Indonesia memperingati 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional. Peringatan akan hari ini mengingatkan kita kepada Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang mendirikan Sekolah Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922.
Taman Siswa ini didirikan dengan alasan adanya ketidakpuasan dengan pola pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Kritikannya tertuang dalam sebuah tulisan bahwa pendidikan yang dilakukan dengan keinsafan mesti ditujukan ke arah keselamatan dan kebahagian manusia, tidak hanya bersifat laku pembangunan, tetapi sering merupakan perjuangan pula.
Puluhan tahun kemudian, gagasan yang lebih tajam dan diarahkan kepada pendidikan Kristen yang holistik mulai bermunculan dan semakin tajam di era 1990-an.
Penajaman ide ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pendidikan di Indonesia yang hanya menitikberatkan kepada pengejaran akan pengetahuan dan keahlian semata dan melupakan kebutuhan akan iman dan karakter yang benar.
Sekolah-sekolah yang demikian mulai mengemas
berbagai gagasan untuk mengelola manajemen sekolah baik personalia, fasilitas,
maupun administrasi secara akurat dan bertanggung jawab sejalan dengan visi
alkitabiah. Berbagai cara membangun sekolah diterapkan. Mulai dengan mengutus
para guru yang berdedikasi dan terlatih, melakukan alihkelola sekolah, maupun
membangun dari awal (termasuk gedungnya).
Khusus untuk memulai sekolah
alihkelola memiliki tantangan tersendiri. Tantangan tersebut menjadi semakin
nyata saat visi para guru yang baru dilatih dan diutus tidak sejalan dengan visi
sekolah yang sudah ada.
Sebagai pemimpin dan guru baru maka hal yang sangat
penting, perlu, dan harus dilakukan
adalah terus belajar, membangun kerja sama (team
work), mengasah diri bersama, membangun komunikasi dalam dan ke luar
sekolah, berdoa dan mendasari seluruh operasional sekolah di atas dasar firman
Tuhan dan doa, dan benar-benar mengandalkan Yesus Kristus sebab Dialah yang
terutama atas segala sesuatu (Roma 11:36).
Pengembangan sebuah sekolah
Kristen menghadapi kendala berarti ketika hal –hal yang dipercayai tidak
sejalan dengan realita kehidupan pendidikan. Ada jarak yang jauh antara apa
yang dipercayai dengan yang ingin dihasilkan. Jarak yang dapat menjadi kendala ini
bisa saja berasal dari pemikiran pendidik dan tenaga kependidikan yang perlu
diperbaharui, cara hidup siswa, dan orangtua siswa yang belum sejalan dengan
visi sekolah, pola kerja kedinasan, dll yang berbeda dengan sekolah. Oleh sebab
itu, memerlukan sikap bijaksana dalam menanganinya.
Beberapa hal berikut perlu menjadi suatu budaya
dalam membangun sekolah baru seperti, doa (pribadi dan kelompok) untuk meminta
hikmat dan kasih karunia Tuhan, pendekatan personal, mencari informasi ke luar
(jika berkenaan dengan kedinasan, dll), penegakan peraturan sekolah,
rekonsiliasi, dll.
Hal-hal di atas jika secara bijaksana dilakukan
maka akan menuntun sekolah kepada salah satu tujuan penting yakni, memastikan keselamatan hidup dalam Kristus bagi
segenap siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang berdampak kepada
keluarga, gereja, dan bangsa.
Sebagai
Kristen, kita adalah murid
yang memuridkan (Matius 28:19-20)
Tulisan ini sangat baik dan menginspirasi bagi kami yg membaca. Untuk pembelajaran secara daring/virtual memang membutuhkan kontrol yg super ketat baik dari orangtuanya maupun guru. Pemerintah jg hrs terus memperhatikan, mendukung dan memberikan suport kpd sekolah agar ada kesinambungan yg baik juga antara sekolah, orangtu dan siswa. Tulisan ini sangat baik untuk memotivasi semua yg terlibat dalam proses belajar mengajar anak2 kita dgn pihak sekolah dan semua yg terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Sukses dan jayalah selalu. GBU.
ReplyDeleteterima kasih untuk komentar dan dukungannya. Semoga tulisan ini membantu para pendidik untuk mendapat ide dan mengembangkan pembelajarannya. Gbu
Delete