Tuesday, September 30, 2025

Cintamu Membunuhku

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Cintamu Membunuhku

Ada sebuah kebakaran yang memberi kesan membara tetapi lembut dan pasti. 

Bukan menghasilkan kepulan asap dan sirene, melainkan kebakaran yang memakan ruang-ruang ego, menyapu retakan-retakan rasa nyaman palsu, dan meninggalkan satu hal yang benar-benar hangus: aku yang dulu.

Mazmur itu berbicara dengan suara yang gampang dikenali, suara yang bergetar ketika seseorang jatuh cinta bukan pada manusia, melainkan pada Rumah-Nya. “Cinta akan rumahmu menghanguskan aku.”


Api itu tidak untuk menghancurkan tanpa tujuan; api itu membersihkan, memurnikan, menyingkap siapa yang tersisa setelah semua kepasrahan dipanggang dan terpanggang.

Aku pernah membayangkan iman sebagai mantel hangat yang kukenakan di pagi dingin: nyaman, aman, pas di badan. 

Namun kasih Tuhan ternyata lebih mirip oven kaca raksasa yang setelah menyalakannya, membuatku sadar bahwa mantel itu penuh noda—noda ego, ambisi, panggilan palsu, pelayanan palsu penuh obsesi diri sendiri, mencari eksistensi diri palsu yang harus dilebur agar aku muat dalam pakaian baru: kehidupan yang hanya untuk Dia. 

Prosesnya? Menyakitkan, lucu, ironis, serupa orang yang tertawa saat sadar bajunya terbalik di depan cermin.

Kesengsaraan awalnya terasa intolerable: rasa malu karena kebiasaan lama tersingkap, kebiasaan untuk mengambil untung, kepentingan diri sendiri, untuk menuntut, untuk mempertahankan citra. 

Namun ada momen—aneh dan intim—ketika aku menangkap bahwa “mati” yang ditawarkan kasih-Nya bukanlah kehancuran total, melainkan pembebasan dari tirani diriku sendiri. 

Aku mulai mengerti bahwa hidup yang kupegang erat selama ini sebenarnya adalah tiruan: hidup yang dipoles untuk dilihat manusia, bukan untuk memuliakan Tuhan.


Cara Kasih Tuhan Membunuh Keegoanku

  • Pertama, kasih itu menatap langsung ke inti. Ia tidak sibuk dengan kosmetik rohani. Dia melucuti; ia mengajak jujur. Di situlah ego mulai goyah: palu kasih menumbuk satu demi satu alasan kita berkuasa pada diri sendiri.
  • Kedua, kasih itu menuntut pilihan. Ketika engkau dicintai sampai mati oleh Tuhan, engkau dihadapkan pada pertanyaan sederhana: siapa yang memimpin hidupmu? Kalau jawabannya masih “aku”, kasih itu akan bertindak seperti dokter tegas yang menganjurkan operasi.
  • Ketiga, prosesnya seringkali absurd. Ada saat-saat ketika kamu menangis di sudut karena merasa kecil, lalu tertawa di detik berikutnya karena menyadari betapa dramatisnya dirimu selama ini. Humor kecil itu menjadi obat dalam proses yang menembus tulang.

Ada kalanya aku merasa seperti tokoh di drama komedi romantis: diculik oleh cinta Ilahi, dibawa ke tempat tak dikenal, diberi pelajaran-tanpa-syarat tentang bagaimana melepaskan. 

Hanya bedanya, di akhir pertunjukan Tuhan tidak menuliskan nomor telepon baru untuk dihubungi, Ia menuliskan kehidupan baru untuk dijalani.

Surat Galatia menyuguhkan sebuah pernyataan yang tak kalah berani: “Aku telah disalibkan bersama Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

Pernyataan itu menjelaskan konkret apa yang mazmur rasakan secara emosional. 

Mazmur berteriak karena rindu Rumah-Nya; Galatia menyatakan bahwa rindu itu berbuah radikalitas hidup: “aku mati” supaya “Kristus hidup.” Lebih tepatnya: “Kristus mati supaya aku hidup”. Dan, Dia hidup selama-lamanya.

Di sini ada kesejajaran yang jelas: mazmur menunjukkan gejolak cinta yang “menghanguskan”, Galatia memberi teologi pada pengalaman itu, mati secara simbolis terhadap diri sendiri agar hidup bagi Kristus.

Ego kita tidak dihapus karena kecelakaan; ia dikubur sebagai konsekuensi logis dari hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Ketika aku merespons kasih itu, aku tidak berusaha lagi melakukan pertunjukan kepahlawanan rohani. 

Sebaliknya, ada kebebasan menakjubkan: kalau bukan aku yang memimpin, maka kesalahan dan kekonyolan yang kubuat tidak lagi menjadi pusat drama.

Tapi berhati-hatilah: ada godaan untuk menginventarisasi kebajikan baru: sebuah ego versi rohani yang berkata, “Lihat, aku telah mati bagi diriku.” 

Galatia memberi teguran halus: jika kita mulai memanfaatkan kematian diri itu sebagai alat untuk menaikkan citra diri, maka kita meniadakan kasih yang memanggil kita mati untuk hidup. Kasih yang sejati menghasilkan kerendahan hati, bukan trofi moral.




Humor dalam Api yang Menyala

Bayangkan momen ketika Tuhan membongkar “playlist” hidupmu. Lagu-lagu yang tadinya kau pasang untuk menegaskan siapa dirimu—lagu populer, lagu ambisi, bahkan lagu “aku-lah-pahlawan”—semua diputar ulang di hadapan-Nya. Dia menekan tombol next. Kau protes: “Tunggu, itu lagu kemenangan saya!” 

Tuhan hanya menatap sambil tersenyum lalu memutar lagu baru: “Hidup bagi Kristus.” Ternyata lagu baru itu mudah dinyanyikan; liriknya sederhana: “Bukan aku, tetapi Kristus.”

Humornya juga muncul dalam kebiasaan kita memikirkan ‘bagaimana’ mengorbankan diri. Kita merancang skenario heroik, tapi kenyataannya pengorbanan seringkali sepele: memberi kursi di transportasi umum, mengakui kesalahan kecil, melewatkan kesempatan mendapatkan pujian. 

Banyak dari momen-momen suci itu tampak keterlaluan biasa. Sebuah ironi: kematian besar sering terjadi lewat hal-hal yang paling kecil.

 

Penutup

Cintamu membunuhku bukanlah ancaman; itu adalah undangan paling lembut untuk berubah. Seperti mazmur yang terbakar oleh rindu akan rumah Tuhan, dan seperti Galatia yang menegaskan kematian diri untuk kehidupan Kristus, panggilan ini membawa kita dari sandbox ego kepada taman kehidupan yang lebih besar. 

Kematian ego bukan akhir; itu adalah kelahiran ulang yang membuat setiap nafas menjadi doa, setiap kegagalan menjadi bahan komedi yang menumbuhkan belas kasih, dan setiap keberhasilan menjadi kesempatan untuk menunjuk ke arah lain, ke Hadirat yang menghanguskan segala yang menghalangi kasih-Nya.

Kalau kau masih ingin mempertahankan sedikit ruang untuk dirimu sendiri, pahamlah: Tuhan mungkin akan mengirimkan kebakaran kecil lagi. Jangan khawatir, ada selimut keselamatan yang cukup besar untuk menahanmu saat kamu belajar menari di antara bara, dan ada juga humor ilahi yang membuatmu tersenyum ketika bajumu akhirnya benar-benar pas.

 

Continue reading Cintamu Membunuhku

Thursday, September 25, 2025

Seperti pohon ditanam

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Seperti pohon ditanam

Seperti pohon dan gedung yang akarnya dalam atau pondasinya dalam dan kuat maka gedung itu atau pohon itu tinggi dan kuat.

Orang yang ditanam itu tidak enak. Prosesnya berat. Tapi ujungnya tinggi. Pengaruhnya besar.

Jika seseorang sedang berada di bawah pandangannya terbatas. Tapi jika dia berada di atas pandangannya luas. 

Saat berada di bawah dan di atas beban masalahnya sama tapi karena pandangannya beda maka jika berada di atas cenderung lebih leluasa dan tenang.

Mazmur 75: 7-8 berbicara tentang peninggian atau promosi: Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain.

Mereka yang ditanam atau mengalami proses pemondasian tidak kelihatan. Dan, apa yang tidak kelihatan dan semakin dalam semakin sulit dan butuh ketekunan.

Tuhan yang akan tinggikan. Proses pertumbuhan tanaman bukan hasil kerja manusia. Promosi itu dari Tuhan. Mereka yang tidak berakar dalam, tidak bertumbuh ke dalam dan lebih dalam akan mudah runtuh.

Bayangkan pohon atau bangunan yang kurang dalam akar atau pondasinya. Pohon atau gedung yang tinggi tapi akar atau pondasinya kurang dalam maka jika diterpa badai gampang roboh.

Suatu saat, dalam doa pagi di Oebobo, 24 Desember 23)









Continue reading Seperti pohon ditanam

Wednesday, September 24, 2025

Ketika Etika Tak Berestetika

 

ged pollo

oleh: grefer pollo



Etika itu ibarat fondasi rumah: kokoh, penting, tapi kalau cuma fondasi tanpa dinding dan taman, siapa yang betah tinggal? 

Nah, di situlah estetika masuk mengambil perannya, memberi keindahan, harmoni, dan rasa nyaman.

Masalahnya, kadang kita terlalu sibuk jadi “benar” sampai lupa jadi “indah.” 

Hasilnya? Etika yang kaku, seperti papan pengumuman larangan yang ditulis dengan huruf kapital semua: DILARANG MASUK! Itu memang benar, tapi bikin orang merasa dihardik, bukan diingatkan.

Alkitab sendiri sering mengingatkan bahwa kebenaran tanpa kasih itu kosong. 

Paulus menulis, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang atau canang yang gemerincing.” (1 Korintus 13:1). 

Artinya, etika tanpa estetika kasih hanyalah bunyi nyaring yang bikin telinga sakit.



Bayangkan kalau Yesus menegur orang Farisi dengan gaya “caps lock” tanpa kelembutan. Mungkin mereka langsung kabur, bukan bertobat. Tapi karena ada keindahan dalam cara-Nya tegas tapi penuh kasih. Teguran itu justru menembus hati.

Jadi, etika tanpa estetika itu seperti kopi tanpa gula bagi yang tak terbiasa: pahit, bikin meringis, dan akhirnya ditinggalkan. 

Tapi ketika etika dibungkus estetika kasih, ia jadi seperti kopi dengan aroma harum, tetap kuat, tapi mengundang orang untuk duduk, menyeruput, dan merenung.

Hidup ini bukan hanya soal benar atau salah, tapi juga soal bagaimana kebenaran itu dihidupi dengan indah. 

Karena dunia tidak hanya butuh aturan, tapi juga teladan yang memikat hati.


Dunia ini tidak "butuh" orang pintar tetapi butuh pintar-pintar jadi orang (_ged pollo).










Continue reading Ketika Etika Tak Berestetika

Kebencian: Sampah yang Bisa Disulap Jadi Kedamaian

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Kebencian itu seperti sisa makanan di kulkas yang sudah lupa asal-usulnya. Kamu tahu itu ada, kamu tahu baunya mulai aneh, tapi kamu juga tahu: kalau dibiarkan, bisa bikin kulkas (dan hidupmu) berantakan.

Tapi tunggu dulu. Sebelum kamu buang mentah-mentah, coba pikir: bisa tidak, kebencian itu diolah ulang? Bukan untuk dimakan. Tapi untuk jadi sesuatu yang lebih bergizi secara emosional.

Kebencian muncul karena luka. Luka dari kata-kata yang tajam, sikap yang dingin, atau janji yang cuma numpang lewat. Tapi luka itu, kalau dirawat, bisa sembuh. Dan kebencian, kalau diolah, bisa jadi bahan bakar untuk perubahan.

Bayangkan kamu punya blender emosi. Masukkan kebencian, tambahkan sedikit kesadaran, sejumput humor, dan segelas besar pengertian. Tekan tombol “maafkan” dan “lepaskan.” Hasilnya? Smoothie kedamaian. Rasanya mungkin pahit di awal, tapi efeknya bikin hati adem.

Karena hidup bukan tempat sampah. Hidup itu taman dan kamu berhak menanam damai, bukan menyimpan dendam.

Jadi, kalau kamu merasa hatimu penuh sampah emosional, jangan panik. Ambil napas. Ambil pelajaran. Dan mulai daur ulang.

Siapa tahu, dari situ kamu bisa jadi versi terbaik dari dirimu yang tidak hanya bersih dari kebencian, tapi juga wangi dengan ketenangan.

 

Kamu bisa jadi seniman. Seniman daur ulang emosi.

Ambil kebencian itu. Potong-potong jadi pelajaran. Lipat jadi pengertian. Warnai dengan empati. Tempelkan di dinding hati sebagai pengingat: “Aku pernah marah, tapi aku memilih damai.”

Karena damai itu bukan hadiah dari semesta. Damai itu berasal dari Yesus Kristus dan muncul dari hasil memilah, mengolah, dan menyadari bahwa memaafkan bukan berarti kalah. Itu berarti kamu cukup kuat untuk tidak membawa sampah ke masa depan.

Jadi, kalau kamu punya kebencian yang masih menyangkut, jangan dibuang ke sembarang tempat. Daur ulang saja. Siapa tahu, dari situ kamu bisa bikin taman hati yang subur tempat tumbuhnya ketenangan, bukan dendam.




Continue reading Kebencian: Sampah yang Bisa Disulap Jadi Kedamaian

1 Gamber 7 Cerita

 

ged pollo
oleh: grefer pollo

Di dinding ruang tamu, tergantung satu gambar. Bukan lukisan mahal, bukan foto pemenang Nobel. 

Hanya satu jepretan sederhana: seorang pria duduk di bangku taman, mengenakan kaus polos, celana jeans, dan ekspresi yang entah antara bingung atau sedang menghitung jumlah daun gugur.

Tapi jangan tertipu. Gambar itu punya tujuh cerita. Tujuh versi, tujuh sudut pandang, tujuh kemungkinan yang membuat kita bertanya-tanya: “Sebenarnya, apa yang terjadi?”

1. Cerita Sang Fotografer

Ia bilang itu momen spontan. Katanya, “Saya cuma mau foto burung merpati, tapi, pria itu duduk pas di frame. Bonus!” Elegan? Mungkin. Profesional? Meragukan.

2. Cerita Sang Pria

“Lagi berpikir tentang hidup,” katanya. Tapi rumor beredar, ia sebenarnya sedang menunggu tukang bakso lewat. Filosofis dan lapar, kombinasi yang tak terduga.

3. Cerita Sang Bangku

Bangku itu sudah lelah. Katanya, “Sudah 12 tahun menopang manusia dengan berbagai beban, dari patah hati sampai kejaran penagih hutang koperasi.” Ia ingin pensiun, tapi taman belum punya anggaran.

4. Cerita Daun Gugur

Daun-daun itu merasa dramatis. Mereka jatuh perlahan, berharap ada yang menulis puisi tentang mereka. Sayangnya, pria di bangku lebih tertarik pada bakso.

5. Cerita Seekor Kucing

Kucing liar di taman mengaku pernah duduk di bangku itu dulu. “Tempat strategis untuk mengintai ayam goreng dari pengunjung,” katanya. Kini ia merasa tergusur.

6. Cerita Seorang Anak Kecil

Anak itu melihat gambar dan berkata, “Itu ayahku waktu belum punya aku.” Ibunya tersenyum, ayahnya panik. Cerita berkembang jadi sesi tanya jawab yang panjang.

7. Cerita Kita

Kita melihat gambar itu dan menciptakan cerita sendiri. Mungkin tentang cinta yang tertunda, atau tentang seseorang yang akhirnya menemukan ketenangan. Atau mungkin… tentang bakso.

Gambar boleh satu, tapi cerita bisa tujuh—atau tujuh puluh tujuh. Karena setiap mata punya tafsir, dan setiap hati punya versi.







Continue reading 1 Gamber 7 Cerita

Sunday, September 21, 2025

“Do your best and let God take the rest”. Apakah seharusnya demikian?

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Ungkapan “Do your best and let God take the rest” populer sebagai motivasi: kita berusaha maksimal, lalu menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah. 

Namun dari perspektif teologi Kristen, kalimat ini memuat sejumlah implikasi problematis yang perlu dikritisi.


1. Pemisahan Antara Usaha Manusia dan Peran Allah

Menurut pepatah ini, ada “porsi” usaha manusia dan “sisa” yang menjadi tanggung jawab Allah. 

Padahal dalam ajaran Alkitab, segala hal bermula dan berakhir pada tindakan Allah. Yesus katakan Akulah Alfa dan Omega. Yang Awal dan Yang Akhir (Wahyu 22:13).

  • Allah sudah menyelenggarakan alam semesta jauh sebelum manusia berusaha sedikit pun.
  • Menyiratkan Allah hanya mengerjakan “sisa” proyek kita justru membalik paradigma: seolah Allah menunggu sampai kita selesai baru kemudian bertindak, padahal Dia terus-menerus memelihara ciptaan-Nya.

2. Ketergantungan Allah pada Kualitas Usaha Kita

Ungkapan tersebut membuat Allah seakan bergantung pada seberapa baik dan banyak kita bekerja:

  • “The rest” dinilai sebagai bagian yang Allah lakukan setelah kita semaksimal mungkin.
  • Konsekuensinya, jika usaha kita kurang, porsi Allah pun “tersisa” sedikit. Padahal Alkitab menegaskan kasih karunia dan kuasa Tuhan tidak terbatas oleh keterbatasan manusia.

3. Menyederhanakan Kerja Allah yang Melampaui Manusia

Dengan menyatakan Allah hanya menuntaskan “berserakan” dari pekerjaan kita, ungkapan ini meremehkan kuasa dan kedaulatan-Nya. Sebaliknya, kita perlu mengingat bahwa:

  • Allah lah yang memulai karya keselamatan dan memelihara hidup setiap saat.
  • Manusia berpartisipasi dalam karya Allah, bukan sebaliknya.


Ungkapan Alternatif


Do the rest, because God does all—and the best.”

Artinya:

  • Allah sudah, sedang, dan akan selalu mengerjakan yang terbaik menurut hikmat-Nya.
  • Manusia hanya “mengambil sisa” partisipasi yang memang Allah sudah sediakan bagi kita.


Implikasi Praktis dalam Kehidupan Iman

Mengadopsi ungkapan yang lebih teologis akurat membantu kita:

  • Menguatkan sikap bergantung penuh pada kasih karunia Tuhan.
  • Menghilangkan kecenderungan mengukur keberhasilan rohani hanya dari hasil usaha manusia.
  • Menghayati bahwa partisipasi kita sesungguhnya adalah respons atas inisiatif Allah yang tak pernah terputus.


Continue reading “Do your best and let God take the rest”. Apakah seharusnya demikian?

Love vs Lust: Kasih dan Nafsu Orang Muda: Kasih sebagai Tindakan yang Berakar pada Kebenaran

 

ged pollo

oleh: grefer pollo

Kasih bukan sekadar gema perasaan yang bergetar di dalam dada. Kasih nyata terwujud dalam langkah-langkah kecil yang kita lakukan setiap hari. 

Ketika kita menolong tanpa pamrih, mengulurkan tangan sebelum diminta, atau memilih berkata jujur meski kenyataannya pahit.

Menarik untuk dicermati bahwa kata kasih, seperti dalam 1Korintus 13:4-8: “tidak bersukacita karena ketidakadilan” (αδικια, adikia, harfiah: ketidakbenaran). 

Menggenggam kasih berarti menolak merayakan ketidakadilan, menolak menggembirakan hati kala kebenaran diinjak, dan menolak diam saat keadilan terlanggar. 

Dengan demikian banyak kesalahan dilakukan oleh kaum muda yang mengartikan atau mengatas namakan kasih lalu berzinah, hidup dalam nafsu dengan teman atau pacar, menyakiti orang lain, dan sebagainya, kemudian membuang orang itu begitu saja.

Saat kita memilih berdiri membela teman yang difitnah, saat kita menahan diri untuk tidak ikut-ikutan gosip, atau ketika kita rela mengorbankan kenyamanan demi menuntun orang tersesat kembali ke jalan terang, di situlah kasih menari. 

Kasih sejati menuntut integritas; ia selalu terikat dengan kebenaran.

Dalam bingkai kasih, tindakan kita menjadi cermin nilai yang kita pegang. 

Setiap keputusan jujur, setiap keberanian menegakkan keadilan, dan setiap pengakuan kesalahan adalah butir-butir cinta yang meneguhkan hubungan, bukan sekadar membuai perasaan.

Biarkan kasih kita berakar pada kebenaran. Karena hanya dengan kebenaran sebagai pijakan, kasih akan tumbuh teguh, menolak diinjak ulah ketidakbenaran, dan bersinar abadi dalam setiap jejak langkah kehidupan.


Kasih sejati adalah tindakan yang mengutamakan kebenaran dan keadilan. Nafsu, di sisi lain, adalah dorongan biologis yang mengejar kepuasan pribadi tanpa memperhatikan nilai-nilai yang lebih tinggi.

 

Apa Itu Kasih?

Kasih bukan sekadar perasaan hangat atau gairah sesaat. Kasih adalah rangkaian perilaku yang membangun kepercayaan dan keutuhan pasangan.

Kasih:

  • Berhubungan erat dengan kebenaran; ia “tidak bersukacita karena ketidakbenaran”
  • Mencari keadilan dan kebaikan bagi kedua pihak
  • Menuntun pada penyelesaian konflik secara terbuka dan jujur

 

Apa Itu Nafsu?

Nafsu sering muncul sebagai hasrat fisik yang intens dan mendesak. Ia bersifat sementara dan menitikberatkan pada keinginan diri sendiri.

Nafsu:

  • Fokus pada kepuasan indrawi
  • Cenderung mengabaikan komitmen jangka panjang
  • Bisa menimbulkan rasa bersalah atau penyesalan jika bertentangan dengan nilai kebenaran

 

Ciri-Ciri Kasih dalam Pacaran atau Pernikahan

  1. Mendengarkan sebelum berbicara dengan pasangan. Sungguh-sungguh peduli dan meluangkan waktu untuk benar-benar memahami kisah, kekhawatiran, atau impianmu.
  2. Komitmen pada pertumbuhan bersama. Mencari kenikmatan bersama dan menciptakan tujuan bersama. Misalnya menabung untuk rumah atau mempelajari bahasa baru. Menjadikan hubungan lebih bermakna.
  3. Mengoreksi dengan lembut bila salah paham muncul. Kasih mendorong penyelesaian yang adil, bukan menyalahkan secara emosional.

 

Ciri-Ciri Nafsu dalam Pacaran atau Pernikahan

  1. Mengejar keintiman fisik tanpa dialog emosi. Terburu-buru melewati pembicaraan penting agar bisa segera “kesampaian.”
  2. Menghindar dari tanggung jawab jangka panjang. Janji berubah-ubah saat situasi mulai sulit. Misalnya menolak diskusi finansial atau rencana anak.
  3. Rasa bersalah setelah bertindak nafsu yang tidak dikawal sering diikuti penyesalan dan jarak emosional.

 

Contoh saat berpacaran:

  • Kamu rela meunggu-menunggu chat dari pasangan yang galau tentang pekerjaan demi kebaikan pasanganmu, itu kasih.
  • Tetapi jika hubungan hanya terasa hidup saat berduaan di ranjang, itu nafsu.

 

Contoh saat pernikahan:

  • Suami istri yang sering mengalami konflik memilih menenangkan hati, lalu berbicara dengan sabar, dan berdoa bersama, itulah kasih dalam tindakan.
  • Sebaliknya, pasangan yang lebih suka menghindar dan mencari kenikmatan instan saat rumah penuh masalah, menunjukkan nafsu yang menguasai.

 

Merawat Kasih Sehari-Hari

  • Jadwalkan waktu khusus untuk diskusi terbuka tanpa gangguan gadget
  • Latih empati: tanyakan “Bagaimana perasaanmu hari ini?” dan dengarkan tanpa menghakimi
  • Buat ritual kecil: berpelukan sebelum tidur, tulis surat cinta sederhana, atau masak bersama
  • Belajar berkata “maaf” dan “terima kasih” dengan tulus di momen-momen kecil

 

Kasih yang dibangun di atas kebenaran akan mendorong hubungan yang tangguh dan bermakna. 

Nafsu tetap hadir dalam setiap hubungan, tetapi kasihlah yang menuntun kita melewatinya untuk tumbuh bersama. 

Percayalah, kasih yang bertumpu pada kebenaran akan selalu lebih memuaskan daripada kesenangan sesaat.






Continue reading Love vs Lust: Kasih dan Nafsu Orang Muda: Kasih sebagai Tindakan yang Berakar pada Kebenaran

Tuesday, September 9, 2025

Blind Spot Kehidupan

 

ged pollo

oleh: grefer pollo


Pandangan Kita

Dalam dunia otomotif, istilah blind spot merujuk pada area di sekitar kendaraan yang tidak terlihat oleh pengemudi, meskipun kaca spion sudah digunakan. 

Blind spot bisa berbahaya jika tidak disadari—karena sesuatu yang tidak terlihat bisa berdampak besar. Namun, konsep ini bukan hanya berlaku di jalan raya. Ia juga berlaku dalam kehidupan rohani kita.

Kita semua memiliki blind spot dalam hidup: area-area yang tidak kita pahami, proses yang tidak kita lihat, dan karya Allah yang sedang berlangsung di balik layar. 

Kita sering merasa gelisah karena tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kita bertanya, “Mengapa ini terjadi?” atau “Di mana Tuhan dalam semua ini?”



Kisah Nyata: Di Balik Kegagalan

Seorang pemuda bernama Yosafat pernah gagal dalam usaha pertamanya membuka bengkel motor. Ia merasa Tuhan tidak menjawab doanya. 

Ia kecewa, bahkan sempat berhenti berdoa. Namun, di tengah masa sulit itu, ia mulai membantu tetangga memperbaiki motor secara gratis. 

Tanpa ia sadari, orang-orang mulai mengenalnya bukan hanya sebagai montir, tapi sebagai pribadi yang murah hati dan bisa dipercaya.

Dua tahun kemudian, seorang pengusaha yang pernah dibantu tanpa pamrih menawarkan modal untuk membuka bengkel baru. Kali ini, usahanya berkembang pesat. 

Yosafat berkata, “Saya pikir Tuhan tidak bekerja. Tapi ternyata, Dia sedang membentuk karakter saya bukan hanya usaha saya.”

 

Etika dan Estetika Iman

Etika Kristiani mengajarkan bahwa iman bukanlah melihat segalanya dengan jelas, tetapi mempercayai bahwa Allah bekerja bahkan saat kita tidak melihat. 

Estetika iman bukanlah hidup tanpa misteri, tetapi hidup yang tetap indah meski belum semua terjawab.

Blind spot bukanlah tanda bahwa Tuhan absen. Ia adalah ruang di mana kita belajar percaya. Sebab Allah tidak selalu menunjukkan proses-Nya, tapi Ia selalu menyatakan kasih-Nya.


Blind Spot dan Jendela Hati: Ketika Allah Bekerja di Ruang yang Tak Terlihat

Teori Johari Window, yang dikembangkan oleh Joseph Luft dan Harrington Ingham, membagi kesadaran diri ke dalam empat kuadran:

  1. Open Self – apa yang kita tahu dan orang lain tahu tentang kita
  2. Hidden Self – apa yang kita tahu tapi orang lain tidak tahu
  3. Blind Self – apa yang orang lain tahu tapi kita tidak tahu
  4. Unknown Self – apa yang tidak diketahui oleh kita maupun orang lain

Blind Self adalah wilayah yang paling rentan namun paling potensial. Di sinilah kita sering tidak sadar akan kelemahan, luka, atau bahkan potensi yang belum tergali. 

Dan menariknya, di sinilah Tuhan sering bekerja.

Rasul Paulus menulis dalam Roma 8:26,

“Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa...” Dan di ayat 28, ia menegaskan: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia...”

Kita tidak tahu bagaimana Allah bekerja. Kita tidak tahu di mana Ia sedang bergerak. Tapi kita tahu satu hal: Ia sudah bekerja. 

Kita tahu apa yang sudah Ia lakukan di salib, di kubur yang kosong, dan dalam hidup kita yang terus dibentuk.

Ia bekerja di ruang yang tidak kita lihat, di kuadran blind spot dan unknown self kita. 

Ia menyentuh luka yang belum kita sadari, membentuk karakter yang belum kita pahami, dan menyiapkan jalan yang belum kita pikirkan.

 

Kisah Nyata: Dibentuk di Ruang Tak Terlihat

Seorang guru bernama Lidia pernah merasa gagal karena murid-muridnya tidak menunjukkan perubahan. Ia merasa tidak berguna. Namun, bertahun-tahun kemudian, seorang mantan murid datang dan berkata, “Bu, waktu Ibu menangis diam-diam di kelas, saya belajar tentang ketulusan. Itu mengubah saya.”

Lidia tidak pernah tahu bahwa momen yang ia anggap lemah adalah titik perubahan bagi orang lain. Blind spot-nya adalah tempat Allah bekerja—bukan untuk mempermalukan, tapi untuk menyatakan kasih dan kuasa-Nya.


Etika dan Estetika Iman

Etika Kristiani mengajarkan bahwa kita harus rendah hati untuk menerima bahwa kita tidak tahu segalanya. Estetika iman mengajarkan bahwa keindahan sejati lahir dari ruang yang tersembunyi, dari proses yang tidak terlihat, dari karya Allah yang diam-diam membentuk kita.

Blind spot bukanlah kelemahan yang harus ditakuti, melainkan ruang yang harus diserahkan kepada Tuhan. Sebab di sanalah Ia bekerja paling dalam, paling lembut, dan paling mengubahkan.



Penutup yang Menguatkan

Jangan takut pada apa yang tidak kamu lihat. Jangan kecewa karena tidak semua doa dijawab dengan cara yang kamu harapkan. 

Sebab Allah tidak hanya bekerja di ruang terang, tetapi juga di ruang gelap. Ia tidak hanya menyentuh yang kamu tahu, tetapi juga yang kamu belum tahu.

Dan ketika waktunya tiba, blind spot itu akan menjadi tempat kesaksian bahwa Tuhan tidak pernah berhenti bekerja, bahkan saat kita tidak melihat.

Jadi, ketika hidup terasa gelap, ketika arah tidak jelas, dan ketika doa belum dijawab seperti yang kita harapkan, ingatlah: Allah sedang bekerja di tempat yang tidak kita lihat. 

Dan ketika waktunya tiba, kita akan bersyukur bahwa Ia tidak mengikuti pandangan kita, tetapi membentuk kita melalui kasih dan hikmat-Nya yang sempurna.

Sebab di balik setiap blind spot, ada tangan Tuhan yang tetap setia.



Continue reading Blind Spot Kehidupan

Dibentuk di Tengah Keadaan: Tuhan Ubah Kita, Bukan Sekitar Kita

 


oleh: grefer pollo

Sering kali, ketika hidup membawa kita pada persimpangan sulit, doa kita berbunyi sama: “Tuhan, ubahlah keadaan ini.” Kita ingin badai segera reda, jalan menjadi lapang, dan beban terasa ringan. 

Namun, dalam hikmat-Nya yang tak terbatas, Tuhan kerap memilih jalan yang berbeda. Ia tidak selalu mengubah keadaan di sekitar kita, tetapi Ia mengubah diri kita melalui keadaan itu.

Mengapa? Karena bagi Tuhan, pembentukan hati jauh lebih berharga daripada sekadar kenyamanan sesaat. 

Ia melihat potensi yang belum kita sadari, kekuatan yang belum terasah, dan kasih yang belum sepenuhnya kita hidupi. Seperti tukang periuk yang membentuk tanah liat, Ia membiarkan tekanan, putaran, dan sentuhan yang kadang menyakitkan, demi menghasilkan bejana yang indah dan berguna. 

Sang penjunan akan menggunakan keadaan sekitar, tekanan sekitar tanah liat untuk membentuk tanah liat itu menurut kehendak dia.


Rasul Paulus menulis,

“Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” (Roma 5:3–4)

Ayat ini mengajarkan bahwa (1) kesengsaraan yang ada  di sekitar kita justru mentransformasi hidup kita, (2) proses pembentukan tidak pernah sia-sia. 

Kesulitan yang kita hadapi adalah ruang latihan bagi iman, kesabaran, dan karakter kita. Kesengsaraan dan kesulitan tidak dijauhkan Tuhan dari kita. Justru digunakan untuk kebaikan diri kita.


Kisah yang Menggugah

Seorang petani di sebuah desa kecil pernah mengalami musim kemarau panjang. Ladangnya retak, panennya gagal, dan tabungannya menipis. 

Ia berdoa setiap hari agar hujan turun. Namun, hujan tak kunjung datang. Sebaliknya, Tuhan memberinya ide untuk menggali sumur di tanahnya sendiri. Sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Pekerjaan itu berat, memakan waktu, dan menguras tenaga. Tetapi ketika sumur itu akhirnya memancarkan air, bukan hanya ladangnya yang terselamatkan, melainkan juga ladang-ladang tetangganya. 

Ia berkata, “Saya berdoa Tuhan mengubah musim, tapi ternyata Tuhan mengubah saya: dari petani yang hanya menunggu hujan menjadi sumber air bagi banyak orang.”


Nilai Etika dan Estetika Hidup

Etika Kristiani mengajarkan bahwa kasih, pengampunan, dan kerendahan hati bukanlah hasil dari keadaan yang ideal, melainkan pilihan (sulit) yang kita ambil di tengah keadaan yang sulit. 

Estetika hidup yang sejati bukanlah hidup tanpa luka, tetapi hidup yang tetap memancarkan cahaya di tengah luka.

Tuhan tidak membentuk kita agar hidup bebas dari masalah, tetapi agar kita menjadi pribadi yang mampu menghadapi masalah dengan hati yang teguh dan penuh kasih. 

Ia mengajarkan kita untuk melihat setiap situasi—baik atau buruk—sebagai kesempatan untuk bertumbuh.

 

Penutup yang Menguatkan

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku.” (Yesaya 55:8)

Ketika keadaan tidak berubah, jangan tergesa-gesa menganggap Tuhan diam. Mungkin Ia sedang bekerja di ruang yang lebih dalam yaitu di hati, pikiran, dan karakter kita. Sebab hati yang diubah oleh Tuhan akan mampu menghadapi dunia yang tidak berubah, dengan damai yang melampaui segala pengertian.




Continue reading Dibentuk di Tengah Keadaan: Tuhan Ubah Kita, Bukan Sekitar Kita