Friday, December 20, 2019

NILAI IJAZAH: REPRODUKSI INKONSISTENSI EDUKASI DAN DILEMA

ijazah






 Image by Gerd Altmann from Pixabay 


oleh: Grefer E. D. Pollo, S.P., M.Pd


Sekolah adalah wadah yang tepat bagi siswa dan guru untuk mencintai kebijaksanaan (Yunani: philosophia. Philo berarti cinta yang menimbulkan usaha demi mendapatkan yang dicintai itu dan Sophia berarti kebijaksanaan yang mendalam, https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat), mereproduksi pribadi yang mencintai kehidupan, dan berkontribusi konstruktif terhadap kemaslahatan hidup. 


Di sekolah, proses perubahan hidup yang diawali dengan menyentuh hati dan mengubah pola pikir seorang siswa akan terjadi. Proses tersebut berkenaan dengan pengembangan potensi siswa pada ranah fisik, karya, karsa, serta spiritualitas. 

Pengembangan potensi yang terencana, dikerjakan dengan sepenuh hati, dievaluasi secara analitis dan kritis, serta direcanakan kembali dengan penuh tanggung jawab akan menggerakkan pendidikan (edukasi) yang memiliki pola sistematis dan terarah untuk menghasilkan manusia yang mumpuni, mencerdaskan kehidupan, memuridkan manusia yang satu untuk memuridkan yang lain, menyiapkan pribadi yang memiliki keseimbangan diri, harmonis, dinamis, dan organis. 

Edukasi yang responsif dan bertanggung jawab bukan untuk menghasilkan “mesin uang” atau tenaga kerja ahli “bayaran”, bukan pula menjadi jasa komersil, dan memang tidak boleh dikomersilkan. 

Sebab, edukasi yang dikomersilkan akan melahirkan persaingan yang tentunya akan memposisikan sekolah semakin jauh dari cita-cita luhur edukasi itu sendiri. 

Namun sayangnya, justru dengan alasan sekolah, banyak siswa dan guru menggunakannya hanya untuk mengejar ijazah, sertifikasi, dan gelar semata.


Reproduksi Inkonsistensi Edukasi

Edukasi membentuk manusia sehingga di dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat manusia yang telah tebentuk itu mampu mendefinisi dan menganalisa masalah secara tepat, memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan kehidupan, memajukan ilmu pengetahuan, menumbuhkan iman, dan mendukung peradaban manusia. 

Peradaban itu sendiri bukan hanya ditandai dengan kecanggihan teknologi semata tetapi juga dengan penghargaan terhadap manusia yang mengenal dan beribadah kepada Tuhannya. 

Untuk maksud tersebut, sekolah sudah mesti menjadi wadah yang konsisten memperjuangkannya. Di sisi lain, sekolah yang sudah berusia ribuan tahun dan yang telah menghasilkan influencer serta pecinta-pecinta kebijaksanaan yang kreatif, atraktif, dan inovatif itu sedang menghadapi berbagai tantangan zaman yang sedikit namun pasti menggradasi nilai edukasi yang berujung pada reproduksi inkonsistensi edukasi.

Salah satu wujud dari hal demikian adalah semangat kompetisi (dalam dunia biologi kompetisi digambarkan sebagai organisme-organisme yang bersaing untuk mendapatkan kebutuhan hidup mereka dan karena menginginkan hal yang sama. 

Yang satu harus “dihilangkan” supaya muncul pemenang yang lain). Sedangkan, konsekuensi logis dari sebuah kompetisi adalah ada pihak yang menang dan yang lainnya kalah. Budaya demikian jika terus dibangun dalam dunia edukasi maka, bukannya memanusiakan manusia dan menuntun manusia untuk menemukan jati dirinya yang sejati tetapi justru sebaliknya. 

Contoh lain dari reproduksi inkonsistensi edukasi terlihat pada model ujian nasional (UN) yang diselenggarakan di sekolah formal untuk mengevaluasi dan melakukan standarisasi edukasi di Indonesia. 

Kebijakan ini justru tidak sejalan dengan pemerataan edukasi di Indonesia di mana masih banyak sekolah yang berada di pinggiran kota bahkan pada daerah 3T (tetinggal, terluar, terdepan) dan belum layak (di bawah 8 SNP) baik secara kualitas dan kesejahteraan guru serta fasilitas edukasi. 

Suatu kondisi yang kontraproduktif jika pelaksanaan UN yang notabene menggunakan soal yang sama dilakukan sementara belum terjadi pemerataan edukasi di seluruh wilayah pendidikan di Indonesia. Keadaan ini menghasilkan kompetisi yang kurang adil kepada para siswanya. 

Sebab, siswa yang memiliki fasilitas memadai dan mewah hanya cukup berjuang untuk menjawab soal UN akan tetapi, siswa yang tidak memiliki kemampuan kognisi yang memadai, fasilitas belajar tidak lengkap, harus berjalan kaki berkilo-kilometer dari rumah ke sekolah, dan ekonomi orangtua yang prasejahtera merasa termajinalkan dan teralienasi. 

Sebaliknya, akan sangat produktif dan konstruktif jika sekolah menawarkan model pembelajaran kolaborasi daripada kompetisi. Kolaborasi akan memotivasi semua siswa untuk bekerja sama demi kemajuan bersama. 

Kolaborasi mendukung adanya perbedaan yang saling melengkapi. Jati diri yang sejati di mana seorang siswa benar-benar menemukan kekuatan dan kelemahan dalam diri serta mengeksplorasinya bukan ditemukan melalui sebuah kompetisi tetapi dalam kolaborasi aktif.


Dilema


Ijazah untuk Mencari Kerja dan Status Sosial

Masyarakat kita cenderung menilai pengetahuan seseorang berdasarkan keahlian yang dimiliki dan bukti keahlian tersebut adalah ijazah. Kecuali, jika orang tersebut adalah pengusaha atau sejenisnya karena membutuhkan ketrampilan khusus. Penilaian seperti ini sangat nyata terlihat dalam urusan mencari kerja misalnya, pada seleksi CPNS dan banyak instansi swasta.

Pada era masa kini, masih banyak generasi milenial yang berminat menjadi PNS. Minat ini disebabkan oleh dorongan dari orangtua, dapat mengangkat status sosial, dan tawaran kestabilan gaji (kesejahteraan). Penilaian dan minat demikian, turut memengaruhi motivasi belajar dan keputusan cita-cita dari generasi ini khususnya para siswa. 

Kenyataan di lapangan, masih ada yang bersekolah hanya sekedar untuk memiliki ijazah sehingga muncullah beberapa kebiasaan seperti, sengaja terlambat ke sekolah, belajar hanya saat ujian, yang penting hadir di sekolah, malas kerjakan tugas di sekolah dan PR, suka plagiat, fokus pada angka, dan tanpa berbuat hal yang berarti di sekolah hanya menunggu waktunya bel pulang.

Pola penilaian masyarakat dan model belajar siswa yang demikian akan memunculkan dua kelompok masyarakat yakni berijazah dan tidak berijazah atau yang diangap terpelajar dan tidak terpelajar. 

Dampaknya adalah mereka yang memiliki ijazah edukasi formal lebih tinggi akan menjadi masyarakat berkelas atau terhormat dan sebaliknya. Imbas logis dari semua ini adalah perlombaan memperoleh edukasi formal meningkat setiap tahun dan biaya yang sangat besar rela dikeluarkan oleh orangtua agar anaknya dapat masuk ke sekolah terbaik dan perguruan tinggi ternama. 

Bahkan kebiasaan seperti pembelian ijazah, institusi edukasi ilegal, sekolah menjadi area bisnis, dan sejenisnya pun kian marak terjadi. Semua ini melahirkan kaum “terpelajar” yang tidak terdidik, “tenaga kerja” yang tidak mampu bekerja, reproduksi kesenjangan sosial, komersialisasi edukasi sehingga biaya sekolah semakin mahal, anak-anak usia sekolah yang tidak sempat bersekolah, dan yang sempat bersekolah tetapi tidak mendapatkan kualitas layanan edukasi yang seharusnya didapatkan.


APK dan Tamatan Kependidikan

Pada tahun 2009, minat mahasiswa terhadap jurusan pendidikan formal yang akan menghasilkan guru atau dosen sangat tinggi namun di tahun 2016, hanya ada 1 dari 5 mahasiswa Indonesia yang memilih jurusan ini. 

Melihat adanya kebutuhan akan sekolah yang terus bertambah karena pertumbuhan angka partisipasi kasar (APK adalah perbandingan antara siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah dan dinyatakan dalam persentase. Makin tinggi APK berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di jenjang pendidikan tertentu atau banyak anak di luar usia sekolah) terus meningkat artinya, kebutuhan akan guru terus bertambah maka kenyataan bahwa minat mahasiswa terhadap jurusan penghasil guru berkurang merupakan sebuah kontraproduktif di lapangan. 

Sebab, di satu sisi sekolah harus dibuka agar calon siswa dapat bersekolah, di sisi lain, kekurangan guru yang berlatar belakang jurusan pendidikan. Oleh sebab desakan kondisi ini, bukan tidak mungkin mereka yang akhirnya diterima dan bekerja sebagai guru berasal dari bukan lulusan jurusan guru dan kependidikan. 

Namun, masih ada salah satu jalan keluar bagi kenyataan ini yakni dengan cara mereka yang bukan lulusan jurusan guru dan kependidikan mengikuti pelatihan atau sertifikasi kependidikan sebelum bekerja sebagai guru. Jika tidak, maka ini akan menjadi sebuah dilema tersendiri. Saya menggambarkannya seperti ini: ketika kita sakit dan harus menjalani operasi, sedangkan tidak ada dokter, maka yang akan melakukan operasi tersebut adalah petugas yang bukan lulusan kedokteran.


Bekerja Tanpa Ijazah

Di sisi lain, generasi masa kini (milenial) ada pula yang lebih tertarik untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu yang memberi dampak kepada kehidupan masyarakat daripada sekedar mengetahui sesuatu. 

Munculnya berbagai kemudahan untuk belajar secara otodidak melalui kelas daring, video turorial, alternatif pelatihan-pelatihan profesional di intenet membuat mereka kurang berminat kepada jurusan pendidikan formal yang akan memberikan ijazah kepada mereka. 

Tanpa edukasi formal seperti itupun mereka dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Misalnya, berwiraswasta digital yang sekarang menjamur dan memberi dampak besar kepada kehidupan bermasyarakat, atau menjadi penyanyi, atau musikus, atau blogger, atau youtuber, atau koki, atau penulis, atau novelis, atau fotografer, dan lain-lain yang bisa saja tidak membutuhkan ijazah pendidikan formal. (Jurusan Favorit, Pilihan Generasi Milenial", https://katadata.co.id/analisisdata/2018/05/21/jurusan-favorit-pilihan-generasi-milenial)Diakses 18 juni 2019).


Nilai Ijazah

KBBI memberikan beberapa definisi tentang nilai yakni harga, angka kepandaian, dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Ini berarti nilai yang ditulis pada sebuah ijazah harus dapat menggambarkan angka kepandaian yang mendukung tercapainya kesempurnaan diri dari pribadi yang memilikinya. 

Tetapi, kondisi empiris, seperti yang disampaikan oleh beberapa pemerhati edukasi bahwa sekolah yang seharusnya berbagi ilmu dan membentuk karakter anak bangsa agar ikut mencerdaskan kehidupan bangsa telah mengalami pergeseran orientasi kepada penciptaan nilai yang hanya sekedar angka pada ijazah. 

Angka-angka ini seolah begitu penting sehingga diburu oleh siswa dan orangtua bahkan guru sebab, angka-angka tersebut dipercaya akan membangun prestise pribadi dan “nilai jual” sekolah. Kungkungan angka-angka ini telah mendistorsi fokus para siswa dari mengejar kualitas diri kepada pencapaian angka-angka tertentu. 

Demikian juga para guru dari mentransfer ilmu pengetahuan, membentuk karakter, dan soft skill siswa yang capaiannya seharusnya ditulis dalam ijazah kepada angka-angka semata.

Tambahan pula, nilai ijazah yang sering disanjung-sanjung, tidak serta merta memastikan pemiliknya turut berkiprah dalam dunia kerja dan kehidupan nyata. Masih banyak para alumni dengan nilai ijazah tinggi yang menganggur. 

Data Kemristekdikti mencatat jumlah sarjana yang menganggur di Indonesia adalah hampir 8,8% dari total 7 juta penganggur (https://www.pikiran-rakyat.com/edukasi/2018/03/26/630000-orang-sarjana-masih-menganggur-421873. 26 Maret 2018. Diakses 18 Juni 2019). Hal ini bisa saja disebabkan oleh selama bersekolah, siswa tidak melengkapi diri dengan membangun budaya akademik dan nonakademik. 

Budaya yang dimaksud ini adalah tidak saja mengejar ilmu di dalam kelas tetapi juga di luar kelas seperti keorganisasian dan dialektika, kegiatan ekstrakurikuler, budaya membaca (lebih khususnya pada daerah yang leluhurnya memiliki budaya tutur dan bukan budaya baca tulis), berdiskusi, dan kegiatan spiritualitas. Akibatnya, pengetahuan yang didapat di sekolah tidak terpakai dalam dunia kerja.

Meskipun sekolah bukan menghasilkan tenaga kerja “bayaran”, tetapi demi mendukung kemaslahatan hidup maka konten belajar di sekolah seharusnya membekali seorang siswa untuk dapat bekerja di masa depannya sesuai dengan tantangan dan zamannya. 

Para guru harus dapat memastikan bahwa angka pada ijazah yang didapati siswa adalah benar sesuai dengan profil dan kemampuan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, berapapun angka yang sudah didapatkan seorang siswa akan menjadi nilai belajarnya yang bermanfaat bagi masa depannya. 

Tentunya, ini harus didukung oleh konten kurikulum, kualitas guru, dan antiformalitas. Sebab, sekolah yang membangun budaya formalitas akan menghasilkan pemilik ijazah yang setelah mendapatkan pekerjaan, tidak dapat bekerja sesuai dengan nilai pada ijazahnya atau justru menganggur. 

Sebaliknya, ijazah yang bukan formalitas akan menjadi titian untuk mendekatkan pemiliknya kepada kehidupan nyata yang membangun masyarakat dan komunitasnya. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa ijazah yang dimiliki oleh seorang siswa belum cukup memberikan informasi kepada pihak lain yang membutuhkan data rinci mengenai profil pemilik ijazah. 

Dalam urusan seperti ini, sebuah portofolio mengenai pemilik ijazah akan sangat membantu.


Portofolio

Portofolio dapat memuat kumpulan karya siswa selama waktu-waktu tertentu beserta konsistensi perkembangan kemampuannya, didukung dengan beragam teks, gambar, foto, film, grafik, penghargaan, bukti kerja dari pihak lain, dan lain-lain. 

Sehingga, portofolio dapat dijadikan sebagai pelengkap sebuah ijazah. Minat, kualifikasi, kesesuaian kerja, dan kualitas seseorang secara periodik dan konsistensinya lebih mudah dan jelas terlihat dalam portofolio. 

Dengan demikian, akan lebih informatif untuk dipahami dan disesuaikan dengan pendidikan lanjutan ataupun pekerjaan yang akan digeluti kemudian.


Sebuah catatan pertanyaan: Mungkinkah pengaruh dari industri 4.0 sekarang ini akan turut berdampak terhadap pendidikan sehingga melahirkan sekolah virtual di mana para siswa dapat belajar di mana saja dan kapan saja tetapi hasil belajarnya dapat diakui secara valid oleh pemerintah?


Oleh: Ged Pollo
Pelayan dan pendidik anak dan remaja GMIT Jemaat Koinonia Kupang


0 comments:

Post a Comment