Tuesday, November 3, 2020

Novel: JIKA WAKTU ITU TIBA

jika waktu itu tiba

 karya: Grefer E. D. Pollo, S. P., M.Pd


Satu

BEBERAPA masa telah berlalu, namun keadaannya tidak banyak berubah. Avram d’ Brain  memiliki kebiasaan tenang, sedikit berbicara bahkan sangat sedikit sehingga banyak orang penasaran tentang dirinya. 


Hanya segelintir orang saja yang dekat dengannya, dan meski demikian, hampir dari mereka semua tidak ada yang mengenal Avram d’ Brain seperti yang mereka ingin ketahui. 

Beberapa dari mereka menyimpulkan pribadi Avram d’ Brain sebagai orang yang tertutup, tidak suka bergaul, hidup dengan dunianya sendiri, cerdas dan cerdik tapi tidak berempati, tidak peka, emosinya datar, dan cuek, tetapi dia tidak merasa terganggu dengan semua itu. 

Hidupnya terus berjalan apa adanya. Biasa dan biasa saja. Aku adalah salah satu dari mereka yang cukup dekat dengan dia, setidaknya itu pendapatku, dan tertarik untuk mengenalnya lebih dekat lagi

Aku mencoba beberapa cara untuk membangun komunikasi dengan dia meski beberapa kalipun dia seolah ingin menghindarinya. Kesimpulan sementaraku tentang dia adalah dia hidup tanpa keluarga dan kerabat dekat, atau dia orang asing di daerah ini, yatim piatu, tidak ada satupun dari keluarganya yang masih hidup, atau apapun itu. Namun, suatu waktu, sesuatu berbicara lain.   

  
Sore itu, sambil menikmati senja dan terbenamnya surya, kami baru saja selesai memesan teh dan pembicaraanpun dimulai (salah satu sifat Avram d’ Brain  yang aku tahu ialah dia kurang tertarik untuk memulai sebuah pembicaraan. 

Namun, untuk beberapa orang dengan alasan tertentu dia akan melakukannya tanpa ragu). Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari wabah yang sedang melanda banyak negeri, realita politik dan reaksi para politikus serta pergerakkan massa, hobi masing-masing, sampai kepada masalah silogisme dan unsur hereditas yang turut berpengaruh di dalamnya

Kami baru saja memulai pembicaraan dan harus terhenti sejenak karena teh yang telah kami pesan tiba di depan kami.

“Bagaimana dengan dirimu?” kataku setelah pengantar teh pergi, “dari apa yang kamu ceritakan tadi terlihat bahwa kamu memiliki kemampuan akurasi yang tinggi dalam mengelola sebuah silogisme”.

“Kamu bisa saja berkata demikian, aku tidak dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini demikianpun dengan nenek moyangku. Mereka adalah orang-orang hebat di zamannya yang berusaha hidup apa adanya di bagian Timur negeri ini. 

Ya, kamu tahu, El, setiap orang punya masa dan sejarahnya masing-masing. Mereka suka berbagi bahkan di saat yang sulit sekalipun. Pendidikan mereka cukup terbatas tetapi bakat yang mengalir dalam diri mereka sangat luar biasa terutama dalam menganalisa sebuah keadaan dan mengambil keputusan yang tepat serta akurat”.

          “Apakah kamu yakin bahwa kemampuanmu itu didapatkan dari berbagai pendidikan dan latihan yang telah kamu sebutkan tadi atau pengaruh turunan yang mengalir dalam dirimu?”
          “Mungkin saja.”
          “Tapi, dari mana kamu mengetahuinya?”

          “Beberapa saudara dan sepupuku memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dariku meski mereka tidak mengenyam pendidikan formal dan latihan-latihan formal yang cukup dan perlu.”

          “Apakah itu sebuah kerendahan hati atau karena tidak mau dikenal?”
          “Menurutku kerendahan hati berarti berlaku apa adanya. Tidak menambahkan dan mengurangi apapun. Tidak berbangga diri serta rendah diri apalagi mempermalukan diri sendiri. Mereka cukup bahkan lebih dari cukup terkenal di kalangan mereka.”

          “Kalangan mereka?”
          “Ya, kalangan mereka”
          “Apa maksudmu?”

          “Deorote. Mereka bergerak dalam sebuah komunitas yang mereka sebut Komunitas Deorote.” Tiba-tiba Avram d’ Brain  melihat ke jam tangannya “O, maaf El, aku kira kita harus melanjutkan pembicaraan ini nanti. Ada pertemuan yang harus aku hadiri. See you, later

bersambung . . .

0 comments:

Post a Comment