oleh: Grefer Pollo, S.P., M.Pd
Pendidikan
di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Para guru mengeluhkan kesejahteraan
mereka yang kurang diperhatikan. Para prangtua mengeluhkan perilaku anak-anak
mereka dan biaya pendidikan yang makin tinggi, jumlah sekolah makin bertambah
tetapi biaya sekolah makin mahal. Keluhan dari siswa mengenai kurang relevannya
materi yang dipelajari dengan kenyataan sehari-hari. Keluhan dari para pemilik
perusahaan mengenai kurang berkualitasnya kompetensi para pencari kerja. Keluhan
dari banyak orang mengenai cepatnya perubahan teknologi digital yang sulit
dijangkau dan dipergunakan oleh para pengguna teknologi. Ya, keluhan ada di
mana-mana. Lalu, apa korelasi dari keluhan ini dengan pendidikan?
Pendidikan memiliki makna penting terhadap
kehidupan. Rasa-rasanya, tanpa pendidikan hidup seperti daam rumah tanpa pintu
dan jendela, atau kehidupan seperti di malam gelap gulita. Mungkin karena
itulah, maka R.A Kartini mengatakan Habis Gelap Terbitlah Terang dan Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, mengatakan, pendidikan
mesti menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak sehingga sebagai
manusia dan anggota masyarakat, mereka dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Di dalam hal ini, pendidikan tidak terlepas
dari kebudayaan. Kebudayaan memiliki makna mengusahakan sesuatu dalam diri
manusia. Dengan demikian, mengembangkan kebudayaan membutuhkan pendidikan, dan
pendidikan yang baik akan mengasilkan kebudayaan yang baik pula (https://www.silabus.web.id/pendidikan-dan-kebudayaan-menurut-ki-hajar-dewantara/.
Diakses 2 Mei 2020). Badan khusus PBB, United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization (UNESCO), mencetuskan model
empat pilar pendidikan untuk menyongsong abad 21 yakni:
(1) Learning to how (belajar untuk mengetahui); (2) Learning to do (belajar untuk melakukan); (3) Learning to be (belajar untuk mengaktualisasikan
diri sebagai individu mandiri yang berkepribadian); dan (4) Learning to live together (belajar untuk hidup
bersama) (https://www.researchgate.net/publication/330761018_Revisiting_UNESCO_Four_Pillars_of_Education_and_its_Implications_for_the_21st_Century_Teaching_and_Learning.
Diakses 2 Mei 2020), dan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) pada 100
hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yakni pada tanggal 25 NOvember
1945 mencanangkan arah gerakan mereka dengan membawa semangat:
1. memepertahankan
dan menyempurnakan Republik Indonesia;
2. mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan;
3. membela hak dan
nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
(http://pgri.or.id/sejarah-pgri/. Diakses 2 Mei
2020)
Semua
hal ini memberi keyakinan kuat bahwa pendidikan menjadi jalan yang paling tepat
untuk mengubah kehidupan dan membawanya ke tempat yang seharusnya melalui
perubahan cara dan pola berpikir seseorang, perubahan cara pandang seseorang.
Jika pola berpikir berubah, maka cara pandang akan berubah. Jika cara pandang
berubah, maka perkataan dan tindakan akan berubah. Jika perkataan dan tindakan
berubah, maka kebiasaan akan berubah. Jika kebiasaan berubah, maka karakter
akan berubah. Kebiasaan dan karakter akan melahirkan budaya dan kebudayaan
manusia. Dengan demikian, pendidikan memberi dampak terhadap kebudayaan dan
kebudayaan itu sendiri akan memberi kontribusi besar terhadap pendidikan. Jadi,
dapat dipastikan bahwa apa yang manusia dapat kerjakan merupakan hasil dari
didikan dan pendidikan yang telah dia terima.
Dampak
covid-19 telah mengubah tatanan dan wajah dunia termasuk pendidikan. Perubahan
ini telah menjadi sebuah tantangan atau hambatan atau bahaya besar, namun, di
sisi lain, juga menjadi sebuah batu loncatan. Covid-19 bergerak begitu cepat.
Baru terjadi di akhir tahun 2019 di kota Wuhan cina, namun memasuki tahun 2020
telah menjalar ke seluruh dunia. Lebih dari 200 negara telah terdampak. Virus
yang telah bermutasi ini sekarang masih sulit teratasi. Dalam menghadapi virus
yang bermutasi, manusia harus mampu beradaptasi. Dampak dari covid-19 yang
penyebaran sangat cepat, mendunia sehingga menjadi sebuah pandemic adalah tidak
boleh ada kerumunan orang atau kegiatan yang mengumpulka banyak orang, sehingga
seluruha aktivitas dilakukan dari rumah. Ibadah dari rumah. Kerja dari rumah.
Belajar dari rumah. Dalam situasi seperti ini, teknologi memiliki peranan yang
sangat penting. Orang yang tidak menguasai teknologi akan sangat sulit
menyesuaikan diri dengan situasi seperti ini. Di sinilah letak masalahnya.
Belum semua masyarakat Indonesia melek teknologi. Kebanyakannya gagap
teknologi. Banyak guru, siswa, orangtua demikian adanya. Belum lagi ditambah
dengan masih kurangnya jaringan internet di berbagai daerah di Indonesia. Masih
ada daerah-daerah yang belum dijamah listrik dan jaringan internet. Ada juga
yang sudah ada listrik dan jaringan internet tetapi masih 2G dan 3G. dalam
situasi seperti ini inovasi dan kreativitas harus berperan penting. Guru dan
orangtua bahkan pemerintah harus dapat berkreasi.
Apa
yang terjadi pada waktu belakangan ini telah memaksa manusia untuk melek
teknologi dan mengubah cara hidup dan kebiasaan yang pada akhirnya akan
mengubah budayanya. Semua berada di rumah, itu artinya, untuk berkomunikasi
membutuhkan teknologi digital dan kreativitas tersendiri. Kreativitas
membutuhkan keberanian mengambil keputusan dan berpikir dengan cara tertentu (think out of the box), berpikir dengan
cara tidak seperti biasanya. Menjadi seorang yang kreatif sebenarnya dapat
dimulai dari sekolah dan bahkan rumah itu sendiri. Namun, yang menjadi
kendalanya adalah pendidikan kita baik di rumah maupun di sekolah sudah terlalu
terbiasa dengan sesuatu yang bersifat urutan atau tahapan, padahal, otak
manusia dapat bekerja tanpa mengikuti tahapan yang ada. Misalnya, kecenderungan
banyak orangtua dan pendidik berpikir mengikuti cara berpikir taksonomi Bloom,
yakni mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi,
mencipta, namun apakah otak dan emosi manusia bekerja hanya menurut urutan ini?
Bisakah seseorang menganalisa sesuatu tanpa memahami sesuatu itu sebelumnya?
Bagaimana jika insting atau naluri manusia ikut terlibat di dalamnya? Apakah
naluri manusia bekerja jika sudah harus mengetahui atau memahami atau
menerapkan sesuatu sebelumnya dulu? Sebenarnya, pendidikan di sekolah dan di
rumah akan menghasilkan sebuah tahapan manusia atau seorang manusia yang
seutuhnya? Inilah keunikan manusia yang bersifat holistis.
Di
tengah kebutuhan informsai dan komunikasi yang mendesak ini, tantangan bagi
pemerintah adalah memastikan jaringan internet dan teknologi digital bisa
dijangkau oleh seluruh masyarakat di manapun berada. Sedangkan, tantangan bagi
dunia pendidikan adalah menyesuaikan diri dengan dampak covid-19 sambil tetap
mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas pendidikan dan menghasilkan lulusan
yang mampu mengkreasikan teknologi informasi dan komunikasi yang ramah
lingkungan, ramah usia, ramah geografis atau wilayah, dan ramah etika.
Tulisan mantab bermanfaat
ReplyDeleteterima kasih
ReplyDelete