"Mengerti itu
lucu dan unik. Kamu akan rasa sakit, seperti ditampar kenyataan di detik
pertama, tetapi akan tersenyum seperti menemukan pelangi di tengah hujan di
detik kelima. Rasa sakitnya masih ada, tetapi
kamu tersenyum juga. Karena akhirnya... mengerti."
"Beta Mangarti,
Ma Tarlambat"
Waktu itu sore, langit
terlihat abu-abu campur jingga. Angin bertiup malas, dan Tius duduk
di bale-bale depan rumah, pegang HP tapi pikiran kosong. Layar manyala, ma Tius sonde buka apa-apa. Cuma lihat notifikasi terakhir yang belum dia balas: "Katong
bisa ketemu besok? Cuma mau bicara sabantar."
Itu pesan dari Delila.
Delila… perempuan yang
Tius kira talalu ribut, talalu cerewet, talalu banyak tanya. Tapi sakarang
Tius sadar, dia cuma orang yang paling peduli.
Selama ini Delila
selalu bilang: "Lu tu karas kapala sakali, Tius. Bukan semua hal lu bisa selesaikan sendiri." Tapi Tius selalu tolak. Dia pikir, makin sadiki orang campur dia pung urusan, makin aman. Ternyata salah.
Kemarin malam, Delila
datang ke rumah. Berdiri di depan pagar, tangan gemetar, mata merah. Dia mau
bicara. Tapi Tius, dengan segala ego, bilang: “Su malam, lu pulang sa. Besok sa.”
Besok.
Itu kata yang kotong
semua pikir selalu ada.
Tapi besok pagi, Tius tarima kabar: Delila kecelakaan di jalan. Motor dia ditabrak oto pas mau
pulang.
Dia sempat dibawa ke rumah sakit. Tapi tidak lama…
Dan di dia pung saku
jaket, polisi temukan sepucuk surat, dilipat rapi, ditujukan ke Tius.
Tulisan tangannya goyang, tapi jelas:
“Kalau besok beta
tidak sempat bicara, tolong lu baca ini. Beta sayang lu, Tius. Tapi beta capek
rasa sendiri. Beta cuma mau lu mangarti—bahwa cinta itu bukan soal kuat
sendiri, tapi saling sandar. Jadi kalau satu hari nanti lu sadar, jang tunggu
besok buat bilang maaf, atau bilang sayang. Karena kadang, besok tidak datang.”
Sore itu, Tius duduk
di bale-bale yang sama. Tapi hatinya kosong. Bukan karena dia tidak mangarti—justru
karena akhirnya dia mangarti. Tapi tarlambat.
Refleksi:
"Jangan Tunggu Besok"
Kadang, kita terlalu sibuk dengan diri sendiri, terlalu nyaman dengan rutinitas, dan terjebak dalam dunia yang kita buat sendiri. Kita merasa kuat, merasa bisa mengatasi semuanya sendirian.
Tapi apa yang kita lupa adalah bahwa hidup bukan soal berdiri sendiri.
Kita semua butuh orang lain, butuh perhatian, butuh waktu untuk mendengarkan,
dan yang lebih penting, butuh keberanian untuk berkata, "Aku butuh
kamu."
Seperti Tius yang baru sadar, kadang kita menunda-nunda hal yang paling penting: berbicara, mendengarkan, atau bahkan sekadar mengungkapkan perasaan.
Kita pikir waktu akan
selalu ada, bahwa besok akan memberi kesempatan untuk memperbaiki semua yang
terlambat kita katakan. Namun kenyataannya, kita tidak pernah tahu kapan
"besok" itu akan datang.
Delila, dengan surat yang disembunyikan di saku jaketnya, memberikan pesan yang dalam: Jangan tunggu sampai esok untuk mengungkapkan apa yang ada di hati.
Cinta,
perhatian, dan pengertian itu bukan sesuatu yang bisa kita tunda. Waktu itu
berharga, dan bisa hilang begitu saja tanpa kita sadari. Kadang, apa yang kita
anggap kecil hari ini, bisa jadi kenangan terbesar di masa depan.
Jadi, jika kamu merasa
ada seseorang yang perlu kamu hargai, atau ada kata-kata yang ingin kamu
sampaikan, lakukan sekarang. Jangan tunggu besok, karena kita tidak pernah tahu
apakah besok itu akan datang.
Refleksi ini mengajak
kita untuk tidak menunda-nunda dalam menghargai orang lain, terutama saat kita
punya kesempatan untuk menunjukkan perhatian dan kasih.
0 comments:
Post a Comment