambar/slide untuk dibagikan ulang di media sosial.

 

Catatan Tambahan

Jika sesi ingin lebih kreatif,  bisa:

  • Menyediakan post-it dan minta peserta menuliskan "toksik digital" dan menempelkannya di "keranjang digital"
  • Menyusun konten medsos positif bersama: caption rohani, ayat favorit, atau tantangan #1HariTanpaGosip

 

 

Games kreatif dan seru untuk PA Remaja dengan tema “Tersesat di Dunia Digital?”

 

1. Filter atau Fakta?

Tujuan: Melatih remaja membedakan mana konten yang sesuai dengan nilai Alkitab dan mana yang tidak.

Cara bermain:

  • Siapkan beberapa konten/statement singkat di kertas atau slide (bisa berupa quotes, caption medsos, gambar, atau status viral).
  • Remaja harus menjawab:

“Apakah ini sesuai dengan Filipi 4:8?”
“Apakah ini membangun seperti 1 Korintus 10:23?”

Pernyataan:

Kategori: Motivasi Umum

  • "Jangan terlalu baik, nanti kamu dimanfaatkan."
  • "Kalau mau bahagia, jangan terlalu peduli sama omongan orang."
  • "Yang penting aku bahagia, terserah orang mau bilang apa."

 

Kategori: Toxic Positivity

  • "Gagal itu biasa, menyerah itu manusiawi, nikmati saja hidupmu."
  • "Kamu tidakk harus berubah, cukup temukan yang bisa terima kamu apa adanya."

 

Kategori: Rohani atau Inspiratif

  • "Kamu berharga bukan karena likes, tapi karena kasih Tuhan yang kekal."
  • "Tuhan tetap bekerja walau algoritma dunia mengabaikanmu."
  • "Daripada pamer, lebih baik menginspirasi."

 

Kategori: Sarkasme atau Sombong Terselubung

  • "Aku tidak perlu ibadah rajin, yang penting hatiku bersih."
  • "Lihat pencapaianku tahun ini. Kamu kapan?"

 

Kategori: Nyata di Medsos

  • "Posting dulu, pikir belakangan."
  • "Jangan GR, storyku bukan buat kamu."
  • "Aku unfollow semua orang yang toxic. Kamu berikutnya?"

 

Kategori: Perbandingan Sosial

  • "Mereka kelihatan bahagia sekali. Hidupku kayak tidak ada artinya."
  • "Punya teman banyak itu penting, biar tidak keliatan kesepian."

 

Kategori: Bijak & Membangun

  • "Saring sebelum sharing. Tidak semua hal perlu dibagikan."
  • "Media sosial bukan tempat mencari jati diri, tapi tempat menunjukkan siapa kamu yang sebenarnya."
  • "Apa yang kamu like hari ini bisa membentuk siapa kamu besok."

 

Bisa dijawab dengan angkat kertas: FILTER (harus difilter) atau FAKTA (oke, membangun).

 

2. Postingan Positif Challenge

Tujuan: Mendorong remaja jadi kreatif dalam menyebarkan konten yang sehat dan membangun.

Cara bermain:

  • Beri waktu 5–10 menit.
  • Minta peserta membuat sebuah posting singkat yang bisa dibagikan di media sosial:
    • Bisa berupa caption rohani, kutipan ayat, atau “warning” tentang penggunaan medsos yang bijak.
    • Boleh pakai HP, notes, atau ditulis di kertas warna.

Setelah selesai, peserta bisa membacakan atau menempelkan di papan/karton bertuliskan:
“Medsos Sehat Mulai Dari Sini”

 

3. Digital Dilema Cards

Tujuan: Membuat peserta berpikir secara etis dan rohani saat menghadapi konflik digital.

Cara bermain:

  • Siapkan beberapa kartu dilema digital, seperti:
    • “Kamu melihat teman sekelasmu dibully lewat komentar di TikTok. Kamu tidak terlalu dekat dengannya. Apa yang kamu lakukan?”
    • “Akun idolamu mulai mem-posting hal yang bertentangan dengan iman. Tapi kamu sudah follow sejak lama. Bagaimana sikapmu?”
    • “Kamu sedang bad mood dan ingin ‘curhat’ di status. Tapi kamu tahu orang lain bisa salah paham.”
  • Bagi kelompok, lalu diskusikan jawaban dari tiap kartu.
  • Bisa dilombakan siapa yang paling bijak dan kreatif menyelesaikan dilema.

 

4. Drama Mini: Dunia Maya vs Dunia Nyata

Tujuan: Memvisualisasikan bagaimana media sosial bisa menipu atau membentuk identitas palsu.

Cara bermain:

  • Bagi peserta jadi kelompok-kelompok kecil.
  • Setiap kelompok membuat sketsa mini (2–3 menit) dengan tema:
    • “Hidupku di Medsos vs Hidupku yang Sebenarnya”
    • “Aku yang Asli vs Aku yang Ingin Dilihat Orang”
    • “Komen Jahat yang Mengubah Hari Seseorang”

Drama bisa lucu atau serius, tapi tetap reflektif. Di akhir, beri waktu untuk menanggapi dan merenungkan.

 

5. Emoji Reaction Game

Tujuan: Menilai isi konten secara cepat dan reflektif.

Cara bermain:

  • Siapkan berbagai gambar/postingan viral, atau pernyataan umum di medsos.
  • Minta peserta menanggapi dengan emoji karton yang disiapkan (bisa juga angkat tangan membentuk ekspresi):
    • 👍 Setuju
    • 👎 Tidak Setuju
    • ❤️ Membangun
    • 😬 Meragukan / Perlu difilter
    • 😢 Bikin sedih / merusak

Lalu minta satu-dua orang menjelaskan alasan mereka.

 


Continue reading PA Remaja: Tersesat di Dunia Digital?

Wednesday, May 14, 2025

,

Bersama Pemimpin Masa Depan: Refleksi dari Sebuah Kelas

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Hari itu, 21 Februari 2025, saya diberi kesempatan menjadi pembicara di kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Kristen Sekolah Kasih Yobel Kupang: berbagi dengan adik-adik siswa SMP. 

Awalnya saya pikir ini akan jadi sesi biasa, datang, bicara, lalu pulang. Tapi ternyata, pengalaman hari itu meninggalkan kesan yang jauh lebih dalam dari yang saya kira.

Saat saya berdiri di depan mereka, saya tidak melihat anak-anak biasa. Saya melihat masa depan. Mereka mungkin masih duduk berseragam, bercanda satu sama lain, sibuk dengan dunia remaja yang kadang terlihat penuh drama dan tawa. 

Tapi di balik itu semua, saya sadar saya sedang berhadapan dengan calon-calon pemimpin.

Bisa jadi, di ruangan itu ada seorang calon presiden yang sekarang masih suka lupa bawa pulpen. Ada calon guru yang sekarang masih malu-malu bicara di depan kelas. 

Mungkin ada dosen masa depan yang sekarang lagi suka main game strategi. Siapa tahu, manajer hebat yang akan memimpin perusahaan besar nanti adalah anak yang hari itu duduk di diam-diam, mencatat diam-diam.


LDKK SMP SKY Kupang


Masa Depan Itu Dimulai dari Sekarang

Kita sering berpikir bahwa kepemimpinan dimulai saat seseorang punya jabatan. Padahal, kepemimpinan dimulai jauh sebelum itu. Dari bagaimana seseorang belajar bertanggung jawab atas tugas sekolah, menghargai teman, berani meminta maaf, atau sekadar mengakui kesalahan kecil, melakukan pekerjaan dan pelayanan di rumahnya sendiri.

"Masa depan bukan sesuatu yang kita tunggu, tapi sesuatu yang kita bentuk setiap hari, dari hal-hal kecil yang kita lakukan dengan sengaja." – Anonim

Saya sempat berkata pada mereka, “Saya tidak sedang bicara dengan siswa biasa. Saya sedang bicara dengan masa depan bangsa ini.” Kalimat itu bukan basa-basi. 

Karena saya percaya, pendidikan bukan cuma soal angka dan ujian, tapi tentang siapa yang mereka sedang menjadi hari demi hari. Pendidikan tentang nilai. 

Nilai merupakan representasi dari kualitas, prinsip, atau makna yang mendalam. Nilai bukan sekadar hasil numerik (angka), tapi lebih mengarah pada apa yang dianggap penting atau berharga.

Dalam konteks pendidikan atau karakter, nilai berkaitan dengan etos, moral, dan prinsip hidup, sedangkan angka hanya menunjukkan hasil evaluasi kuantitatif.

Mendidik yang paling efektif adalah mendidik seorang anak seperti apa dia akan jadi” - Ged Pollo


Buat Gen Z yang Luar Biasa…

Buat kalian, adik-adik yang hari itu sempat mendengarkan, saya ingin bilang satu hal: jangan pernah anggap remeh dirimu sendiri. Dunia ini sedang berubah cepat. Dan kalian ada di tengah-tengah perubahan itu.

Kalian punya akses ke informasi lebih luas daripada generasi sebelumnya. Tapi kalian juga menghadapi tantangan yang tidak ringan tentang identitas, tekanan sosial, kecemasan, dan ekspektasi yang kadang membingungkan.

Tapi justru karena itu, kalian dibutuhkan. Dunia butuh pemimpin yang bukan cuma pintar secara akademik, tapi juga kuat secara karakter. Dunia butuh anak muda yang bisa bilang “tidak” saat semua orang bilang “ya,” dan tetap berdiri untuk kebenaran saat dunia mencoba menekan.

"Jadilah versi terbaik dari dirimu sendiri di dalam Tuhan Yesus, bukan tiruan dari orang lain." – Ged Pollo

Jadilah pemimpin yang tahu arah, bukan yang ikut arus. Jadilah seseorang yang bisa dipercaya, bukan hanya dikagumi. Dan ingat, kamu sedang tumbuh. Kamu tidak harus sempurna sekarang. Tapi kamu harus terus bergerak ke arah itu, ke arah yang benar.


SMP Sekolah Kasih Yobel Kupang SKY


Untuk Para Orang Tua dan Guru…

Tulisan ini juga saya tujukan untuk para orang tua dan guru. Terima kasih, karena telah menjadi bagian dari proses pembentukan karakter anak-anak muda kita. 

Kita tahu, mendidik itu bukan hal yang instan. Tapi setiap percakapan, teguran, pelukan, dan doa yang kita berikan, semua itu tidak pernah sia-sia.

Mungkin anak-anak kita tidak selalu langsung berubah. Mungkin mereka masih sering membuat kesalahan. Tapi siapa di antara kita yang tidak pernah tersandung saat belajar berjalan?

"Tugas kita bukan membentuk anak sesuai keinginan kita, tapi membantu mereka menemukan siapa diri mereka di hadapan Tuhan Yesus dan dunia." – Anonim

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” – Amsal 22:6

Biarkan mereka tumbuh. Temani prosesnya. Dukung pencariannya. Karena masa depan yang cerah bukan hasil dari kontrol ketat, tapi dari pendampingan yang penuh kasih dan kepercayaan.


LDKK Sekolah Kasih Yobel Kupang SMP SKY


Menutup Hari dengan Harapan

Hari itu saya pulang dengan hati penuh harapan. Bukan karena saya merasa sudah memberi banyak, tapi karena saya sadar: saya sempat menjadi bagian kecil dalam perjalanan besar mereka.

Saya percaya, benih yang ditanam hari itu meski kecil dan mungkin belum terlihat hasilnya, akan tumbuh pada waktunya. Dan saat itu tiba, dunia akan melihat pemimpin-pemimpin hebat yang pernah duduk di bangku SMP Sekolah Kasih Yobel Kupang dan mulai membangun mimpi mereka dari sana.

Terima kasih untuk kesempatan itu. Mari terus dukung generasi muda. Karena mereka bukan sekadar harapan masa depan. Mereka adalah masa depan yang sedang dibentuk hari ini. 



Continue reading Bersama Pemimpin Masa Depan: Refleksi dari Sebuah Kelas

Monday, May 12, 2025

“Di Rumah yang Kudus Tapi Luka”

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Gereja seharusnya tempat di mana langit dan bumi bertemu, di mana jiwa-jiwa yang lelah datang untuk bernaung dan bertumbuh. Gereja adalah tempat berkumpulnya orang-orang baik dan orang-orang jahat. 

Bukan karena gereja menyukai kejahatan, tetapi karena Injil Kristus itu datang bukan untuk yang sehat, melainkan untuk yang sakit. Maka, di dalam gereja, kita temukan pemabuk yang bertobat, pemarah yang belajar bersabar, orang munafik yang mulai jujur, dan yang tersesat mencoba pulang. Seharusnya seperti itu.

Namun ada masanya, dan mungkin ini masanya, di mana gereja mulai kehilangan pusatnya. Ia masih terlihat hidup, aktif, sibuk, bahkan militan melayani. 

Tapi ada sesuatu yang diam-diam membusuk di dalam. Kejahatan yang lebih halus, yang dibungkus kerajinan, disiplin, dan nama pelayanan. Kejahatan yang tidak terlihat, tapi terasa: ketika gereja mulai melayani di luar kebenaran.

Bagaimana rupa kejahatan itu?

Pertama, ketika gereja tidak mau mengampuni mereka yang bersalah, ia lupa dirinya sendiri dibasuh oleh darah pengampunan. Pengampunan bukanlah opsi, tetapi jantung Injil. 

Namun kini, kita mulai memilih siapa yang pantas dimaafkan, dan siapa yang layak ditendang keluar. Seolah-olah kasih hanya untuk mereka yang rapi, bukan untuk mereka yang jatuh. Gereja menjadi ruang penghakiman, bukan ruang pemulihan.

Pengampunan adalah inti dari Injil. Tanpa pengampunan, salib kehilangan maknanya. Namun saat gereja mulai menolak mengampuni, ia sedang mengingkari kasih yang menerimanya sejak awal. 

Gereja menjadi pengadilan, bukan rumah pemulihan. Hukum kasih digantikan oleh daftar dosa. Gereja bukan lagi tempat untuk kembali, melainkan tempat yang ditakuti oleh mereka yang jatuh.

Kedua, ketika kebenaran dibangun di atas perbuatan baik manusia, kita menciptakan agama baru: moralitas tanpa Mesias. Kita menggantikan karya salib dengan daftar tugas. Kita puji mereka yang tampil suci, tapi diam-diam menyingkirkan yang gagal. Lalu kita bertanya: mengapa banyak yang takut kembali ke gereja setelah jatuh?

Kita sering menilai siapa yang layak menjadi pemimpin atau disanjung berdasarkan kebaikan atau performanya. Namun Injil tidak pernah dibangun di atas moralitas manusia, melainkan atas karya Kristus. Ketika kita menggeser dasar ini, kita sedang menciptakan agama baru—agama yang tampak suci, tapi kosong dari anugerah.

Ketiga, Kristus bukan lagi kepala, hanya tempelan di liturgi, di lagu, dan di pengakuan iman. Tapi keputusan-keputusan strategis gereja dibuat tanpa doa, tanpa firman, tanpa arah dari Sang Kepala. Kristus jadi seperti logo lama di perusahaan yang sudah berubah pemilik. Nama-Nya masih dipakai, tapi tak lagi dihormati.

Banyak gereja masih menyebut nama Yesus, menyanyikan lagu untuk-Nya, bahkan mengajarkan tentang-Nya. Namun dalam praktiknya, keputusan, arah, dan gaya hidup tidak lagi dipimpin oleh-Nya. Kristus hanya menjadi lambang, bukan Pemimpin. Ia disebut, tapi tidak ditaati.

Keempat, Kristus bukan satu-satunya, hanya nomor satu. Gereja bicara soal Yesus, tapi juga mencampurnya dengan motivasi dunia: sukses, pencapaian, popularitas, kekuasaan. Yesus dijadikan alat untuk mencapai impian, bukan Tuhan yang layak ditaati meski semua impian hancur. Kita mulai percaya Yesus adalah jalan terbaik, bukan satu-satunya jalan pertobatan. Satu-satunya jalan pemulihan. Satu-satunya jalan ke sorga kepada Bapa.

Ada pergeseran halus namun mematikan: Yesus tetap diajarkan, tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya jalan. Kita mulai mencampurkan ajaran Kristus dengan nilai-nilai dunia: kesuksesan, kepopuleran, kekayaan. Kristus menjadi sarana mencapai impian, bukan pusat dari hidup. “He is number one,” kita bilang, padahal Ia bukan lagi yang satu-satunya.

Kelima, pelayanan dibangun di atas transaksi, bukan relasi. “Saya melayani, maka saya dihargai.” “Saya memberi, maka saya ditinggikan.” Hubungan jadi seperti bisnis: siapa yang paling produktif, dia yang paling layak diberi tempat. Tidak ada lagi ruang untuk orang yang hancur, yang hanya bisa menangis, yang tidak bisa ‘memberi apa-apa’. Padahal Kristus sendiri berkata, “Yang kamu lakukan untuk yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku.”

Hubungan dalam gereja pun berubah. Dari yang seharusnya keluarga, menjadi kontrak tak tertulis: siapa yang bisa memberi lebih, dia yang dihargai lebih. Pelayanan menjadi seperti pasar, bukan ladang pengabdian. Orang-orang yang tidak bisa memberi kontribusi “nyata” dianggap tidak penting, padahal merekalah yang paling dikasihi Kristus.

Di saat-saat seperti inilah, gereja perlu bertobat. Bukan dengan program baru. Bukan dengan seminar atau kampanye gembar-gembor. Tapi dengan hati yang remuk, yang berkata: “Tuhan, kami telah salah. Kami telah menggantikan Engkau dengan bayangan-Mu.” Gereja yang sejati tidak takut mengakui lukanya, karena hanya yang mengakui sakitnya yang bisa sembuh.

Tuhan tidak mencari gereja yang sempurna. Tapi Ia mencari domba yang sesat. Dia membawa gereja-Nya kembali kepada-Nya. Yang menolak membangun di luar kebenaran, betapapun “suksesnya” itu terlihat. Yang berani berkata: “Lebih baik kecil tapi setia, daripada besar tapi melenceng.”

Mungkin hari ini adalah waktu yang tepat untuk berdiam sejenak dan bertanya: apakah gereja ini masih tempat di mana Kristus benar-benar hadir, atau hanya tempat di mana Nama-Nya masih disebut tetapi Wajah-Nya sudah lama pergi?

Tidak butuh acara besar untuk bertobat. Gereja hanya perlu hati yang hancur yang mau mengakui bahwa kita telah menjauh dari pusat: Kristus. Pelayanan tidak akan pernah menyelamatkan jika tidak dibangun di atas kebenaran. Dan kebenaran itu bukan sistem, bukan reputasi, bukan keberhasilan—melainkan Pribadi: Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja.

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya:
Apakah gereja kita masih rumah bagi yang tersesat?
Apakah Kristus masih satu-satunya pusat?
Apakah kasih dan anugerah masih menjadi budaya kita?
Atau gereja telah menjadi mesin pelayanan tanpa jiwa?

Jika jawabannya menohok, mungkin inilah saatnya kita kembali. Kembali kepada Salib. Kembali kepada Kristus.


Continue reading “Di Rumah yang Kudus Tapi Luka”

Sunday, May 11, 2025

, ,

Topik PA: "Toxic atau Sehat?" – Relasi yang Memuliakan Tuhan

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Tujuan PA

  • Remaja mampu mengenali ciri relasi yang sehat dan yang “toxic” secara rohani dan emosional.
  • Remaja terdorong untuk membangun relasi yang membentuk iman dan karakter, bukan merusaknya.

 

Ayat Utama

Amsal 13:20 – "Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang."
2 Timotius 2:22 – "Jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni."

 

Renungan Singkat (5–7 menit)

Di era media sosial, banyak remaja terlibat dalam relasi yang tampak “seru” tapi ternyata melelahkan secara emosional dan menjauhkan dari Tuhan. Ada relasi yang membangun iman, saling mendukung, dan ada juga yang justru menjerumuskan — penuh manipulasi, tekanan, atau kebohongan. Firman Tuhan mengingatkan pentingnya bergaul dengan orang bijak dan menjauhi pengaruh buruk.

Kita bukan dipanggil untuk jadi anti-sosial, tapi untuk memfilter dan membimbing relasi kita dengan hikmat Tuhan. Tuhan rindu kita hidup dalam komunitas yang sehat, saling menguatkan dalam kasih dan kebenaran.

 

Pertanyaan Diskusi (Untuk kelompok kecil)

  1. Dalam satu kata, bagaimana kamu menggambarkan hubungan pertemananmu saat ini?
  2. Menurutmu, apa ciri-ciri relasi yang sehat secara rohani dan emosional?
  3. Pernahkah kamu merasa berada dalam relasi yang toxic? Bagaimana perasaanmu saat itu?
  4. Dari Amsal 13:20 dan 2 Timotius 2:22, apa pesan Tuhan tentang pertemanan?
  5. Bagaimana caramu bisa membangun atau memilih relasi yang memuliakan Tuhan?

Aktivitas Praktis (15 menit)

"Cek Relasimu!" – Refleksi & Evaluasi

Berikan remaja daftar singkat berikut (bisa ditulis di kertas atau dibaca bersama) dan minta mereka memilih ya atau tidak untuk setiap poin.

Dalam relasi pertemananku:
Aku merasa diterima apa adanya
Kami bisa saling terbuka tanpa takut dihakimi
Kami saling mendorong untuk lebih dekat pada Tuhan
Aku merasa lelah atau stres setelah bersama mereka
Aku sering merasa tertekan untuk menjadi "orang lain"

Diskusikan:

  • Jika lebih banyak “ di atas bagian negatif, itu bisa jadi tanda relasi tidak sehat.
  • Apa langkah nyata yang bisa kamu ambil untuk memperbaikinya atau mengambil jarak?

 

Penutup: Doa Bersama

Ajak peserta berdoa:

  • Memohon hikmat dalam membangun relasi.
  • Minta keberanian untuk menjaga batas yang sehat.
  • Bersyukur untuk teman-teman yang membawa mereka makin dekat dengan Tuhan.

 

Lembar kerja dan ice-breaking yang mendukung PA “Toxic atau Sehat? – Relasi yang Memuliakan Tuhan” untuk remaja Gen Z:

 

Ice-breaking: “Teman Sejati atau Teman Sesat?”

Tujuan: Mencairkan suasana sekaligus menstimulasi peserta untuk berpikir tentang jenis-jenis pertemanan.

Cara Bermain:

  1. Bacakan pernyataan-pernyataan berikut satu per satu.
  2. Peserta berdiri dan menunjuk:
    • 👍 jika itu ciri teman sejati (sehat)
    • 👎 jika itu ciri teman sesat (toxic)
  3. Setelah setiap pernyataan, tanyakan satu orang secara acak mengapa mereka memilih jawabannya.

Contoh Pernyataan:

  • “Sering mengingatkan aku untuk berdoa atau ke gereja.”
  • “Suka menyindir aku di depan orang lain.”
  • “Mendorong aku jadi diri sendiri, bukan ikut-ikutan.”
  • “Meminta aku merahasiakan hal yang sebenarnya tidak benar.”
  • “Mendukung aku saat aku sedang gagal atau jatuh.”

 

Setelah sesi: Arahkan pada kebenaran Firman, bahwa Tuhan ingin kita bertumbuh dalam komunitas yang membangun, bukan menjatuhkan.

 

Lembar Kerja Refleksi: “Cek Kesehatan Relasiku”

Bagikan kertas ini ke peserta atau tulis ulang di buku catatan mereka.

 

Bagian A: Refleksi Cepat

Lingkari jawaban yang sesuai:

1. Relasi yang paling memengaruhi hidupku sekarang adalah:
a. Sahabatku
b. Pacarku/crush
c. Teman tongkrongan
d. Teman online
e. Teman sepelayanan

2. Setelah bertemu mereka, aku biasanya merasa:
a. Semangat dan diterima
b. Netral
c. Lelah, tapi gak tahu kenapa
d. Cemas atau minder
e. Malas tapi gak bisa nolak

 

Bagian B: Tes Relasi Sehat vs Toxic

Beri tanda centang () untuk pernyataan yang sesuai dengan situasi kamu sekarang.

Relasi Sehat

  • Aku merasa aman dan diterima
  • Aku bisa jadi diri sendiri
  • Kami saling mendoakan dan mendukung secara rohani
  • Kami jujur dan terbuka satu sama lain
  • Kami menghargai batasan pribadi

Relasi Toxic

  • Aku merasa tertekan untuk menyenangkan dia
  • Aku tidak bisa bicara jujur tanpa takut dimarahi atau diabaikan
  • Aku merasa berdosa atau jauh dari Tuhan setelah bersama mereka
  • Aku sering dimanipulasi atau dimanfaatkan
  • Aku takut kehilangan mereka karena mereka mengancam/mengintimidasi

 

Bagian C: Refleksi Pribadi (Jawab Singkat)

  1. Relasi mana yang perlu aku perkuat karena itu membangun imanku?

  1. Relasi mana yang perlu aku evaluasi atau jaga jarak karena itu tidak sehat?

  1. Langkah kecil apa yang bisa aku ambil minggu ini untuk membangun relasi yang sehat?


 

 





Continue reading Topik PA: "Toxic atau Sehat?" – Relasi yang Memuliakan Tuhan

Saturday, May 10, 2025

Dari Arena ke Meja: Menolak Budaya Kompetisi, Memulihkan Jiwa Kolaborasi

ged pollo

oleh: grefer pollo



Dari Arena Gladiator ke Panggung Modern: Ketika Penderitaan Menjadi Hiburan

Di jantung kota Roma yang megah, Colosseum berdiri megah sebagai saksi bisu sejarah. Di sanalah ribuan pasang mata menyaksikan pertarungan hidup dan mati para gladiator. Mereka adalah budak, tahanan, atau prajurit yang dikorbankan demi hiburan publik. 

Dengan sorak sorai membahana, penonton bersorak bukan demi keadilan, melainkan demi kesenangan. Semakin brutal pertarungan, semakin seru tontonan. Penderitaan menjadi sajian utama.

Zaman berganti. Arena berganti bentuk. Tapi jiwa kompetisi yang haus darah tak selalu ikut berubah. Kini, kita tak lagi duduk di tribun Colosseum, tapi di depan layar kaca, ponsel, dan media sosial. Kita menonton ajang-ajang kompetisi, drama, reality show, atau bahkan adu argumen yang dikemas menarik. 

Ada satu pola yang mirip: kegagalan, tangis, konflik, dan keterpurukan seseorang kerap menjadi bagian paling ditunggu. Kita tertawa saat seseorang tergelincir. Kita ‘like’ ketika ada skandal. Kita ‘share’ saat orang jatuh. Dan tanpa sadar, kita bertepuk tangan atas luka yang bukan milik kita.

Budaya hiburan telah berubah bentuk, tapi selera banyak orang belum beranjak: masih senang menyaksikan penderitaan. Asal bukan miliknya. Kompetisi masa kini tak selalu berdarah, tapi tetap bisa mengoyak jiwa. Dan seperti di arena dulu, penonton jarang peduli siapa yang terluka.

Apakah kita masih penonton yang sama seperti dua ribu tahun lalu? Atau, akankah kita memilih menjadi suara yang membela, tangan yang menolong, dan hati yang berempati?

Karena sesungguhnya, kemajuan bukan hanya soal teknologi atau panggung digital, tapi juga tentang belas kasih yang mengubah cara kita menikmati hidup. Bukan dari penderitaan orang lain, melainkan dari keberhasilan bersama.

 

Dari Arena Gladiator ke Panggung Kehidupan: Dunia Menjual Kompetisi, Jiwa Rindu Kolaborasi

Zaman Romawi kuno, Colosseum menjadi panggung gemuruh. Di sana, manusia dipaksa bertarung bukan karena mereka saling membenci, tetapi karena dunia membutuhkan tontonan. 

Yang penting bukan siapa benar, tapi siapa bertahan. Bukan siapa bijak, tapi siapa paling keras. Di situlah akar dari budaya yang terus menjalar hingga kini: kompetisi sebagai hiburan, sebagai nilai hidup, sebagai norma sosial.

Kini, tak ada pedang atau perisai. Tapi arena itu belum mati. Ia hanya berganti wajah. Kadang berbentuk ruang keluarga, ketika anak-anak dibandingkan: “Kenapa kamu tidak seperti kakakmu?”


Ia muncul di ruang kelas, ketika nilai jadi satu-satunya tolok ukur harga diri: “Siapa yang ranking satu?”


Ia menyusup ke gereja, dalam bentuk pelayanan yang diam-diam bersaing: “Siapa yang lebih dipakai Tuhan?”


Ia bersemayam di masyarakat, dalam lomba tak berujung mengejar status, pengakuan, dan like di media sosial.

Dunia memasarkan kompetisi seolah-olah itu kebutuhan. Kita diajari bahwa untuk berhasil, kita harus lebih dari yang lain. Kita dibentuk untuk berlomba, bukan berjalan bersama. Kita diajari menjadi yang tercepat, bukan yang paling peduli. 

Dan lama-lama, kita lelah, bukan karena tak cukup kuat, tapi karena sebenarnya jiwa kita tidak diciptakan untuk bertarung, melainkan untuk terhubung.

Kita lupa, bahwa sejak awal manusia diciptakan untuk saling tolong-menolong, bukan saling menjatuhkan. Hawa, manusia kedua, diciptakan karena manusia pertama, Adam, membutuhkan penolong yang sepadan. Bukan membutuhkan manusia untuk bersaing dan menunjukan bahwa Adam lebih hebat dari Hawa.

Tuhan menciptakan Hawa bukan sebagai rival Adam, tapi sebagai penolong. Tubuh Kristus bekerja bukan karena setiap anggota bersaing, tapi karena semua bagian saling melengkapi. 

Kerajaan Allah tidak dibangun lewat panggung kemenangan, tetapi lewat meja perjamuan. Tempat semua duduk bersama, bukan saling mengalahkan.

Apa jadinya jika kita berhenti melihat sesama sebagai lawan, dan mulai melihat mereka sebagai mitra?
Bagaimana jika di tengah dunia yang mengusung ego, kita menawarkan empati?
Dan di tengah budaya kompetisi, kita menghadirkan kolaborasi kasih?

Mungkin saat itu, kita bukan hanya mengubah panggung kehidupan. Kita sedang memperbaiki arah sejarah umat manusia.

 

Renungan Penutup: Meja atau Arena?

Hidup ini seringkali terasa seperti sebuah pertandingan panjang. Sejak kecil kita didorong untuk menang, dibandingkan, dinilai. Kita terbiasa berpikir, “Kalau dia maju, aku harus lebih maju.” Kita takut tertinggal, takut tidak dianggap. Maka kita berlari, mengejar, dan tanpa sadar meninggalkan orang lain bahkan yang kita kasihi.

Namun di ujung semua lomba itu, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh piala atau pengakuan. Sebab jiwa manusia tidak diciptakan untuk berlomba. Jiwa kita haus akan relasi yang sejati, kehadiran yang tulus, dan kasih yang tak bersyarat.

Yesus tidak membentuk Kerajaan-Nya lewat persaingan, tetapi lewat undangan ke meja perjamuan. Ia tidak memilih murid-Nya berdasarkan prestasi, tapi kesediaan hati untuk berjalan bersama-Nya.

Hari ini, pertanyaannya sederhana namun dalam:

Apakah aku masih hidup di arena, atau sudah mau duduk di meja?

Apakah aku masih melihat orang lain sebagai saingan, atau sebagai sesama?

Apakah aku akan terus mengejar tempat tertinggi, atau mulai mencari siapa yang belum punya tempat?

Mari kita pilih untuk meninggalkan suara sorak penonton di arena, dan mulai membangun ruang-ruang kolaborasi di mana kasih menjadi nilai tertinggi. Dunia mungkin terus menjual kompetisi, tapi kita dipanggil untuk menebar kolaborasi. Dunia mungkin menyukai kemenangan, tapi Kristus mengajarkan pengorbanan.

Dan di sanalah kita menemukan damai. Di meja, bukan di arena. 

Continue reading Dari Arena ke Meja: Menolak Budaya Kompetisi, Memulihkan Jiwa Kolaborasi

Friday, May 9, 2025

Gereja Ramah Anak

ged pollo

oleh: grefer pollo


1. Apakah Alkitab Bicara tentang Gereja Ramah Anak?

Alkitab menegaskan nilai dan martabat anak-anak serta pentingnya mendampingi mereka bertumbuh dalam iman:

Yesus mengasihi dan memprioritaskan anak-anak:

“Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.”
Markus 10:14
Ini menunjukkan bahwa anak-anak bukan sekadar "masa depan gereja", tetapi bagian utuh dari tubuh Kristus hari ini.


Perintah mendidik anak dalam iman:

“Ajarkanlah itu berulang-ulang kepada anak-anakmu...”
Ulangan 6:6-7
Tuhan memerintahkan keluarga dan komunitas iman untuk aktif membentuk karakter anak sejak dini.


Yesus mengangkat anak sebagai teladan iman yang murni:

“Barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”
Lukas 18:17
Anak menjadi cermin kerendahan hati, kepercayaan, dan ketulusan yang dicari Tuhan.

kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil..." (Matius 18:3)


Peringatan terhadap orang yang menyesatkan anak

"Lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya..." (Lukas 17:2)

 

2. Mengapa Isu “Gereja Ramah Anak” Muncul?

Kekhawatiran/Dasar Keprihatinannya:

  • Banyak gereja belum menyediakan fasilitas, lingkungan, dan budaya yang mendukung pertumbuhan iman anak-anak.
  • Anak-anak kerap dianggap "pengganggu" atau hanya dititipkan ke Sekolah Minggu tanpa keterlibatan nyata dalam kehidupan gereja.
  • Kasus-kasus kekerasan atau pelecehan terhadap anak di lembaga keagamaan turut memicu keprihatinan global.
  • Gereja kadang lebih fokus pada liturgi dan orang dewasa, kurang peka terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, emosi, maupun spiritual.

3. Tujuan Utama Gerakan “Gereja Ramah Anak”

  • Membangun karakter anak dalam suasana kasih, aman, dan penuh teladan iman.
  • Menyediakan fasilitas dan pendekatan yang mendukung kebutuhan anak sesuai tahap perkembangannya.
  • Melibatkan komunitas: keluarga, guru Sekolah Minggu, dan seluruh jemaat dalam pemuridan anak.
  • Membentuk budaya gereja yang mendengarkan, melindungi, dan menghargai suara serta potensi anak.

4. Bagaimana Gereja Bisa Menjadi Ramah Anak?

  • Menyediakan ruang ibadah anak yang kreatif, aman, dan inklusif.
  • Melatih pelayan anak yang kompeten dan memiliki integritas.
  • Melibatkan anak dalam pelayanan sesuai usia (misalnya: doa, musik, kesaksian).
  • Menjalin kerja sama dengan orang tua dan komunitas untuk pendampingan karakter dan spiritualitas anak.
  • Mempunyai kebijakan perlindungan anak (Child Protection Policy).

 

Gereja Ramah Anak: Tempat Anak Bertumbuh dalam Kasih dan Iman

Narasi Inspiratif: "Anak yang Tidak Terlihat"

Di sebuah gereja kecil di pinggiran kota, setiap hari Minggu suara pujian berkumandang nyaring. Namun di sudut ruangan, seorang anak bernama Jeni duduk terdiam. 

Ia datang setiap minggu, mengikuti ibadah anak, tapi tak pernah ditanya namanya. Ia pernah menggambar Yesus sedang memeluk anak-anak, tapi gambarnya disisihkan karena "tidak sesuai tema". Jeni merasa tak terlihat.

Sampai suatu hari, seorang guru Sekolah Minggu baru datang. Ia bertanya, “Siapa nama kamu?” dan tersenyum saat Jeni menyebutkan namanya. 

Ia menyimak ketika Jeni bercerita tentang mimpinya menjadi guru, dan membacakan cerita Alkitab dengan suara penuh ekspresi.

Jeni mulai tertawa, mulai bercerita, mulai bertanya. Ia merasa berarti.

Gereja menjadi rumah yang ramah. Karena satu orang memutuskan melihatnya seperti Yesus melihat anak-anak—berharga, istimewa, dan layak dicintai.

 

Gereja Ramah Anak: Ciri dan Praktik

1. Aman secara fisik dan emosional 

  • Ada kebijakan perlindungan anak.
  • Guru dan relawan melalui proses seleksi dan pelatihan.
  • Ruangan yang bersih, ramah, dan terpantau.

2. Diperlengkapi dan relevan dengan dunia anak

  • Metode mengajar sesuai usia: visual, cerita, permainan.
  • Alkitab dan materi disesuaikan (misalnya versi anak).
  • Ibadah anak yang hidup dan interaktif.

3. Melibatkan anak dalam kehidupan bergereja

  • Memberi ruang bagi anak menyumbangkan suara, ide, dan bakat.
  • Anak terlibat dalam pelayanan (membaca ayat, doa, pujian).
  • Menjadi bagian dari komunitas, bukan sekadar penonton.

4. Komunitas yang mendukung tumbuh kembang anak

  • Orang tua dan gereja bekerja sama dalam pemuridan anak.
  • Diadakan pertemuan atau pelatihan parenting kristiani.
  • Pendampingan spiritual secara pribadi bila memungkinkan.

 

Aplikasi: Membangun Gerakan Gereja Ramah Anak

  • Audit Gereja: Evaluasi sejauh mana gereja ramah terhadap anak.
  • Bentuk Tim Pelayanan Anak: Beri perhatian khusus dan pengembangan.
  • Adakan Pelatihan: Guru, relawan, dan orang tua.
  • Bangun Liturgi dan Kegiatan yang Inklusif Anak
  • Dengarkan Suara Anak: Dalam refleksi atau diskusi ringan, tanyakan: “Apa yang kamu sukai dari gereja? Apa yang kamu ingin ubah?”

 

Yesus Tidak Melewatkan Anak-Anak

Gereja sering kali terburu-buru melihat siapa yang bisa berkhotbah, bernyanyi, atau memberi persembahan besar. Tapi Yesus menghentikan langkah-Nya untuk satu anak. Dia memeluk, memberkati, dan mengangkat anak sebagai teladan.


Gereja ramah anak adalah gereja yang memeluk masa kini dan menumbuhkan masa depan.

 

 

Refleksi Diri: Apakah Aku Sudah Menjadi Bagian dari Gereja yang Ramah Anak?

Luangkan waktu sejenak. Renungkan pertanyaan-pertanyaan ini secara pribadi:

Hubungan Pribadi

  1. Apakah saya mengenal nama anak-anak di gereja tempat saya berbakti dan melayani?
  2. Kapan terakhir kali saya menyapa atau mendengar cerita mereka dengan penuh perhatian?

Sikap dan Nilai

  1. Apakah saya memandang anak-anak sebagai gangguan atau sebagai bagian penting dalam Tubuh Kristus?
  2. Apakah saya menjadi contoh iman, kasih, dan kelembutan yang dapat diteladani anak?

Tanggung Jawab Komunal

  1. Apa yang sudah dan belum gereja tempat saya berbakti dan melayani lakukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendidik bagi anak?
  2. Bagaimana saya dapat berkontribusi, secara aktif atau mendukung, agar gereja tempat saya berbakti dan melayani menjadi lebih ramah anak?


Continue reading Gereja Ramah Anak