Thursday, October 23, 2025

Devosi: Mujizat Terakhir di Taman Getsemani

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Mujizat Terakhir di Taman Getsemani

Tiba-tiba tanpa pesanan, sebuah pasukan datang dengan gagah, Petrus mengayunkan pedang dengan heroik, lalu tanpa bisa dihindari telinga Malkhus jatuh ke tanah. Ada yang sempat panik sambil berteriak, “Cari telinganya! Jangan sampai hilang!” Tetapi Yesus, dengan tenang, menyentuh Malkhus lalu berkata, “Sudah, cukup sampai di sini.” Malkhus sendiri bingung: satu detik ia berteriak kesakitan, detik berikutnya ia menggaruk telinganya yang sudah utuh kembali. Kalau ada yang paling kaget malam itu, mungkin bukan Petrus atau pasukan, melainkan Malkhus sendiri, karena ia datang untuk menangkap Yesus, tapi malah pulang dengan bonus telinga baru.

Malam itu sunyi, hanya diterangi cahaya obor dan bulan yang menggantung di langit. Taman Getsemani menjadi saksi bisu pergumulan terbesar dalam sejarah manusia. 

Yesus baru saja selesai berdoa dengan peluh yang menetes seperti darah, sementara para murid masih terhanyut dalam kantuk. Namun, ketenangan itu segera pecah oleh derap langkah pasukan yang datang dengan senjata, dipimpin oleh Yudas yang mengkhianati-Nya dengan sebuah ciuman.

Di tengah kekacauan itu, Petrus, murid yang penuh semangat sekaligus penuh emosi, tak tahan melihat Gurunya hendak ditangkap. Dengan pedang yang ia bawa, ia mengayunkan tebasan ke arah seorang hamba imam besar bernama Malkhus. 

Tebasan itu tidak mengenai kepala, tetapi telinga Malkhus terpotong. Darah mengalir, jeritan terdengar, dan suasana semakin ricuh.

Namun, di saat semua orang panik, Yesus melakukan sesuatu yang mengejutkan. Ia tidak melarikan diri, tidak pula membiarkan Malkhus menderita. Ia justru mengulurkan tangan-Nya, menyentuh telinga yang terluka itu, dan seketika Malkhus sembuh. 

Mujizat terakhir sebelum Ia disalibkan bukanlah membangkitkan orang mati, bukan pula menenangkan badai, melainkan menyembuhkan telinga seorang musuh yang datang untuk menangkap-Nya.

 

Menolong yang tak ada penolongnya

Malkhus bukanlah sahabat Yesus. Ia datang sebagai bagian dari rombongan yang hendak menangkap-Nya. Namun, justru di situlah keindahan kasih Kristus: Ia menolong bukan hanya mereka yang mengasihi-Nya, tetapi juga mereka yang membenci-Nya. 

Tidak ada seorang pun yang bisa menolong Malkhus malam itu—tidak tabib, tidak imam, bahkan tidak pasukan yang bersamanya. Tetapi Yesus, yang sebentar lagi akan diseret sebagai terdakwa, masih sempat menaruh belas kasihan pada seorang hamba yang terluka.

Kasih Yesus tidak pernah pilih-pilih. Ia tidak menunggu orang menjadi baik dulu baru ditolong. Ia menolong karena memang itulah hati-Nya. Mujizat terakhir ini menjadi simbol bahwa kasih Allah melampaui batas logika manusia: menolong musuh, mengasihi yang membenci, dan menyembuhkan yang datang untuk melukai.

 

Menyelamatkan Petrus dari menjadi terdakwa

Di balik tindakan itu, Yesus juga sedang melindungi Petrus. Bayangkan jika telinga Malkhus tetap terpotong dan darahnya menjadi bukti. Petrus bisa langsung ditangkap dan diadili sebagai penyerang. 

Tetapi Yesus tahu, jalan salib harus Ia jalani seorang diri. Ia tidak ingin Petrus menjadi terdakwa, karena hanya ada satu yang harus dituduh malam itu: Sang Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.

Dengan menyembuhkan Malkhus, Yesus menghapus bukti kejahatan Petrus. Seolah-olah Ia berkata, “Petrus, pedangmu tidak akan menyelamatkanmu. Aku yang akan menanggung semua tuduhan itu.” Inilah paradoks kasih: Yesus yang tidak bersalah memilih menjadi terdakwa, sementara Petrus yang bersalah justru dibebaskan.

 

Menjaga kelanjutan Injil

Lebih jauh lagi, mujizat ini juga menyelamatkan masa depan pemberitaan Injil. Yesus sudah mempercayakan kepada Petrus sebuah peran besar: “Di atas batu karang ini Aku akan membangun jemaat-Ku.” 

Jika Petrus malam itu ditangkap dan dijatuhi hukuman, bagaimana mungkin ia bisa menjadi pemimpin jemaat mula-mula? Bagaimana mungkin ia bisa berkhotbah pada hari Pentakosta dan membawa tiga ribu orang bertobat?

Yesus tahu rencana Allah jauh ke depan. Ia tidak hanya berpikir tentang malam itu, tetapi juga tentang generasi demi generasi yang akan mendengar Injil. Dengan menyembuhkan Malkhus, Yesus sedang memastikan bahwa Injil tidak terhenti, melainkan terus mengalir sampai ke ujung bumi.

 

Penutup

Mujizat terakhir Yesus di taman Getsemani adalah sebuah drama kasih yang penuh makna. Ia menolong yang tak ada penolongnya, melindungi murid-Nya dari tuduhan, dan menjaga kelanjutan Injil. Semua itu dilakukan dalam satu sentuhan sederhana, tetapi dengan dampak yang kekal.

Di saat manusia cenderung membalas kebencian dengan kebencian, Yesus justru menunjukkan jalan lain: kasih yang menyembuhkan. Dan mungkin, jika kita belajar dari-Nya, kita pun bisa menjadi “penyembuh telinga” bagi orang-orang di sekitar kita, bukan dengan mujizat fisik, tetapi dengan kata-kata yang membangun, sikap yang menguatkan, dan kasih yang melampaui logika.

Kasih Allah sering kali hadir dengan cara yang mengejutkan, bahkan di tengah tragedi. Mujizat terakhir Yesus bukan sekadar penyembuhan fisik, tetapi juga pesan rohani: kasih yang sejati tidak pernah berhenti, bahkan kepada musuh sekalipun.

 

 



4 comments: