Thursday, December 19, 2019

MENCARI SEKOLAH YANG HOLISTIS


Semenjak Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Bapak Daoed Joesoef (1978-1983) mengubah pemberlakuan tahun ajaran di sekolah yang semula berlangsung dari bulan Januari sampai Desember menjadi bulan Juli sampai Juni (UU Nomor 0211/U/1978) maka bulan Juni ini para orangtua akan sibuk mencari sekolah bagi anak-anak mereka. Kebanyakan sekolah yang disasar adalah sekolah negeri karena gratis dan lebih murah dari sekolah swasta tapi ada juga yang memilih sekolah swasta tertentu meskipun biayanya jauh lebih mahal dibanding sekolah negeri. Alasannya, pendidikan karakter, kedisiplinan, tawaran beasiswa, spiritualitas, fasilitas, dan kompetensi guru di atas rerata sekolah umumnya. Selain sekolah-sekolah di atas, masih terdapat sekolah yang tidak memenuhi 8 standar nasional pendidikan. Sekolah-sekolah ini tersebar mulai dari kota besar sampai daerah  tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Pada sekolah-sekolah ini kesejahteraan guru dan fasilitas kurang memadai menyebabkan proses belajar mengajar berjalan tidak efektif. Karenanya, mutu lulusan di bawah rerata umum dan minim prestasi. Perbedaan kualitas pada sekolah-sekolah ini tentunya bukanlah harapan dari pemerintah dan masyarakat. Oleh sebab itu, berbagai peraturan pemerintah di bidang pendidikan telah diterapkan. Salah satunya adalah sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru. Lewat sistem ini diharapkan adanya pemerataan akses pada kualitas dan layanan pendidikan sampai ke daerah-daerah yang rentan terpinggirkan, mendekatkan jarak sekolah dengan tempat tinggal siswa, dan meniadakan kesan sekolah favorit dan nonfavorit. Dengan demikian, setiap anak dapat memilih sekolah yang dekat dengan rumahnya tanpa merisaukan nilai atau prestasi akademiknya sebab, kriteria utamanya adalah jarak rumah siswa ke sekolah.

Pendidikan Holistis
Sistem zonasi menghadirkan populasi kelas heterogen seperti, tingkat kecerdasan, berkebutuhan khusus ataupun bukan, ekonomi, dan lain-lain dan turut mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran di kelas. Situasi heterogenitas inipun akan semakin disadari oleh para pendidik tatkala mereka memandang siswa bukan berdasarkan kecerdasan kognitif saja tetapi bahwa mereka memiliki kecerdasan majemuk (verbal-linguistik, logis-matematis, spasial-visual, kinestetik-jasmani, musikal, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan eksistensial) seperti yang dituliskan oleh Howard Gardner, dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.
 Meresponi keadaan ini, pembelajaran holistis dapat menjadi jembatan demi menghasilkan keutuhan pribadi dan manusia yang responsif dan bertanggung jawab. Keutuhan manusia adalah wujud dari eksistensi roh, jiwa, dan tubuhnya. Semua unsur ini akan turut memengaruhi pembelajaran dan cara belajar seorang siswa yang dalam belajarnya melibatkan heart, head, dan hands. Heart, bahwa siswa menimbang dalam hati dan membangun komunikasi dengan Penciptanya. Head, bahwa siswa melakukan proses berpikir dan mengolah data serta informasi menggunakan akal budinya. Hands, bahwa setelah semua itu menghasilkan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, siswa segera bertindak.

Dengan demikian seorang guru dalam mempersiapkan pembelajarannya mesti meramunya sedemikian rupa sehingga seluruh aspek eksistensi tersebut terlibat di dalam pembelajaran itu. Salah satu ramuannya adalah mentransformasikan pembelajaran dari pola tradisional dimana guru sebagai pusat dan satu-satunya sumber belajar menjadi model pembelajaran yang efektif, otentik, aktual, sesuai kebutuhan pembelajar, tujuan pendidikan nasional, harapan orang tua, dan masyarakat. Pembelajaran seperti ini menjadi efektif, holistis, dan transformatif di mana Tuhan Sang Pencipta sebagai pusat, para guru sebagai fasilitator dan mengarahkan arah pembelajaran, serta berorientasi kepada siswa.
Mengapa berpusat kepada Tuhan Sang Pencipta? Oleh karena Tuhan adalah pusat dan sumber kehidupan. Dialah yang menciptakan segala sesuatu termasuk manusia, supaya manusia beribadah kepadaNya dan menikmati segala ciptaanNya. Mengapa perlu diarahkan oleh guru? Karena guru yang berperan sebagai pengajar dan pendidik. Kepada guru, Tuhan memberikan anugerah panggilan khusus untuk membentuk kognitif, psikomotor, afektif, karakter, dan spiritual seorang anak. Mengapa berorientasi kepada siswa? Oleh karena siswa adalah pembelajarnya. Subyek dan obyek belajar.

Sesuai dengan ide efektif, otentik, aktual maka pembelajaran transformatif akan menggunakan berbagai sumber belajar yang ada. Misalnya, pertama: penggunaan teknologi dan informasi. Mengapa? Perkembangan teknologi telah membuat sebuah informasi dapat diakses kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja yang melek teknologi. Oleh sebab itu, seorang guru yang transformatif akan menggerakkan siswanya untuk bergaul, beradaptasi, berinovasi, dan mengadopsi berbagai alat dan media teknologi di dalam proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Kedua: Proses belajar menghafal sudah seharusnya berkembang menjadi menganalisa, menciptakan, dan mengevaluasi. Guru seharusnya membimbing siswa untuk menemukan potensi, kompetensi, dan talentanya serta mengarahkan siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkannya. Siswa perlu memahami cara menyelesaikan masalah, alasan mereka belajar, dan cara belajar sehingga jurang pemisah antara teori dan praktek semakin sempit dan terjangkau. Ketiga: mengeksplorasi dan mengelaborasi model belajar kelompok untuk membangun semangat kerja sama. Keempat: pembelajaran dikemas dalam konsep interdisipliner, dan secara intens mendesain model pembelajaran yang memotivasi para siswa untuk memiliki kemampuan yang optimal dalam menyerap dan menginterpretasi informasi secara cepat dan akurat sehingga para siswa akan menjadi lebih efektif dan inovatif dalam belajar. Hal-hal tersebut di atas akan efektif jika sekolah menjadi rumah kedua bagi para siswa. Kelima: menerapkan model pendidikan abad 21 yakni yang membantu siswa untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Artinya, siswa dapat bertahan hidup, memperjuangkan hidup, mengembangkan, dan merencanakan hidupnya di masa depan sesuai konteks zaman sekarang serta prediksi masa depan. Kurikulum tersebut dikemas melalui strategi pembelajaran yang membentuk sikap analitis, berpikir kritis, menyelesaikan masalah, mengembangkan sikap afektif, dan karakter siswa untuk menjawab tantangan yang ada. Demi mendukung hal ini, peran guru dan orang tua sangat penting, misalnya secara intens memotivasi siswa untuk menghidupi pembelajaran sampai tingkat menganalisa, mengaplikasikan, mencipta, dan mengevaluasi. Kemampuan mensitesis keadaan, menemukan alasan dan tujuan dari keadaan, menerima dan menghargai perbedaan, mengelola apa yang sama dan apa yang beda secara bijaksana akan mendukung para siswa untuk memiliki kecakapan kognitif, afektif, psikomotor, dan penguatan karakter yang beriman. Kesemuanya itu akan membentuk mereka menjadi pribadi yang holistis, unggul, dan kontributif terhadap hidupnya masa kini.
Siswa diajar dan diajak untuk belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu mandiri yang berkepribadian, belajar untuk hidup bersama. Guru perlu bijak dalam memadukan kompetisi dan kolaborasi.














Oleh: Ged Pollo
Pelayan dan pendidik anak dan remaja GMIT Jemaat Koinonia Kupang


0 comments:

Post a Comment