Sunday, May 4, 2025

"Lu Pung Bodoh" (Karena Kebodohanmu)

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Di kampung kecil di lereng Timor, orang sudah malas bahas Mikael — anak bungsu yang pergi tanpa pamit baik-baik, pulang hanya dalam cerita doa Bapa dan air mata Mama.

Dulu, waktu Mikael bilang mau ke kota, Bapa Lius hanya menatap langit yang merah senja.

“Lu pung bodoh, Mikael. Dunia di luar bukan tempat main-main. Tapi kalau lu sudah niat, pi... Beta tunggu sampe lu pulang. Tapi jangan bikin Beta dan Mama mati karena rindu.”

Mikael hanya tertawa. “Dunia luas, Bapa. Beta mau hidup besar. Di sini... hidup mati di kebun dan kandang.”

Lalu ia pergi — dengan ransel robek, semangat membara, dan hati yang merasa tahu segalanya.


Jalan yang Penuh Luka

Di kota, hidup tidak seindah lagu-lagu di radio. Ia sempat sukses jadi kru acara musik, lalu ikut teman bangun bisnis makanan. Tapi semuanya runtuh saat orang yang ia percaya melarikan semua uang dan meninggalkan hutang atas namanya.

Mikael hidup di emper toko. Pernah tidur di terminal Bolak, makan dari nasi bungkus sisa.

Suatu malam, dalam dingin dan hujan, Mikael menengadah: “Bapa... Mama... Beta pung bodoh... Beta mau pulang.”


Pulang dengan Luka, Disambut dengan Sunyi

Ia pulang naik truk barang. Tiga hari perjalanan, luka di kaki tak terasa karena hatinya sudah lebih sakit.

Sampai di kampung, rumah itu masih ada. Tapi sepi. Jendela tertutup, halaman tak terurus.

“Bapa... Mama...” bisiknya, hampir tak terdengar.

Seorang tetangga melihat dari jauh, lalu datang menghampiri.

“Ade... rumah itu kosong sejak dua minggu lalu. Bapa dan Mama pi tinggal di rumah tua di atas bukit. Mereka pikir lu su mati. Bapa sempat sakit baraat. Mama? Setiap pagi manangis di dapur.”

Mikael hampir roboh di tanah. Tapi dia bangkit, langkahnya tertatih mendaki bukit — menuju rumah tua tempat harapan terakhir itu mungkin masih menyala.


Di Bukit Sunyi

Rumah di bukit itu berdinding papan tua. Lampunya redup, hanya lilin kecil menyala di meja.

Mikael mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Ia dorong pintu.

Di dalam... Mama Nera duduk tertidur di kursi. Matanya sembab. Di sudut ruangan, Bapa Lius terbaring — lemah, tapi belum pergi.

Langkah Mikael membangunkan Mama. Ia menoleh perlahan, matanya tak percaya.

“Mikael? … Beta mimpi ni ko?”

Mikael jatuh berlutut.

“Mama… Bapa… Beta pung bodoh… ampun…”

Air mata Mama pecah seperti hujan pertama di musim kering. Ia peluk anaknya seperti hendak meremas seluruh luka keluar dari tubuhnya.

Bapa Lius membuka mata perlahan. Lemah, tapi tegas. Ia mengangkat tangan dan berkata:

“Beta bilang apa? Walaupun lu pung bodoh, Bapa tunggu lu… Sampai napas terakhir, Bapa tunggu.”


Kasih yang Tak Pernah Pergi

Sejak malam itu, Mikael tinggal di rumah bukit. Ia rawat Bapa, temani Mama, dan pelan-pelan, ia kembali membangun rumah lama. Ia tidak ke kota lagi. Ia tidak butuh panggung besar. Cukup tanah, keluarga, dan Tuhan Yesus yang tak pernah tinggalkan.

Orang-orang kampung mulai hormati dia kembali. Anak-anak kecil belajar gitar darinya. Ia mulai berkotbah di gereja — bukan sebagai orang suci, tapi sebagai orang yang pernah jatuh lalu bangkit kembali, dan tahu bagaimana rasanya ditunggu dalam doa.

Kadang, saat senja datang dan cahaya jatuh di ladang, Mikael duduk di bale-bale, memandang jalan seperti dulu Bapa.

Dan kalau ada anak muda yang keras kepala mau lari dari kampung, ia cukup berkata:

“Lu pung bodoh. Tapi kalau lu su sadar, jangan malu pulang. Karena kasih sejati... selalu tunggu.”


Dalam versi naskah drama

Judul: Lu Pung Bodoh

Genre: Drama Keluarga (Konflik, Pertobatan, Kasih Orang Tua)
Setting: Desa kecil di lereng Timor dan kota besar di luar pulau


DAFTAR TOKOH:

  • Mikael: Anak bungsu, keras kepala, cerdas, tapi sombong.

  • Bapa Lius: Ayah Mikael, keras luar lembut hati, sederhana.

  • Mama Nera: Ibu Mikael, penyayang, rapuh tapi tegar.

  • Tetangga: Narator sekaligus penyampai informasi.

  • Orang Kota: Teman yang menipu Mikael.

  • Warga Desa: Figuran


ADEGAN 1 – DEPAN RUMAH, SUASANA PAGI

(Dekorasi panggung menunjukkan rumah kampung sederhana. Matahari pagi menyinari bale-bale. Mikael bersiap dengan ransel. Bapa Lius duduk di bale-bale. Mama Nera di ambang pintu dapur, wajah sedih.)

MIKAEL:
(Berdeham) Bapa, Mama… Beta pi kota. Beta tidak tahan di sini. Di kota ada banyak peluang.

MAMA NERA:
(Parau, memegang lengan Mikael) Anak… kampung ini mungkin kecil, tapi hati orang tua besar. Beta takut lu ilang di sana.

BAPA LIUS:
(Lambat, dalam)
Lu pung bodoh, Mikael. Dunia luar bukan tempat main-main. Tapi kalau lu sudah niat, pi… Tapi ingat, jalan pulang selalu ada.

(Mikael memeluk Mama singkat, lalu jalan. Mama menangis. Bapa diam memandangi jalan.)


ADEGAN 2 – KOTA, SET MULTIFUNGSI DENGAN LAMPU TEMARAM

(Panggung berganti suasana kota: musik cepat, lampu warna-warni. Mikael tertawa, bekerja, pesta. Lalu berubah jadi konflik. Cahaya berubah suram.)

ORANG KOTA:
(Sinis) Tandatangan sa! Ini investasi masa depan.

(Mikael tanda tangan. Musik berhenti. Lampu fokus ke Mikael sendirian. Tertipu. Dipukuli. Tidur di jalan. Hujan turun.)

MIKAEL:
(Meringkuk, menangis) Bapa… Mama… Beta pung bodoh… Beta mau pulang…


ADEGAN 3 – KEMBALI KE DESA, JALAN DUSUN

(Suasana desa. Jalan merah, rumput tinggi. Mikael berjalan dengan pakaian compang-camping. Ketemu Tetangga.)

TETANGGA:
(Antara kaget dan kasihan) Mikael? Astaga... Lu masih hidup? Bapa Lius dan Mama pi tinggal di rumah tua di bukit. Mereka pikir lu sudah mati.

MIKAEL:
(Suara pelan) Beta mau ketemu mereka...


ADEGAN 4 – RUMAH TUA DI BUKIT

(Rumah kecil, lampu lilin. Mama tidur di kursi. Bapa di dipan, lemah. Mikael masuk perlahan.)

MIKAEL:
(Suara patah, menangis) Mama… Bapa… Beta pulang…

MAMA NERA:
(Terbangun, suaranya tercekat) Mikael… Astaga... (Langsung peluk Mikael erat.)

BAPA LIUS:
(Membuka mata, pelan) Beta bilang apa… Walaupun lu pung bodoh… Bapa tunggu lu...

(Pelukan bertiga. Musik lembut masuk. Cahaya hangat.)


ADEGAN 5 – DEPAN RUMAH, SENJA

(Dekorasi seperti Adegan 1. Mikael kini duduk di bale-bale. Anak-anak desa bermain. Warga menyapa.)

MIKAEL (MONOLOG):
Dulu beta pikir dunia besar itu segalanya. Tapi ternyata, cinta yang beta buang jauh... tetap tunggu beta pulang.

(Lampu redup. Musik penutup. Tirai tertutup.)

0 comments:

Post a Comment