Image by Gerd Altmann from Pixabay
oleh: Grefer E. D. Pollo, S.P., M.Pd
Sekolah adalah wadah yang tepat bagi siswa dan guru untuk mencintai kebijaksanaan (Yunani: philosophia. Philo berarti cinta yang menimbulkan usaha demi mendapatkan yang dicintai itu dan Sophia berarti kebijaksanaan yang mendalam, https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat), mereproduksi pribadi yang mencintai kehidupan, dan berkontribusi konstruktif terhadap kemaslahatan hidup.
Di sekolah, proses perubahan hidup yang diawali dengan menyentuh hati dan mengubah pola pikir seorang siswa akan terjadi. Proses tersebut berkenaan dengan pengembangan potensi siswa pada ranah fisik, karya, karsa, serta spiritualitas.
Pengembangan potensi yang terencana, dikerjakan dengan sepenuh
hati, dievaluasi secara analitis dan kritis, serta direcanakan kembali dengan
penuh tanggung jawab akan menggerakkan pendidikan (edukasi) yang memiliki pola
sistematis dan terarah untuk menghasilkan manusia yang mumpuni, mencerdaskan
kehidupan, memuridkan manusia yang satu untuk memuridkan yang lain, menyiapkan
pribadi yang memiliki keseimbangan diri, harmonis, dinamis, dan organis.
Edukasi yang responsif dan bertanggung jawab bukan untuk menghasilkan “mesin
uang” atau tenaga kerja ahli “bayaran”, bukan pula menjadi jasa komersil, dan memang
tidak boleh dikomersilkan.
Sebab, edukasi yang dikomersilkan akan melahirkan
persaingan yang tentunya akan memposisikan sekolah semakin jauh dari cita-cita
luhur edukasi itu sendiri.
Namun sayangnya, justru dengan alasan sekolah,
banyak siswa dan guru menggunakannya hanya untuk mengejar ijazah, sertifikasi,
dan gelar semata.
Reproduksi
Inkonsistensi Edukasi
Edukasi membentuk
manusia sehingga di dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat manusia
yang telah tebentuk itu mampu mendefinisi dan menganalisa masalah secara tepat,
memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan kehidupan, memajukan ilmu pengetahuan,
menumbuhkan iman, dan mendukung peradaban manusia.
Peradaban itu sendiri bukan hanya
ditandai dengan kecanggihan teknologi semata tetapi juga dengan penghargaan
terhadap manusia yang mengenal dan beribadah kepada Tuhannya.
Untuk maksud
tersebut, sekolah sudah mesti menjadi wadah yang konsisten memperjuangkannya.
Di sisi lain, sekolah yang sudah berusia ribuan tahun dan yang telah
menghasilkan influencer serta pecinta-pecinta
kebijaksanaan yang kreatif, atraktif, dan inovatif itu sedang menghadapi berbagai
tantangan zaman yang sedikit namun pasti menggradasi nilai edukasi yang
berujung pada reproduksi inkonsistensi edukasi.
Salah satu wujud
dari hal demikian adalah semangat kompetisi (dalam dunia biologi kompetisi digambarkan sebagai organisme-organisme yang
bersaing untuk mendapatkan kebutuhan hidup mereka dan karena menginginkan hal
yang sama.
Yang satu harus “dihilangkan” supaya muncul pemenang yang lain).
Sedangkan, konsekuensi logis dari sebuah kompetisi adalah ada pihak yang menang
dan yang lainnya kalah. Budaya demikian jika terus dibangun dalam dunia edukasi
maka, bukannya memanusiakan manusia dan menuntun manusia untuk menemukan jati
dirinya yang sejati tetapi justru sebaliknya.
Contoh lain dari reproduksi
inkonsistensi edukasi terlihat pada model ujian nasional (UN) yang
diselenggarakan di sekolah formal untuk mengevaluasi dan melakukan standarisasi
edukasi di Indonesia.
Kebijakan ini justru tidak sejalan dengan pemerataan edukasi
di Indonesia di mana masih banyak sekolah yang berada di pinggiran kota bahkan pada
daerah 3T (tetinggal, terluar, terdepan) dan belum layak (di bawah 8 SNP) baik
secara kualitas dan kesejahteraan guru serta fasilitas edukasi.
Suatu kondisi
yang kontraproduktif jika pelaksanaan UN yang notabene menggunakan soal yang
sama dilakukan sementara belum terjadi pemerataan edukasi di seluruh wilayah
pendidikan di Indonesia. Keadaan ini menghasilkan kompetisi yang kurang adil
kepada para siswanya.
Sebab, siswa yang memiliki fasilitas memadai dan mewah
hanya cukup berjuang untuk menjawab soal UN akan tetapi, siswa yang tidak
memiliki kemampuan kognisi yang memadai, fasilitas belajar tidak lengkap, harus
berjalan kaki berkilo-kilometer dari rumah ke sekolah, dan ekonomi orangtua yang
prasejahtera merasa termajinalkan dan teralienasi.
Sebaliknya, akan sangat
produktif dan konstruktif jika sekolah menawarkan model pembelajaran kolaborasi
daripada kompetisi. Kolaborasi akan memotivasi semua siswa untuk bekerja sama
demi kemajuan bersama.
Kolaborasi mendukung adanya perbedaan yang saling
melengkapi. Jati diri yang sejati di mana seorang siswa benar-benar menemukan
kekuatan dan kelemahan dalam diri serta mengeksplorasinya bukan ditemukan
melalui sebuah kompetisi tetapi dalam kolaborasi aktif.
Dilema
Ijazah untuk Mencari Kerja dan Status
Sosial
Masyarakat kita
cenderung menilai pengetahuan seseorang berdasarkan keahlian yang dimiliki dan
bukti keahlian tersebut adalah ijazah. Kecuali, jika orang tersebut adalah
pengusaha atau sejenisnya karena membutuhkan ketrampilan khusus. Penilaian seperti
ini sangat nyata terlihat dalam urusan mencari kerja misalnya, pada seleksi
CPNS dan banyak instansi swasta.
Pada era masa
kini, masih banyak generasi milenial yang berminat menjadi PNS. Minat ini
disebabkan oleh dorongan dari orangtua, dapat mengangkat status sosial, dan tawaran
kestabilan gaji (kesejahteraan). Penilaian dan minat demikian, turut
memengaruhi motivasi belajar dan keputusan cita-cita dari generasi ini
khususnya para siswa.
Kenyataan di lapangan, masih ada yang bersekolah hanya sekedar
untuk memiliki ijazah sehingga muncullah beberapa kebiasaan seperti, sengaja
terlambat ke sekolah, belajar hanya saat ujian, yang penting hadir di sekolah,
malas kerjakan tugas di sekolah dan PR, suka plagiat, fokus pada angka, dan tanpa
berbuat hal yang berarti di sekolah hanya menunggu waktunya bel pulang.
Pola penilaian
masyarakat dan model belajar siswa yang demikian akan memunculkan dua kelompok
masyarakat yakni berijazah dan tidak berijazah atau yang diangap terpelajar dan
tidak terpelajar.
Dampaknya adalah mereka yang memiliki ijazah edukasi formal lebih
tinggi akan menjadi masyarakat berkelas atau terhormat dan sebaliknya. Imbas
logis dari semua ini adalah perlombaan memperoleh edukasi formal meningkat
setiap tahun dan biaya yang sangat besar rela dikeluarkan oleh orangtua agar
anaknya dapat masuk ke sekolah terbaik dan perguruan tinggi ternama.
Bahkan kebiasaan
seperti pembelian ijazah, institusi edukasi ilegal, sekolah menjadi area
bisnis, dan sejenisnya pun kian marak terjadi. Semua ini melahirkan kaum “terpelajar”
yang tidak terdidik, “tenaga kerja” yang tidak mampu bekerja, reproduksi
kesenjangan sosial, komersialisasi edukasi sehingga biaya sekolah semakin mahal,
anak-anak usia sekolah yang tidak sempat bersekolah, dan yang sempat bersekolah
tetapi tidak mendapatkan kualitas layanan edukasi yang seharusnya didapatkan.
APK dan Tamatan Kependidikan
Pada tahun 2009, minat mahasiswa terhadap
jurusan pendidikan formal yang akan menghasilkan guru atau dosen sangat tinggi
namun di tahun 2016, hanya ada 1 dari 5 mahasiswa Indonesia yang memilih
jurusan ini.
Melihat adanya kebutuhan akan sekolah yang terus bertambah karena pertumbuhan
angka partisipasi kasar (APK adalah
perbandingan antara siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia
sekolah dan dinyatakan dalam persentase. Makin tinggi APK berarti makin banyak
anak usia sekolah yang bersekolah di jenjang pendidikan tertentu atau banyak
anak di luar usia sekolah) terus meningkat artinya, kebutuhan akan guru
terus bertambah maka kenyataan bahwa minat mahasiswa terhadap jurusan penghasil
guru berkurang merupakan sebuah kontraproduktif di lapangan.
Sebab, di satu
sisi sekolah harus dibuka agar calon siswa dapat bersekolah, di sisi lain,
kekurangan guru yang berlatar belakang jurusan pendidikan. Oleh sebab desakan
kondisi ini, bukan tidak mungkin mereka yang akhirnya diterima dan bekerja
sebagai guru berasal dari bukan lulusan jurusan guru dan kependidikan.
Namun, masih
ada salah satu jalan keluar bagi kenyataan ini yakni dengan cara mereka yang bukan
lulusan jurusan guru dan kependidikan mengikuti pelatihan atau sertifikasi
kependidikan sebelum bekerja sebagai guru. Jika tidak, maka ini akan menjadi sebuah
dilema tersendiri. Saya menggambarkannya seperti ini: ketika kita sakit dan harus
menjalani operasi, sedangkan tidak ada dokter, maka yang akan melakukan operasi
tersebut adalah petugas yang bukan lulusan kedokteran.
Bekerja
Tanpa Ijazah
Di sisi lain, generasi masa kini (milenial) ada pula yang lebih tertarik untuk bekerja dan menghasilkan
sesuatu yang memberi dampak kepada kehidupan masyarakat daripada sekedar
mengetahui sesuatu.
Munculnya berbagai kemudahan untuk belajar secara otodidak melalui
kelas daring, video turorial, alternatif pelatihan-pelatihan profesional di
intenet membuat mereka kurang berminat kepada jurusan pendidikan formal yang
akan memberikan ijazah kepada mereka.
Tanpa edukasi formal seperti itupun mereka
dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Misalnya, berwiraswasta digital yang
sekarang menjamur dan memberi dampak besar kepada kehidupan bermasyarakat, atau
menjadi penyanyi, atau musikus,
atau blogger, atau youtuber, atau koki, atau penulis, atau novelis, atau fotografer,
dan lain-lain yang bisa saja tidak membutuhkan ijazah pendidikan formal. (Jurusan Favorit, Pilihan Generasi Milenial", https://katadata.co.id/analisisdata/2018/05/21/jurusan-favorit-pilihan-generasi-milenial)Diakses
18 juni 2019).
Nilai Ijazah
KBBI memberikan
beberapa definisi tentang nilai yakni harga, angka kepandaian, dan sesuatu yang
menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Ini berarti nilai yang ditulis
pada sebuah ijazah harus dapat menggambarkan angka kepandaian yang mendukung
tercapainya kesempurnaan diri dari pribadi yang memilikinya.
Tetapi, kondisi
empiris, seperti yang disampaikan oleh beberapa pemerhati edukasi bahwa sekolah
yang seharusnya berbagi ilmu dan membentuk karakter anak bangsa agar ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa telah mengalami pergeseran orientasi kepada
penciptaan nilai yang hanya sekedar angka pada ijazah.
Angka-angka ini seolah
begitu penting sehingga diburu oleh siswa dan orangtua bahkan guru sebab,
angka-angka tersebut dipercaya akan membangun prestise pribadi dan “nilai jual”
sekolah. Kungkungan angka-angka ini telah mendistorsi fokus para siswa dari
mengejar kualitas diri kepada pencapaian angka-angka tertentu.
Demikian juga
para guru dari mentransfer ilmu pengetahuan, membentuk karakter, dan soft skill siswa yang capaiannya seharusnya
ditulis dalam ijazah kepada angka-angka semata.
Tambahan pula, nilai
ijazah yang sering disanjung-sanjung, tidak serta merta memastikan pemiliknya
turut berkiprah dalam dunia kerja dan kehidupan nyata. Masih banyak para alumni
dengan nilai ijazah tinggi yang menganggur.
Data Kemristekdikti mencatat jumlah
sarjana yang menganggur di Indonesia adalah hampir 8,8% dari total 7 juta
penganggur (https://www.pikiran-rakyat.com/edukasi/2018/03/26/630000-orang-sarjana-masih-menganggur-421873.
26 Maret 2018. Diakses 18 Juni 2019). Hal ini bisa saja disebabkan oleh selama
bersekolah, siswa tidak melengkapi diri dengan membangun budaya akademik dan
nonakademik.
Budaya yang dimaksud ini adalah tidak saja mengejar ilmu di dalam
kelas tetapi juga di luar kelas seperti keorganisasian dan dialektika, kegiatan
ekstrakurikuler, budaya membaca (lebih khususnya
pada daerah yang leluhurnya memiliki budaya tutur dan bukan budaya baca tulis),
berdiskusi, dan kegiatan spiritualitas. Akibatnya, pengetahuan yang didapat di
sekolah tidak terpakai dalam dunia kerja.
Meskipun sekolah
bukan menghasilkan tenaga kerja “bayaran”, tetapi demi mendukung kemaslahatan
hidup maka konten belajar di sekolah seharusnya membekali seorang siswa untuk dapat
bekerja di masa depannya sesuai dengan tantangan dan zamannya.
Para guru harus
dapat memastikan bahwa angka pada ijazah yang didapati siswa adalah benar
sesuai dengan profil dan kemampuan belajarnya di sekolah. Dengan demikian,
berapapun angka yang sudah didapatkan seorang siswa akan menjadi nilai
belajarnya yang bermanfaat bagi masa depannya.
Tentunya, ini harus didukung
oleh konten kurikulum, kualitas guru, dan antiformalitas. Sebab, sekolah yang
membangun budaya formalitas akan menghasilkan pemilik ijazah yang setelah
mendapatkan pekerjaan, tidak dapat bekerja sesuai dengan nilai pada ijazahnya
atau justru menganggur.
Sebaliknya, ijazah yang bukan formalitas akan menjadi titian
untuk mendekatkan pemiliknya kepada kehidupan nyata yang membangun masyarakat
dan komunitasnya. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa ijazah yang dimiliki
oleh seorang siswa belum cukup memberikan informasi kepada pihak lain yang
membutuhkan data rinci mengenai profil pemilik ijazah.
Dalam urusan seperti
ini, sebuah portofolio mengenai pemilik ijazah akan sangat membantu.
Portofolio
Portofolio dapat
memuat kumpulan karya siswa selama waktu-waktu tertentu beserta konsistensi
perkembangan kemampuannya, didukung dengan beragam teks, gambar, foto, film,
grafik, penghargaan, bukti kerja dari pihak lain, dan lain-lain.
Sehingga,
portofolio dapat dijadikan sebagai pelengkap sebuah ijazah. Minat, kualifikasi,
kesesuaian kerja, dan kualitas seseorang secara periodik dan konsistensinya lebih
mudah dan jelas terlihat dalam portofolio.
Dengan demikian, akan lebih informatif
untuk dipahami dan disesuaikan dengan pendidikan lanjutan ataupun pekerjaan
yang akan digeluti kemudian.
Sebuah
catatan pertanyaan: Mungkinkah pengaruh dari industri 4.0 sekarang ini akan
turut berdampak terhadap pendidikan sehingga melahirkan sekolah virtual di mana
para siswa dapat belajar di mana saja dan kapan saja tetapi hasil belajarnya
dapat diakui secara valid oleh pemerintah?
Oleh: Ged Pollo
Pelayan dan pendidik
anak dan remaja GMIT Jemaat Koinonia Kupang
0 comments:
Post a Comment