Tahun 2025 hampir menutup pintunya. Kalender berganti, tetapi pertanyaan lama tetap mengetuk: apakah kita hanya menghitung hari, ataukah kita sedang menimbang makna?
Sejarah dunia mengajarkan bahwa bangsa yang lupa bercermin
akan mengulang kesalahan.
Sejarah tak pernah bohong, sejarah jujur apa adanya. Mereka yang tidak
belajar dari sejarah akan mengulangi kesalahan yang sama dalam sejarah itu.
Alkitab pun menegaskan, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami
sedemikian, sehingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12).
Tahun 2025 ditandai dengan ketidakpastian global: krisis ekonomi,
perubahan iklim, dan konflik yang mengingatkan kita pada siklus sejarah
lama—bahwa manusia sering jatuh pada keserakahan dan perebutan kuasa.
Gereja mula-mula, menurut catatan Kisah Para Rasul, menghadapi tekanan
politik dan sosial, tetapi mereka bertahan dengan solidaritas, doa, dan
keberanian moral. Serta tentunya, penyertaan Roh Kudus.
Sejarah Nusantara pun mengingatkan: dari perjuangan rakyat kecil hingga
tokoh besar, perubahan selalu lahir dari keberanian menolak pasrah dan lahirnya
pemimpin baru melalui masalah yang dihadapi bersama.
Refleksi akhir tahun bukan sekadar nostalgia. Ia adalah audit moral.
- Keluarga: Apakah rumah kita menjadi tempat aman,
atau sekadar halte singgah di tengah kesibukan?
- Pekerja: Apakah kerja kita hanya demi gaji,
ataukah menjadi kontribusi nyata bagi sesama dan kehidupan itu sendiri?
- Pelayan
Gereja: Apakah pelayanan
kita berhenti pada rutinitas liturgi, ataukah menjadi suara profetis yang
berani menegur ketidakadilan dan digerakkan oleh kebenaran?
Sejarah menunjukkan, bangsa yang kuat bukanlah bangsa tanpa masalah,
melainkan bangsa yang berani mengakui kelemahan dan memperbaikinya.
Mari kita bayangkan akhir tahun seperti meja makan keluarga: ada tawa, ada cerita, ada teguran lembut, ada doa bersama. Semua usia bisa duduk di sana: anak, orang tua, pekerja, pelayan.
Refleksi bukanlah beban, melainkan
kesempatan untuk menata ulang kursi, menyusun ulang piring, dan memastikan roti
dibagi rata.
Jika 2025 hanya kita tutup dengan pesta kembang api, maka kita sekadar jadi penonton sejarah.
Tetapi jika kita menutupnya dengan keberanian untuk
berkata: “Aku akan hidup lebih jujur, lebih adil, lebih peduli”, maka
kita sedang menulis bab baru dalam kitab kehidupan.
Søren Kierkegaard, filsuf Denmark abad ke-19 pernah menulis: “Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards.
Manusia hanya bisa memahami hidup melalui refleksi masa lalu—kesalahan, keputusan, kehilangan, dan cinta. Namun, kita tidak bisa hidup di masa lalu. Kita harus melangkah maju, meski tanpa jaminan pemahaman penuh.
“Life must be lived
forwards” berarti kita harus berani membuat keputusan, mencintai, gagal,
dan berharap—meski kita belum tahu hasil akhirnya.
Yesus berkata, “Akulah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir” (Wahyu 22:13).
Refleksi akhir tahun bukan sekadar menatap ke belakang, melainkan
menyiapkan diri berjalan bersama Dia yang memegang sejarah.
Tahun berganti, tetapi panggilan tetap sama:
- Untuk
keluarga: jadilah ruang
kasih.
- Untuk
pekerja: jadilah terang
di tempat kerja.
- Untuk
pelayan gereja: jadilah
suara yang berani, bukan sekadar gema.
Karena sejarah dan Alkitab sama-sama bersaksi: dunia berubah bukan oleh
mereka yang diam, tetapi oleh mereka yang berani hidup dengan hati bijaksana.
Dunia ini tidak butuh orang pintar tetapi pintar-pintar jadi orang _ged
pollo
0 comments:
Post a Comment