Di sebuah desa kecil di perbukitan Kupang, lonceng gereja berdentang kencang dari menara yang sudah menghitam dimakan cuaca.
Angin Timor yang kering membawa debu dan bau tanah, menari-nari di halaman gereja tempat para ibu dengan kebaya dan kain tenun duduk menunggu ibadah dimulai.
Aku duduk di bawah pohon asam, memandangi anak-anak muda yang datang tergesa-gesa, beberapa masih pakai kaos dan sandal jepit.
Beberapa orang tua menoleh, ada yang menggeleng
pelan. “Anak-anak sekarang… tidak tahu sopan santun,” gumam seorang bapak.
Tapi aku bertanya
dalam hati: Apakah Tuhan lebih peduli pada jenis kain yang kami pakai, atau
pada hati yang kami bawa ke hadapan-Nya?
Di Tanah Timor, budaya itu kuat — dan itu indah. Tenun punya makna. Duduk bersila saat upacara adat bukan sekadar gaya, tapi lambang hormat.
Namun, aku mulai merasa cemas ketika
yang warisan budaya ini perlahan mulai mendikte cara orang mengasihi Tuhan.
Ketika model berdoa
yang tidak "keras" dianggap kurang rohani.
Ketika orang yang tidak menyanyi dengan nada daerah dinilai kurang beriman.
Ketika suara Roh disaring dulu oleh adat dan tata cara — bukan lagi oleh hati
yang peka.
Pelan-pelan, budaya
tidak lagi berdampingan dengan iman, tapi duduk di atasnya, memegang mikrofon,
memberi pengajaran dan khotbah dalam nama Tuhan.
Padahal... Yesus tidak lahir di rumah adat. Ia tidak berbicara dalam tatanan liturgi rumit.
Ia duduk
makan dengan pemungut cukai, berjalan kaki di debu jalanan, dan mengundang
orang untuk mengenal Bapa. Tanpa syarat kostum atau tata cara tertentu.
Kita mencintai warisan nenek moyang, betul.
Kita jaga dengan hormat. Tapi jangan sampai kita menukar Roh yang hidup dengan aturan yang kaku.
Jangan sampai anak muda takut datang ke
gereja bukan karena dosa, tapi karena mereka tidak tahu caranya berdoa sesuai
“gaya kampung”.
Gereja di Tanah Timor
punya kekuatan besar — warisan iman, budaya yang kaya, dan semangat komunitas.
Tapi kekuatan itu harus disandarkan pada kasih Kristus, bukan pada kebiasaan semata. Bukan pada budaya semata.
Karena kalau tidak
hati-hati, kita sedang menciptakan agama baru — bukan berdasarkan Injil, tapi
berdasarkan adat yang disakralkan. Berdasarkan budaya yang ditakuti.
Dan itu... bukan kabar
baik.
0 comments:
Post a Comment