Tuesday, May 5, 2020

,

SISTEM ZONASI DAN PENDIDIKAN HOLISTIS


koran victory news

oleh: Grefer Pollo, S.P., M.Pd

Bulan Juni ini para orangtua akan sibuk mencari sekolah bagi anak-anak mereka. Kebanyakan sekolah yang disasar adalah sekolah negeri karena gratis dan lebih murah dari sekolah swasta. Adapula beberapa orangtua lain memilih sekolah swasta tertentu meskipun biayanya jauh lebih mahal dibanding sekolah negeri. Alasannya, pendidikan karakter, kedisiplinan, tawaran beasiswa, spiritualitas, fasilitas, dan kompetensi guru di atas rerata sekolah umumnya. Selain sekolah-sekolah di atas, masih terdapat sekolah yang tidak memenuhi 8 standar nasional pendidikan. Sekolah-sekolah ini tersebar mulai dari kota besar sampai daerah  tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Pada sekolah-sekolah ini kesejahteraan guru dan fasilitas kurang memadai menyebabkan proses belajar mengajar berjalan tidak efektif. Karenanya, mutu lulusan di bawah rerata umum dan minim prestasi. Perbedaan kualitas pada sekolah-sekolah ini tentunya bukanlah harapan dari pemerintah dan masyarakat.

Sistem Zonasi
Berbagai peraturan pemerintah di bidang pendidikan telah diterapkan. Salah satunya adalah sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru. Lewat sistem ini diharapkan adanya pemerataan akses pada kualitas dan layanan pendidikan sampai ke daerah-daerah yang rentan terpinggirkan, mendekatkan jarak sekolah dengan tempat tinggal siswa, dan meniadakan kesan sekolah favorit dan nonfavorit. Dengan demikian, setiap anak dapat memilih sekolah yang dekat dengan rumahnya tanpa merisaukan nilai atau prestasi akademiknya sebab, kriteria utamanya adalah jarak rumah siswa ke sekolah.

Sejak sistem zonasi diterapkan pada tahun 2017, beberapa masalah bermunculan. Antara lain: (1) banyak sekolah yang mengumumkan daya tampung yang  tidak sesuai dengan rombongan belajar yang ada, (2) sekolah belum dapat menerapkan seleksi jarak antara sekolah dengan tempat tinggal siswa sesuai dengan prinsip zonasi, (3) banyak sekolah menerapkan kuota zonasi, prestasi, dan perpindahan domisili tidak sesuai dengan Permendikbud yang berlaku, (4) adanya calon siswa yang tak terakomodasi, sehingga tak bisa mendaftar di sekolah mana pun sedangkan di sisi lain masih ada sekolah kekurangan siswa, (5) ada sekolah yang kelebihan kuota sehingga tidak bisa menampung siswa lagi, padahal anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah masih banyak, dan (6) ada siswa miskin dan berprestasi yang tidak tertampung. Selain catatan masalah ini, gagasan lain bagi kemajuan sistem ini adalah (1) pemerataan fasilitas sekolah baik yang ada di daerah maupun di kota, (2) pemerataan kualitas dan jumlah pendidik di semua sekolah, dan (3) membangun kerja sama dengan Kemenristekdikti agar tercipta kepercayaan kepada kualitas sekolah sehingga tidak ada perbedaan perlakuan bagi sekolah yang berakreditasi A, B, atau C dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.

Pendidikan Holistis
Sistem zonasi menghadirkan populasi kelas heterogen seperti, tingkat kecerdasan, berkebutuhan khusus ataupun bukan, ekonomi, dan lain-lain dan turut mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran di kelas. Situasi heterogenitas inipun akan semakin disadari oleh para pendidik tatkala mereka memandang siswa bukan berdasarkan kecerdasan kognitif saja tetapi bahwa mereka memiliki kecerdasan majemuk (verbal-linguistik, logis-matematis, spasial-visual, kinestetik-jasmani, musikal, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan eksistensial) seperti yang dituliskan oleh Howard Gardner, dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.

Menurut Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang penerimaan siswa baru (PPDB) 2019 kuota PPDB tahun ajaran 2019/2020 dibagi menjadi tiga jalur, yakni jalur zonasi minimum 90% dari daya tampung sekolah, jalur prestasi maksimum 5% dari daya tampung sekolah, jalur perpindahan tugas orang tua/wali maksimum 5% dari daya tampung sekolah. Tambahan pula, pada pasal 19 ayat 1 tertulis bahwa kuota paling sedikit 90% tersebut termasuk kuota bagi anak penyandang disabilitas pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Kuota ini bisa dipandang sebagai dukungan terhadap amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Meskipun demikian, anak difabel yang termasuk kelompok rentan tidak sekolah dan putus sekolah ini berjumlah cukup besar di Indonesia yakni sebanyak 8,56 persen penduduk (data Survei Penduduk Antar Sensus, 2015) maka kendala lain akan segera muncul yakni, kesulitan mendapatkan sekolah yang berjarak dekat ke rumahnya (karena belum banyak sekolah menyelenggarakan pendidikan inklusi), sulit membangun interaksi sosial jika harus bersekolah di sekolah eksklusif, dan makin besar biaya pendidikan anak yang harus dikeluarkan oleh orangtua.

Pemerintah Indonesia telah melakukan uji coba pendidikan inklusi pada tahun 2001. Melalui uji coba tersebut, banyak dampak positif bagi siswa nonberkebutuhan khusus maupun berkebutuhan khusus telah dihasilkan. Antara lain: (1) siswa nonberkebutuhan khusus tidak lagi memiliki rasa takut terhadap siswa berkebutuhan khusus karena sering berinteraksi dengan mereka, (2) siswa nonberkebutuhan khusus semakin memiliki toleransi pada orang lain setelah memahami teman sebayanya yang berkebutuhan khusus, dan (3) siswa nonberkebutuhan khusus mendapatkan bahwa dirinya berkembang dalam hal komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika. Bercermin pada berbagai keuntungan pelaksanaan pendidikan inklusi di atas, peraturan sistem zonasi perlu memberikan peluang yang besar bagi anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah pada sekolah umum yang diselenggarakan secara inklusi, menambah jumlah sekolah inklusi, menyediakan kurikulum yang mengakomodir siswa nonberkebutuhan khusus dan berkebutuhkan khusus, sarana prasarana penunjang aktivitas siswa berkebutuhan khusus, pendidik pembimbing khusus, kepastian siswa nonberkebutuhan khusus dapat menerima teman sebaya mereka yang berkebutuhan khusus, serta pembelajaran yang menuntun mereka untuk mengambil keputusan dan bertindak melibatkan heart, head, dan hands. Heart, bahwa mereka menimbang dalam hati dan membangun komunikasi dengan Penciptanya. Head, bahwa mereka melakukan proses berpikir dan mengolah data serta informasi menggunakan akal budinya. Hands, bahwa setelah semua itu menghasilkan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan, mereka segera bertindak.

Oleh: Ged Pollo
Pelayan dan pendidik anak dan remaja GMIT Jemaat Koinonia Kupang


(sudah pernah dimuat di koran Victory News, Kamis, 13 Juni 2019, opini)

0 comments:

Post a Comment