Gereja seharusnya tempat di mana langit dan bumi bertemu, di mana jiwa-jiwa yang lelah datang untuk bernaung dan bertumbuh. Gereja adalah tempat berkumpulnya orang-orang baik dan orang-orang jahat.
Bukan karena gereja menyukai kejahatan, tetapi
karena Injil Kristus itu datang bukan untuk yang sehat, melainkan untuk yang
sakit. Maka, di dalam gereja, kita temukan pemabuk yang bertobat, pemarah yang
belajar bersabar, orang munafik yang mulai jujur, dan yang tersesat mencoba
pulang. Seharusnya seperti itu.
Namun ada masanya, dan mungkin ini masanya, di mana gereja mulai kehilangan pusatnya. Ia masih terlihat hidup, aktif, sibuk, bahkan militan melayani.
Tapi ada sesuatu yang
diam-diam membusuk di dalam. Kejahatan yang lebih halus, yang dibungkus
kerajinan, disiplin, dan nama pelayanan. Kejahatan yang tidak terlihat, tapi
terasa: ketika gereja mulai melayani di luar kebenaran.
Bagaimana rupa
kejahatan itu?
Pertama, ketika gereja tidak mau mengampuni mereka yang bersalah, ia lupa dirinya sendiri dibasuh oleh darah pengampunan. Pengampunan bukanlah opsi, tetapi jantung Injil.
Namun kini, kita mulai memilih siapa yang pantas dimaafkan, dan siapa
yang layak ditendang keluar. Seolah-olah kasih hanya untuk mereka yang rapi, bukan
untuk mereka yang jatuh. Gereja menjadi ruang penghakiman, bukan ruang
pemulihan.
Pengampunan adalah inti dari Injil. Tanpa pengampunan, salib kehilangan maknanya. Namun saat gereja mulai menolak mengampuni, ia sedang mengingkari kasih yang menerimanya sejak awal.
Gereja
menjadi pengadilan, bukan rumah pemulihan. Hukum kasih digantikan oleh daftar
dosa. Gereja bukan lagi tempat untuk kembali, melainkan tempat yang ditakuti
oleh mereka yang jatuh.
Kedua, ketika kebenaran
dibangun di atas perbuatan baik manusia, kita menciptakan agama baru:
moralitas tanpa Mesias. Kita menggantikan karya salib dengan daftar tugas. Kita
puji mereka yang tampil suci, tapi diam-diam menyingkirkan yang gagal. Lalu
kita bertanya: mengapa banyak yang takut kembali ke gereja setelah jatuh?
Kita sering menilai siapa yang layak menjadi
pemimpin atau disanjung berdasarkan kebaikan atau performanya. Namun Injil
tidak pernah dibangun di atas moralitas manusia, melainkan atas karya Kristus.
Ketika kita menggeser dasar ini, kita sedang menciptakan agama baru—agama yang
tampak suci, tapi kosong dari anugerah.
Ketiga, Kristus
bukan lagi kepala, hanya tempelan di liturgi, di lagu, dan di pengakuan
iman. Tapi keputusan-keputusan strategis gereja dibuat tanpa doa, tanpa firman,
tanpa arah dari Sang Kepala. Kristus jadi seperti logo lama di perusahaan yang
sudah berubah pemilik. Nama-Nya masih dipakai, tapi tak lagi dihormati.
Banyak gereja masih menyebut nama Yesus,
menyanyikan lagu untuk-Nya, bahkan mengajarkan tentang-Nya. Namun dalam
praktiknya, keputusan, arah, dan gaya hidup tidak lagi dipimpin oleh-Nya.
Kristus hanya menjadi lambang, bukan Pemimpin. Ia disebut, tapi tidak ditaati.
Keempat, Kristus
bukan satu-satunya, hanya nomor satu. Gereja bicara soal Yesus, tapi juga
mencampurnya dengan motivasi dunia: sukses, pencapaian, popularitas, kekuasaan.
Yesus dijadikan alat untuk mencapai impian, bukan Tuhan yang layak ditaati
meski semua impian hancur. Kita mulai percaya Yesus adalah jalan terbaik, bukan
satu-satunya jalan pertobatan. Satu-satunya jalan pemulihan. Satu-satunya jalan
ke sorga kepada Bapa.
Ada pergeseran halus namun mematikan: Yesus
tetap diajarkan, tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya jalan. Kita mulai
mencampurkan ajaran Kristus dengan nilai-nilai dunia: kesuksesan, kepopuleran,
kekayaan. Kristus menjadi sarana mencapai impian, bukan pusat dari hidup. “He
is number one,” kita bilang, padahal Ia bukan lagi yang satu-satunya.
Kelima, pelayanan
dibangun di atas transaksi, bukan relasi. “Saya melayani, maka saya
dihargai.” “Saya memberi, maka saya ditinggikan.” Hubungan jadi seperti bisnis:
siapa yang paling produktif, dia yang paling layak diberi tempat. Tidak ada
lagi ruang untuk orang yang hancur, yang hanya bisa menangis, yang tidak bisa
‘memberi apa-apa’. Padahal Kristus sendiri berkata, “Yang kamu lakukan untuk
yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku.”
Hubungan dalam gereja pun berubah. Dari yang
seharusnya keluarga, menjadi kontrak tak tertulis: siapa yang bisa memberi
lebih, dia yang dihargai lebih. Pelayanan menjadi seperti pasar, bukan ladang
pengabdian. Orang-orang yang tidak bisa memberi kontribusi “nyata” dianggap
tidak penting, padahal merekalah yang paling dikasihi Kristus.
Di saat-saat seperti
inilah, gereja perlu bertobat. Bukan dengan program baru. Bukan dengan seminar
atau kampanye gembar-gembor. Tapi dengan hati yang remuk, yang berkata: “Tuhan,
kami telah salah. Kami telah menggantikan Engkau dengan bayangan-Mu.” Gereja
yang sejati tidak takut mengakui lukanya, karena hanya yang mengakui sakitnya
yang bisa sembuh.
Tuhan tidak mencari
gereja yang sempurna. Tapi Ia mencari domba yang sesat. Dia membawa gereja-Nya kembali
kepada-Nya. Yang menolak membangun di luar kebenaran, betapapun “suksesnya” itu
terlihat. Yang berani berkata: “Lebih baik kecil tapi setia, daripada besar
tapi melenceng.”
Mungkin hari ini
adalah waktu yang tepat untuk berdiam sejenak dan bertanya: apakah gereja ini
masih tempat di mana Kristus benar-benar hadir, atau hanya tempat di mana
Nama-Nya masih disebut tetapi Wajah-Nya sudah lama pergi?
Tidak butuh acara
besar untuk bertobat. Gereja hanya perlu hati yang hancur yang mau mengakui
bahwa kita telah menjauh dari pusat: Kristus. Pelayanan tidak akan pernah
menyelamatkan jika tidak dibangun di atas kebenaran. Dan kebenaran itu bukan
sistem, bukan reputasi, bukan keberhasilan—melainkan Pribadi: Yesus Kristus,
Sang Kepala Gereja.
Mari kita berhenti
sejenak dan bertanya:
Apakah gereja kita masih rumah bagi yang tersesat?
Apakah Kristus masih satu-satunya pusat?
Apakah kasih dan anugerah masih menjadi budaya kita?
Atau gereja telah menjadi mesin pelayanan tanpa jiwa?
Jika jawabannya
menohok, mungkin inilah saatnya kita kembali. Kembali kepada Salib. Kembali
kepada Kristus.
Shalom kk. Terima kasih untuk refleksi yg memberkati. TYM
ReplyDeleteAmin. Terima kasih. Tuhan Yesus berkati. Shalom
DeleteSungguh menelanjangi moralitas formal yang selama ini dipelihara dalam denyut pelayanan gereja-gereja jaman now.... Pusing pala beib...
ReplyDeleteTerima kasih. Kiranya Roh Kudus membaharui gereja-Nya yang adalah Tubuh Kristus
DeleteAmin. Terimakasih untuk pesan refleksi yang mendalam. Tuhan menolong gereja untuk berpulih
ReplyDeleteAmin. Terima kasih Bapa Pdt Mesry
Delete