Dari Arena Gladiator ke Panggung Modern: Ketika Penderitaan Menjadi
Hiburan
Di jantung kota Roma yang megah, Colosseum berdiri megah sebagai saksi bisu sejarah. Di sanalah ribuan pasang mata menyaksikan pertarungan hidup dan mati para gladiator. Mereka adalah budak, tahanan, atau prajurit yang dikorbankan demi hiburan publik.
Dengan sorak sorai membahana, penonton
bersorak bukan demi keadilan, melainkan demi kesenangan. Semakin brutal
pertarungan, semakin seru tontonan. Penderitaan menjadi sajian utama.
Zaman berganti. Arena berganti bentuk. Tapi jiwa kompetisi yang haus darah tak selalu ikut berubah. Kini, kita tak lagi duduk di tribun Colosseum, tapi di depan layar kaca, ponsel, dan media sosial. Kita menonton ajang-ajang kompetisi, drama, reality show, atau bahkan adu argumen yang dikemas menarik.
Ada satu pola yang mirip: kegagalan, tangis, konflik, dan keterpurukan
seseorang kerap menjadi bagian paling ditunggu. Kita tertawa saat seseorang
tergelincir. Kita ‘like’ ketika ada skandal. Kita ‘share’ saat orang jatuh. Dan
tanpa sadar, kita bertepuk tangan atas luka yang bukan milik kita.
Budaya hiburan telah berubah bentuk, tapi selera banyak orang belum
beranjak: masih senang menyaksikan penderitaan. Asal bukan miliknya. Kompetisi
masa kini tak selalu berdarah, tapi tetap bisa mengoyak jiwa. Dan seperti di
arena dulu, penonton jarang peduli siapa yang terluka.
Apakah kita masih penonton yang sama seperti dua ribu tahun lalu? Atau,
akankah kita memilih menjadi suara yang membela, tangan yang menolong, dan hati
yang berempati?
Karena sesungguhnya, kemajuan bukan hanya soal teknologi atau panggung
digital, tapi juga tentang belas kasih yang mengubah cara kita menikmati hidup.
Bukan dari penderitaan orang lain, melainkan dari keberhasilan bersama.
Dari Arena Gladiator ke Panggung Kehidupan: Dunia Menjual Kompetisi,
Jiwa Rindu Kolaborasi
Zaman Romawi kuno, Colosseum menjadi panggung gemuruh. Di sana, manusia dipaksa bertarung bukan karena mereka saling membenci, tetapi karena dunia membutuhkan tontonan.
Yang penting bukan siapa benar, tapi siapa bertahan.
Bukan siapa bijak, tapi siapa paling keras. Di situlah akar dari budaya yang
terus menjalar hingga kini: kompetisi sebagai hiburan, sebagai nilai hidup,
sebagai norma sosial.
Kini, tak ada pedang atau perisai. Tapi arena itu belum mati. Ia hanya berganti wajah. Kadang berbentuk ruang keluarga, ketika anak-anak dibandingkan: “Kenapa kamu tidak seperti kakakmu?”
Ia muncul di ruang kelas, ketika nilai jadi satu-satunya tolok ukur harga diri:
“Siapa yang ranking satu?”
Ia menyusup ke gereja, dalam bentuk pelayanan yang diam-diam bersaing: “Siapa
yang lebih dipakai Tuhan?”
Ia bersemayam di masyarakat, dalam lomba tak berujung mengejar status,
pengakuan, dan like di media sosial.
Dunia memasarkan kompetisi seolah-olah itu kebutuhan. Kita diajari bahwa untuk berhasil, kita harus lebih dari yang lain. Kita dibentuk untuk berlomba, bukan berjalan bersama. Kita diajari menjadi yang tercepat, bukan yang paling peduli.
Dan lama-lama, kita lelah, bukan karena tak cukup kuat, tapi karena
sebenarnya jiwa kita tidak diciptakan untuk bertarung, melainkan untuk
terhubung.
Kita lupa, bahwa sejak awal manusia diciptakan untuk saling
tolong-menolong, bukan saling menjatuhkan. Hawa, manusia kedua, diciptakan
karena manusia pertama, Adam, membutuhkan penolong yang sepadan. Bukan membutuhkan
manusia untuk bersaing dan menunjukan bahwa Adam lebih hebat dari Hawa.
Tuhan menciptakan Hawa bukan sebagai rival Adam, tapi sebagai penolong. Tubuh Kristus bekerja bukan karena setiap anggota bersaing, tapi karena semua bagian saling melengkapi.
Kerajaan Allah tidak dibangun lewat panggung
kemenangan, tetapi lewat meja perjamuan. Tempat semua duduk bersama, bukan
saling mengalahkan.
Apa jadinya jika kita berhenti melihat sesama sebagai lawan, dan mulai
melihat mereka sebagai mitra?
Bagaimana jika di tengah dunia yang mengusung ego, kita menawarkan empati?
Dan di tengah budaya kompetisi, kita menghadirkan kolaborasi kasih?
Mungkin saat itu, kita bukan hanya mengubah panggung kehidupan. Kita
sedang memperbaiki arah sejarah umat manusia.
Renungan Penutup: Meja atau Arena?
Hidup ini seringkali terasa seperti sebuah pertandingan panjang. Sejak
kecil kita didorong untuk menang, dibandingkan, dinilai. Kita terbiasa
berpikir, “Kalau dia maju, aku harus lebih maju.” Kita takut tertinggal, takut
tidak dianggap. Maka kita berlari, mengejar, dan tanpa sadar meninggalkan orang
lain bahkan yang kita kasihi.
Namun di ujung semua lomba itu, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh
piala atau pengakuan. Sebab jiwa manusia tidak diciptakan untuk berlomba. Jiwa
kita haus akan relasi yang sejati, kehadiran yang tulus, dan kasih yang tak
bersyarat.
Yesus tidak membentuk Kerajaan-Nya lewat persaingan, tetapi lewat
undangan ke meja perjamuan. Ia tidak memilih murid-Nya berdasarkan prestasi,
tapi kesediaan hati untuk berjalan bersama-Nya.
Hari ini, pertanyaannya sederhana namun dalam:
Apakah aku masih hidup di arena, atau sudah mau duduk di meja?
Apakah aku masih melihat orang lain sebagai saingan, atau sebagai
sesama?
Apakah aku akan terus mengejar tempat tertinggi, atau mulai mencari
siapa yang belum punya tempat?
Mari kita pilih untuk meninggalkan suara sorak penonton di arena, dan
mulai membangun ruang-ruang kolaborasi di mana kasih menjadi nilai tertinggi.
Dunia mungkin terus menjual kompetisi, tapi kita dipanggil untuk menebar
kolaborasi. Dunia mungkin menyukai kemenangan, tapi Kristus mengajarkan
pengorbanan.
Dan di sanalah kita menemukan damai. Di meja, bukan di arena.
0 comments:
Post a Comment