Semenjak Pemerintah
Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Bapak Daoed
Joesoef (1978-1983) mengubah pemberlakuan tahun ajaran di sekolah yang semula
berlangsung dari bulan Januari sampai Desember menjadi bulan Juli sampai Juni
(UU Nomor 0211/U/1978) maka bulan Juni ini para orangtua akan sibuk mencari
sekolah bagi anak-anak mereka. Kebanyakan sekolah yang disasar adalah sekolah
negeri karena gratis dan lebih murah dari sekolah swasta tapi ada juga yang
memilih sekolah swasta tertentu meskipun biayanya jauh lebih mahal dibanding
sekolah negeri. Alasannya, pendidikan karakter, kedisiplinan, tawaran beasiswa,
spiritualitas, fasilitas, dan kompetensi guru di atas rerata sekolah umumnya.
Selain sekolah-sekolah di atas, masih terdapat sekolah yang tidak memenuhi 8 standar
nasional pendidikan. Sekolah-sekolah ini tersebar mulai dari kota besar sampai
daerah tertinggal, terdepan, dan terluar
(3T). Pada sekolah-sekolah ini kesejahteraan guru dan fasilitas kurang memadai
menyebabkan proses belajar mengajar berjalan tidak efektif. Karenanya, mutu
lulusan di bawah rerata umum dan minim prestasi. Perbedaan kualitas pada
sekolah-sekolah ini tentunya bukanlah harapan dari pemerintah dan masyarakat.
Oleh sebab itu, berbagai peraturan pemerintah di bidang pendidikan telah
diterapkan. Salah satunya adalah sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru.
Lewat sistem ini diharapkan adanya pemerataan akses pada kualitas dan layanan
pendidikan sampai ke daerah-daerah yang rentan terpinggirkan, mendekatkan jarak
sekolah dengan tempat tinggal siswa, dan meniadakan kesan sekolah favorit dan
nonfavorit. Dengan demikian, setiap anak dapat memilih sekolah yang dekat
dengan rumahnya tanpa merisaukan nilai atau prestasi akademiknya sebab, kriteria
utamanya adalah jarak rumah siswa ke sekolah.
Pendidikan
Holistis
Sistem zonasi menghadirkan populasi
kelas heterogen seperti, tingkat kecerdasan, berkebutuhan khusus ataupun bukan,
ekonomi, dan lain-lain dan turut mendorong kreativitas pendidik dalam
pembelajaran di kelas. Situasi heterogenitas inipun akan semakin disadari oleh
para pendidik tatkala mereka memandang siswa bukan berdasarkan kecerdasan
kognitif saja tetapi bahwa mereka memiliki kecerdasan majemuk (verbal-linguistik,
logis-matematis, spasial-visual, kinestetik-jasmani, musikal, intrapersonal, interpersonal,
naturalis, dan eksistensial) seperti yang dituliskan oleh Howard Gardner, dalam
bukunya yang berjudul Frames of Mind: The
Theory of Multiple Intelligences.
Meresponi keadaan ini, pembelajaran holistis
dapat menjadi jembatan demi menghasilkan keutuhan pribadi dan manusia yang responsif
dan bertanggung jawab. Keutuhan manusia adalah wujud dari eksistensi roh, jiwa,
dan tubuhnya. Semua unsur ini akan turut memengaruhi pembelajaran dan cara
belajar seorang siswa yang dalam belajarnya melibatkan heart, head, dan hands.
Heart, bahwa siswa menimbang dalam hati dan membangun komunikasi dengan
Penciptanya. Head, bahwa siswa melakukan proses berpikir dan
mengolah data serta informasi menggunakan akal budinya. Hands, bahwa setelah semua itu menghasilkan keputusan yang dapat
dipertanggung jawabkan, siswa segera bertindak.
Dengan demikian seorang guru dalam
mempersiapkan pembelajarannya mesti meramunya sedemikian rupa sehingga seluruh
aspek eksistensi tersebut terlibat di dalam pembelajaran itu. Salah satu
ramuannya adalah mentransformasikan pembelajaran dari pola tradisional dimana
guru sebagai pusat dan satu-satunya sumber belajar menjadi model pembelajaran
yang efektif, otentik, aktual, sesuai kebutuhan pembelajar, tujuan pendidikan
nasional, harapan orang tua, dan masyarakat. Pembelajaran seperti ini menjadi
efektif, holistis, dan transformatif di mana Tuhan Sang Pencipta sebagai pusat,
para guru sebagai fasilitator dan mengarahkan arah pembelajaran, serta
berorientasi kepada siswa.
Mengapa berpusat kepada Tuhan Sang
Pencipta? Oleh karena Tuhan adalah pusat dan sumber kehidupan. Dialah yang
menciptakan segala sesuatu termasuk manusia, supaya manusia beribadah kepadaNya
dan menikmati segala ciptaanNya. Mengapa perlu diarahkan oleh guru? Karena guru
yang berperan sebagai pengajar dan pendidik. Kepada guru, Tuhan memberikan
anugerah panggilan khusus untuk membentuk kognitif, psikomotor, afektif,
karakter, dan spiritual seorang anak. Mengapa berorientasi kepada siswa? Oleh
karena siswa adalah pembelajarnya. Subyek dan obyek belajar.
Sesuai dengan ide efektif, otentik,
aktual maka pembelajaran transformatif akan menggunakan berbagai sumber belajar
yang ada. Misalnya, pertama: penggunaan teknologi dan informasi. Mengapa?
Perkembangan teknologi telah membuat sebuah informasi dapat diakses kapan saja,
di mana saja, dan oleh siapa saja yang melek teknologi. Oleh sebab itu, seorang
guru yang transformatif akan menggerakkan siswanya untuk bergaul, beradaptasi,
berinovasi, dan mengadopsi berbagai alat dan media teknologi di dalam proses
pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Kedua: Proses belajar menghafal
sudah seharusnya berkembang menjadi menganalisa, menciptakan, dan mengevaluasi.
Guru seharusnya membimbing siswa untuk menemukan potensi, kompetensi, dan
talentanya serta mengarahkan siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkannya. Siswa
perlu memahami cara menyelesaikan masalah, alasan mereka belajar, dan cara
belajar sehingga jurang pemisah antara teori dan praktek semakin sempit dan
terjangkau. Ketiga: mengeksplorasi dan mengelaborasi model belajar kelompok
untuk membangun semangat kerja sama. Keempat: pembelajaran dikemas dalam konsep
interdisipliner, dan secara intens mendesain model pembelajaran yang memotivasi
para siswa untuk memiliki kemampuan yang optimal dalam menyerap dan
menginterpretasi informasi secara cepat dan akurat sehingga para siswa akan
menjadi lebih efektif dan inovatif dalam belajar. Hal-hal tersebut di atas akan
efektif jika sekolah menjadi rumah kedua bagi para siswa. Kelima: menerapkan
model pendidikan abad 21 yakni yang membantu siswa untuk dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Artinya, siswa dapat bertahan hidup, memperjuangkan
hidup, mengembangkan, dan merencanakan hidupnya di masa depan sesuai konteks
zaman sekarang serta prediksi masa depan. Kurikulum tersebut dikemas melalui
strategi pembelajaran yang membentuk sikap analitis, berpikir kritis,
menyelesaikan masalah, mengembangkan sikap afektif, dan karakter siswa untuk
menjawab tantangan yang ada. Demi mendukung hal ini, peran guru dan orang tua
sangat penting, misalnya secara intens memotivasi siswa untuk menghidupi
pembelajaran sampai tingkat menganalisa, mengaplikasikan, mencipta, dan
mengevaluasi. Kemampuan mensitesis keadaan, menemukan alasan dan tujuan dari
keadaan, menerima dan menghargai perbedaan, mengelola apa yang sama dan apa
yang beda secara bijaksana akan mendukung para siswa untuk memiliki kecakapan
kognitif, afektif, psikomotor, dan penguatan karakter yang beriman. Kesemuanya
itu akan membentuk mereka menjadi pribadi yang holistis, unggul, dan
kontributif terhadap hidupnya masa kini.
Siswa diajar dan diajak untuk belajar untuk mengetahui, belajar
untuk melakukan, belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu mandiri
yang berkepribadian, belajar untuk hidup bersama. Guru perlu bijak dalam
memadukan kompetisi dan kolaborasi.
Oleh: Ged Pollo
Pelayan dan
pendidik anak dan remaja GMIT Jemaat Koinonia Kupang
0 comments:
Post a Comment