Monday, November 30, 2020

Guru, Kurikulum Hidup

oleh: Grefer E. D. Pollo, S.P., M.Pd


Dalam buku berjudul Dipanggil untuk Memimpin, Kenneth O. Gangel, sang editor memuat tulisan dari Ellen Lowrie Black dan Robert M. Miller. Dalam tulisan itu Gangel mengisahkan sebuah pertandingan yang sangat seru. Waktu itu pertandingan sementara berlangsung penuh ketegangan.  


Sudah tiba babak (inning) kesembilan. Serasa semua orang sedang merasakan tekanan di saat pemukul bola sedang melangkah ke tempatnya. Skor sedang imbang saat satu pemain sedang out dan seorang pelari berada di hong ketiga. Kini, pemukul memukul bola dengan tajamnya. 

Bola menyusuri tanah dan menuju ke hong kedua. Namun, seperti keajaiban terjadi, bola dapat ditangkap oleh pemain lawan. Dengan upaya agar lawan tidak mendapat nilai maka bola tersebut dilempar ke hong terakhir. 

Sesuatu peristiwa yang dramatis terjadi di mana pelari hong ketiga dan bola yang dilempar itu tiba secara bersamaan di hong terakhir dalam kepulan debu. Pada saat itu, seolah-olah seluruh pertandingan berhenti selama satu detik. Semua mata di stadion itu tertuju ke arah wasit sambil menunggu keputusannya. Apakah kejadian tiba bersamaan di hong terakhir itu adalah akhir dari pertandingan itu ataukah masih dilanjutkan dengan babak tambahan?

 

Jika Anda adalah guru, maka Anda pasti akan selalu berhadapan dengan kondisi yang menentukan untuk mengambil keputusan segera. 




Keputusan-keputusan tersebut akan berdampak bagi masa depan murid Anda. Saya ingin mengatakan bahwa Anda terbentuk dari keputusan yang telah Anda buat di masa lalu. 

Oleh sebab itu, salah satu bagian terpenting dari hidup adalah belajar membuat keputusan. Bagian itu seharusnya diajarkan di dalam kurikulum di sekolah ataupun kurikulum kehidupan. Anak Anda perlu dan harus belajar mengambil keputusan dari Anda. Demikian juga seorang murid dari gurunya. 



Mungkin Anda sudah pernah mendengar bahwa guru adalah kurikulum hidup. Itu benar, dan memang demikian adanya. Kualitas pendidikan pertama-tama terletak pada kualitas guru. Bukan fasilitas, bukan jenis bangunan sekolah, atau yang lainnya. 


Mengapa? 


Oleh karena guru mengajari apa yang diyakininya. Kekuatan sebuah keyakinan dalam diri memberi dampak hidup dan mati. 

Guru mengajari tentang kehidupannya. Pengajarannya terikat kuat kepada kehidupannya. Dengan demikian maka guru bukan hanya berada di sekolah formal. 

Tetapi, guru juga adalah orangtua, teman, media massa, pendeta, pedagang pasar, sopir angkot, dan lain-lain. Guru adalah pribadi yang berbagi pengetahuan dan kehidupan. Yang daripadanya Anda dan saya belajar.

 

Pendidikan yang Anda dan saya kenal saat ini memiliki sejarah yang panjang. Sejarah ini terlihat jelas dari proses pendidikan mulai dari pendidikan prasejarah, tradisional, modern, dan postmodern. 


Proses dan pertumbuhan ini memberi kesan vital dan esensialnya sebuah pendidikan demi membentuk manusia menjadi pribadi yang utuh. Begitu vitalnya pendidikan maka, revitalisasi pendidikan telah dilakukan berulang-ulang. Namun, sayangnya revitalisasi itu kebanyakan masih berkutat kepada metode belajar mengajar, administrasi guru, dan bukan kepada pribadi guru itu sendiri. Lebih banyak terjadi pada kulit luar pendidikan dan bukan esensi atau spirit dari pendidikan. 




Hanya pada kemasan dan bukan konten. Seringkali, kemasan terlihat bagus tapi kontennya sudah kedaluwarsa.

Negara-negara yang kuat dengan pengajaran dan filsafat kehidupannya seperti India, Cina, Mesir, dan Israel didukung oleh guru-guru mereka yang hebat. 

Dari sejarah bagsa-bangsa itu, Anda temukan bahwa para guru mereka telah menemani dan mewarnai sejarah bangsanya dengan pengajaran dan filsafat yang terbukti dan teruji hingga kini. 

Terlahir dan terbentuk orang-orang pintar, cerdas, bijak yang tidak saja mempengaruhi negara mereka tetapi juga benua lainnya.

 

fungsi guru



Di sana, fungsi guru juga dijalankan oleh imam atau nabi mereka. 

Guru-guru tersebut mengajari murid-muridnya mengenai kehidupan yang berujung kepada keselamatan. Alhasil, guru-guru itu sangat dihormati dan terkenal di masyarakat. 

Bahkan, mereka dihormati oleh murid-murid mereka lebih daripada orangtua mereka. 


Referensi

Edlin, R.J., 2014. Hakekat Pendidikan Kristen. PT BPK Gunung Mulia. Jakarta

Gangel, O. K., 2009. Dipanggil Untuk Memimpin. ACSI Indonesia Surabaya


6 comments:

  1. Uraian yang sangat terencana, terarah dan konsisten. Para guru mesti membaca utk menambah wawasan dalam memberi spirit dan keteladanan. Benar sekali, sejak dulu guru selalu menjadi panutan dalam berbagai aspek hidup mulai dari bangun tidur di pagi hari sampai kembali berbaring di malam hari.

    Selamat berkarya p Ged. Terus maju. Terus berkarya. Tuhan Yesus Memberkati.

    ReplyDelete
    Replies
    1. siap terima kasih pak onet. Menjadi guru = menjadi pendidik selama 24 jam. Seluruh kehidupan guru adalah keteladanan. Tanpa keteladanan = tidak ada pendidikan

      Delete
  2. Setuju poool. .mampir cakininblogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih pak. Sudah mampir dan beri komentar

      Delete