Bulan Juni ini para orangtua akan sibuk mencari
sekolah bagi anak-anak mereka. Kebanyakan sekolah yang disasar adalah sekolah
negeri karena gratis dan lebih murah dari sekolah swasta. Adapula beberapa
orangtua lain memilih sekolah swasta tertentu meskipun biayanya jauh lebih
mahal dibanding sekolah negeri. Alasannya, pendidikan karakter, kedisiplinan, tawaran
beasiswa, spiritualitas, fasilitas, dan kompetensi guru di atas rerata sekolah
umumnya. Selain sekolah-sekolah di atas, masih terdapat sekolah yang tidak
memenuhi 8 standar nasional pendidikan. Sekolah-sekolah ini tersebar mulai dari
kota besar sampai daerah tertinggal,
terdepan, dan terluar (3T). Pada sekolah-sekolah ini kesejahteraan guru dan fasilitas
kurang memadai menyebabkan proses belajar mengajar berjalan tidak efektif.
Karenanya, mutu lulusan di bawah rerata umum dan minim prestasi. Perbedaan
kualitas pada sekolah-sekolah ini tentunya bukanlah harapan dari pemerintah dan
masyarakat.
Sistem
Zonasi
Berbagai peraturan pemerintah di bidang
pendidikan telah diterapkan. Salah satunya adalah sistem zonasi dalam
penerimaan siswa baru. Lewat sistem ini diharapkan adanya pemerataan akses pada
kualitas dan layanan pendidikan sampai ke daerah-daerah yang rentan terpinggirkan,
mendekatkan jarak sekolah dengan tempat tinggal siswa, dan meniadakan kesan
sekolah favorit dan nonfavorit. Dengan demikian, setiap anak dapat memilih
sekolah yang dekat dengan rumahnya tanpa merisaukan nilai atau prestasi
akademiknya sebab, kriteria utamanya adalah jarak rumah siswa ke sekolah.
Sejak sistem zonasi diterapkan pada
tahun 2017, beberapa masalah bermunculan. Antara lain: (1) banyak sekolah yang
mengumumkan daya tampung yang tidak
sesuai dengan rombongan belajar yang ada, (2) sekolah belum dapat menerapkan
seleksi jarak antara sekolah dengan tempat tinggal siswa sesuai dengan prinsip
zonasi, (3) banyak sekolah menerapkan kuota zonasi, prestasi, dan perpindahan
domisili tidak sesuai dengan Permendikbud yang berlaku, (4) adanya calon siswa
yang tak terakomodasi, sehingga tak bisa mendaftar di sekolah mana pun
sedangkan di sisi lain masih ada sekolah kekurangan siswa, (5) ada sekolah yang
kelebihan kuota sehingga tidak bisa menampung siswa lagi, padahal anak-anak
yang tinggal di sekitar sekolah masih banyak, dan (6) ada siswa miskin dan berprestasi
yang tidak tertampung. Selain catatan masalah ini, gagasan lain bagi kemajuan
sistem ini adalah (1) pemerataan fasilitas sekolah baik yang ada di daerah
maupun di kota, (2) pemerataan kualitas dan jumlah pendidik di semua sekolah, dan
(3) membangun kerja sama dengan Kemenristekdikti agar tercipta kepercayaan
kepada kualitas sekolah sehingga tidak ada perbedaan perlakuan bagi sekolah
yang berakreditasi A, B, atau C dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri.
Pendidikan
Holistis
Sistem zonasi menghadirkan populasi
kelas heterogen seperti, tingkat kecerdasan, berkebutuhan khusus ataupun bukan,
ekonomi, dan lain-lain dan turut mendorong kreativitas pendidik dalam
pembelajaran di kelas. Situasi heterogenitas inipun akan semakin disadari oleh
para pendidik tatkala mereka memandang siswa bukan berdasarkan kecerdasan
kognitif saja tetapi bahwa mereka memiliki kecerdasan majemuk (verbal-linguistik,
logis-matematis, spasial-visual, kinestetik-jasmani, musikal, intrapersonal, interpersonal,
naturalis, dan eksistensial) seperti yang dituliskan oleh Howard Gardner, dalam
bukunya yang berjudul Frames of Mind: The
Theory of Multiple Intelligences.
Menurut Permendikbud Nomor 51 tahun 2018
tentang penerimaan siswa baru (PPDB) 2019 kuota PPDB tahun ajaran 2019/2020
dibagi menjadi tiga jalur, yakni jalur zonasi minimum 90% dari daya tampung
sekolah, jalur prestasi maksimum 5% dari daya tampung sekolah, jalur
perpindahan tugas orang tua/wali maksimum 5% dari daya tampung sekolah. Tambahan
pula, pada pasal 19 ayat 1 tertulis bahwa kuota paling sedikit 90% tersebut termasuk
kuota bagi anak penyandang disabilitas pada sekolah yang menyelenggarakan
layanan inklusif. Kuota ini bisa dipandang sebagai dukungan terhadap amanat Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Meskipun demikian, anak difabel yang
termasuk kelompok rentan tidak sekolah dan putus sekolah ini berjumlah cukup
besar di Indonesia yakni sebanyak 8,56 persen penduduk (data Survei Penduduk
Antar Sensus, 2015) maka kendala lain akan segera muncul yakni, kesulitan
mendapatkan sekolah yang berjarak dekat ke rumahnya (karena belum banyak
sekolah menyelenggarakan pendidikan inklusi), sulit membangun interaksi sosial
jika harus bersekolah di sekolah eksklusif, dan makin besar biaya pendidikan
anak yang harus dikeluarkan oleh orangtua.
Pemerintah Indonesia telah melakukan uji
coba pendidikan inklusi pada tahun 2001. Melalui uji coba tersebut, banyak dampak
positif bagi siswa nonberkebutuhan khusus maupun berkebutuhan khusus telah
dihasilkan. Antara lain: (1) siswa nonberkebutuhan khusus tidak lagi memiliki
rasa takut terhadap siswa berkebutuhan khusus karena sering berinteraksi dengan
mereka, (2) siswa nonberkebutuhan khusus semakin memiliki toleransi pada orang
lain setelah memahami teman sebayanya yang berkebutuhan khusus, dan (3) siswa
nonberkebutuhan khusus mendapatkan bahwa dirinya berkembang dalam hal komitmen
pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika. Bercermin pada berbagai
keuntungan pelaksanaan pendidikan inklusi di atas, peraturan sistem zonasi
perlu memberikan peluang yang besar bagi anak berkebutuhan khusus untuk
bersekolah pada sekolah umum yang diselenggarakan secara inklusi, menambah
jumlah sekolah inklusi, menyediakan kurikulum yang mengakomodir siswa
nonberkebutuhan khusus dan berkebutuhkan khusus, sarana prasarana penunjang
aktivitas siswa berkebutuhan khusus, pendidik pembimbing khusus, kepastian
siswa nonberkebutuhan khusus dapat menerima teman sebaya mereka yang
berkebutuhan khusus, serta pembelajaran yang menuntun mereka untuk mengambil
keputusan dan bertindak melibatkan heart,
head, dan hands. Heart, bahwa mereka
menimbang dalam hati dan membangun komunikasi dengan Penciptanya. Head, bahwa mereka melakukan proses berpikir dan mengolah data serta informasi
menggunakan akal budinya. Hands, bahwa
setelah semua itu menghasilkan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, mereka
segera bertindak.
Oleh: Ged Pollo
Pelayan dan
pendidik anak dan remaja GMIT Jemaat Koinonia Kupang
(tulisan ini pernah dipublikasikan dalam sebuah koran lokal)
0 comments:
Post a Comment